Bamsoet Sebut Tiga Gap dalam Digital Trading di Indonesia, Apa Saja?

Rabu, 23 Februari 2022 – 14:13 WIB
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo membahas robot trading, kripto, dan sistem pembayaran. Foto: Humas MPR RI

jpnn.com, JAKARTA - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menjelaskan, kemajuan teknologi informasi menghadirkan tatanan baru kehidupan.

Sektor perekonomian seperti dunia bisnis dan perbankan berubah dan menyesuaikan diri dengan standar.

BACA JUGA: MPR Dorong Pembuatan UU Terkait Robot Trading, Kripto, dan Sistem Pembayaran

''Tren dunia industri saat ini dipenuhi dengan digitalisasi pada hampir semua lini,'' ucap Bamsoet.

Segalanya akan digantikan dengan yang serbadigital. Ekonomi digital makin mendapatkan sambutan masyarakat luas yang membutuhkan pelayanan dan transaksi yang serbacepat dan efisien.

BACA JUGA: Simak Catatan Bamsoet Terkait Kripto, Pajak, Kepastian Hukum, dan Konsumen

Pesatnya pertumbuhan ekonomi digital di tanah air juga didukung oleh berlimpahnya pengguna internet.

Hingga awal 2022, tingkat penetrasi internet di Indonesia mencapai 73,7 persen.

BACA JUGA: Kripto Diprediksi Bakal Punya Saingan Berat di AS, Simak Nih Penjelasan The Fed

Artinya, sekitar 201,8 juta orang Indonesia sudah terkoneksi dengan internet.

Ketua umum IMI ini menuturkan, proyeksi pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia digadang-gadang menjadi kunci pertumbuhan ekonomi pascapandemi.

''Sebagaimana digitaliasi pada berbagai sektor lain, digitalisasi pada sektor ekonomi menawarkan beberapa keunggulan,'' ujarnya.

Pada sektor keuangan, aset kripto sebagai komoditas digital yang digunakan untuk transaksi virtual berbasis jaringan internet ini mempunyai keunggulan dari aspek kecepatan, efisiensi waktu dan biaya, serta keamanan karena terlindungi oleh teknologi blockchain yang hampir mustahil untuk diretas.

Pemanfaatan robot trading membantu trader untuk melakukan otomatisasi dalam perdagangan dan mampu menjalankan fungsi sebagaimana penasihat berjangka.

Menurut Bamsoet, selain menawarkan beberapa keunggulan, pemanfaatan aset kripto dan robot trading mensyaratkan adanya literasi finansial yang memadai.

''Banyak penawaran investasi ilegal yang berkedok robot trading dan belum dibangunnya infrastruktur penunjang seperti keberadaan bursa kripto,'' ucapnya.

Banyak masyarakat yang menjadi korban. Misalnya, pada Januari, terungkap kasus investasi ilegal suntik modal alat kesehatan yang menyebabkan ratusan orang menjadi korban dengan total kerugian lebih dari Rp 1,2 triliun. 

''Contoh lain kasus dugaan penipuan berkedok perdagangan opsi biner Binomo,'' kata ketua ke-20 DPR RI ini.

Dengan maraknya kasus penipuan berkedok investasi, diperlukan tindakan pembinaan, dan langkah-langkah represif agar memberikan efek jera pada pelaku.

Bamsoet mendukung langkah Satgas Waspada Investasi yang telah menghentikan kegiatan 17 entitas robot trading ilegal, dan 69 perdagangan aset kripto yang tidak memiliki izin dari Kementerian Perdagangan.

Bamsoet menyatakan, langkah pembenahan tersebut harus menghindarkan persepsi yang keliru mengenai paradigma ekonomi digital seperti fenomena robot trading dan aset kripto.

Jika cermati lebih dalam, akar persoalan dalam implementasi bisnis digital juga bersumber dari adanya kesenjangan atau gap.

Bamoset menjelaskan, ada tiga gap terkait implementasi bisnis digital.

Pertama, gap antara pengambil kebijakan dengan masyarakat.

''Digital society begitu sangat cepat meluas akibat online life styles, sedangkan infrastruktur pengaturan dan pembinaan berbasis digital belum siap,'' ujarnya.

Kedua, gap digital literatif (pemberian pemahaman) yang masih kurang dari pengambil kebijakan terhadap masyarakat.

Ketiga, gap tindakan perlindungan konsumen antara pelaku industri dan peraturan yang disiapkan untuk aktivitas bisnis dari regulator.

Tiga gap tersebut berinteraksi secara bersamaan dalam masyarakat sehingga mengakibatkan persoalan.

Sudah saatnya memaknai pesatnya pertumbuhan ekonomi digital sebagai momentum untuk bangkit dari keterpurukan ekonomi akibat pandemi Covid-19.

Di satu sisi, berkembangnya ekonomi digital harus disikapi dengan bijaksana dan penuh kehati-hatian.

Momentum pertumbuhan ekonomi digital ini harus direspons dengan beberapa langkah strategis. 

Pertama, melalui penataan regulasi untuk memberikan kepastian hukum kepada pelaku usaha dan perlindungan hukum bagi konsumen.

Selain itu, menjamin agar aktivitas ekonomi digital memberi kontribusi pada pendapatan negara.

Karena itu, perlu dipersiapkan infrastruktur pengaturan dan pengawasan aset kripto atau aset digital.

Bamsoet menuturkan, langkah ini membutuhkan partisipasi dan komitmen dari Kementerian Perdagangan, Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, dan Otoritas Jasa Keuangan.

Langkah strategis kedua adalah reformasi sistem pembayaran dalam kegiatan transaksi ekonomi digital.

Dalam kerangka reformasi sektor keuangan, Bamsoet sependapat dengan seruan Gubernur Bank Indonesia sebagaimana menjadi perhatian negara-negara G20 untuk mengelola risiko dan mengoptimalkan teknologi digitalisasi di sektor keuangan.

Gagasan Bank Indonesia untuk merumuskan pembuatan mata uang digital atau digital rupiah menjadi sejalan dengan pemahaman bahwa G20 menekankan implikasi dari Central Bank Digital Currenncy (CBDC) terhadap sistem moneter dan keuangan internasional.

G20 akan melanjutkan implementasi peta jalan sistem pembayaran lintas batas (G20 Roadmap for Enhancing Cross Border Payments) untuk mendorong sistem pembayaran yang cepat, mudah, murah, aman, andal, serta mendiskusikan pemanfaatan digitalisasi untuk meningkatkan inklusi keuangan.

Bamsoet menuturkan, langkah ini perlu didorong untuk dikembangkan.

Sebab, pertumbuhan ekonomi digital terus melaju dan membutuhkan penyesuaian, termasuk fenomena robot trading dan aset kripto.

Ketiga, pembangunan literasi finansial dan literasi digital dari masyarakat selaku konsumen, agar mempunyai kapabilitas dan kompetensi yang memadai sehingga dapat menilai setiap produk ekonomi digital dari berbagai aspek dan perspektif, termasuk di dalamnya faktor potensi keuntungan maupun resiko kerugian.

Mengacu pada hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) 2019, indeks literasi keuangan mencapai 38 persen.

Ini mengindikasikan bahwa meskipun akses pada berbagai produk dan layanan jasa keuangan cukup memadai, tingkat pemahaman masyarakat terhadap karakteristik produk dan layanan jasa keuangan masih rendah.

''Kondisi ini tentunya menghawatirkan, karena tidak saja berdampak pada manajemen keuangan yang bukan saja tidak tepat sasaran, melainkan juga beresiko terjebak pada perangkap investasi bodong,'' tandasnya. (mrk/jpnn)


Redaktur : Tarmizi Hamdi
Reporter : Tarmizi Hamdi, Tarmizi Hamdi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler