jpnn.com, JAKARTA - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) mengatakan Ketetapan MPR RI Nomor: VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, masih tetap berlaku sampai dengan terbentuknya undang-undang.
Menurutnya, hal ini dipertegas dengan Tap MPR RI Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002.
BACA JUGA: Bamsoet Apresiasi IMI Masukkan Empat Pilar MPR RI di Anggaran Dasar IMI
Keberlakuan Ketetapan MPR RI Nomor I/MPR/2003 juga dipertegas melalui UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang menempatkan Tap MPR di dalam hirarki peraturan perundang-undangan di bawah UUD NRI 1945, dan di atas UU.
Sayangnya, kata dia, tidak banyak orang yang menyadari keberadaan dari Tap MPR Nomor VI/MPR/2001 ini.
BACA JUGA: Gus Jazil: Empat Pilar MPR Merupakan Gagasan Para Pahlawan
Padahal, Tap MPR itu mempunyai kekuatan hukum yang mengikat bagi seluruh penyelenggara negara dan juga masyarakat.
"Maka tidaklah terlalu mengherankan jika banyak warga masyarakat yang menyaksikan atau bahkan turut melakukan pengingkaran terhadap etika kehidupan berbangsa ini dalam kehidupan kesehariannya," jelas Bambang dalam Konferensi Nasional II Etika Kehidupan Berbangsa di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (11/11).
BACA JUGA: Bamsoet: MPR RI Tetap Punya Kewenangan Tertinggi
Menurutnya, Tap MPR VI/MPR/2001 ini juga merekomendasikan kepada Presiden RI dan lembaga-lembaga tinggi negara serta masyarakat untuk melaksanakannya sebagai salah satu acuan dasar dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa.
Ia menjelaskan bahwa arah kebijakan untuk membangun etika kehidupan berbangsa diimplementasikan dengan berbagai cara.
Pertama, mengaktualisasikan nilai-nilai agama dan budaya luhur bangsa dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara melalui pendidikan formal, informal dan nonformal.
Kemudian, pemberian contoh keteladanan oleh para pemimpin negara, pemimpin bangsa, dan pemimpin masyarakat.
Kedua, mengarahkan orientasi pendidikan yang mengutamakan aspek pengenalan menjadi pendidikan yang bersifat terpadu dengan menekankan ajaran etika yang bersumber dari ajaran agama dan budaya luhur bangsa.
Kemudian, pendidikan watak dan budi pekerti yang menekankan keseimbangan antara kecerdasan intelektual, kematangan emosional dan spritual, serta amal kebijakan.
Ketiga, mengupayakan agar setiap program pembangunan dan keseluruhan aktivitas kehidupan berbangsa dijiwai oleh nilai-nilai etika dan akhlak mulia, baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan, maupun evaluasi.
"Dalam kerangka itu, MPR RI berkepentingan merekomendasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah untuk menindaklanjuti pembentukan undang-undang terhadap butir-butir etika yang terdapat dalam Ketetapan MPR RI tersebut," kata dia.
Bamsoet, panggilan akrabnya, berharap konferensi ini dapat memberikan masukan untuk merumuskan rekomendasi dalam upaya penegakan etika kehidupan berbangsa.
Khususnya mengenai etika politik dan pemerintahan, serta etika penegakan hukum yang berkeadilan.
Supaya dapat menjadi acuan dasar untuk meningkatkan kualitas manusia yang beriman, bertakwa dan berakhlak mulia serta berkepribadian Indonesia dalam kehidupan berbangsa.
Menurut Bamsoet, sumber filosofis etika kehidupan berbangsa pada hakikatnya berbasis pada dasar filosofis Pancasila.
"Karena Pancasila secara objektif merupakan paradigma kehidupan berbangsa dan bernegara," ungkap dia.
Menurutnya, kenyataan objektif nilai-nilai etis filosofis Pancasila sebagai paradigma kehidupan kebangsaan dan kenegaraan bukanlah hanya pada tingkatan legitimasi yuridis dan politis saja, melainkan juga pada tingkat sosiokultural-religius.
"Bagaimanapun perubahan yang akan terjadi, bangsa Indonesia akan senantiasa hidup dalam kehidupan dengan dasar filosofi dan etika Pancasila," paparnya.
Menurutnya, dalam Tap MPR VI/2001 ditegaskan etika politik dan pemerintahan mengandung misi kepada setiap pejabat dan elite politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar.
"Memiliki keteladanan, rendah hati, dan siap mundur dari jabatan politik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat," ujarnya.
Ia menambahkan etika ini diwujudkan dalam bentuk sikap yang bertata krama dalam perilaku politik yang toleran, tidak berpura-pura, tidak arogan, jauh dari sikap munafik serta tidak melakukan kebohongan publik, tidak manipulatif dan berbagai tindakan yang tidak terpuji lainnya.
Etika penegakan hukum yang berkeadilan dimaksudkan untuk menumbuhkan kesadaran bahwa tertib sosial, ketenangan dan keteraturan hidup bersama hanya dapat diwujudkan dengan ketaatan terhadap hukum dan seluruh peraturan yang berpihak kepada keadilan.
Keseluruhan aturan hukum yang menjamin tegaknya supremasi dan kepastian hukum sejalan dengan upaya pemenuhan rasa keadilan yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat.
Etika ini meniscayakan penegakan hukum secara adil, perlakuan yang sama dan tidak diskriminatif terhadap setiap warga negara di hadapan hukum, dan menghindarkan penggunaan hukum secara salah sebagai alat kekuasaan dan bentuk-bentuk manipulasi hukum lainnya.
Ketua Komisi Yudisial Jaja Ahmad Jayus berharap ini menjadi momentum yang sangat penting agar setiap penyelenggara negara, maupun masyarakat secara luas, memahami betul tentang etika berbangsa dan bernegara itu.
"Sehingga masyarakat kita makin beretik, dalam pengertian menuju ke arah yang lebih baik, baik dari sisi akhlak dalam bahasa agama ataupun dalam perilaku sehari-harinya," kata Jaja dalam jumpa pers usai acara.
Khusus mengenai penegakkan hukum, Jaja menjelaskan, bila seandainya hakim itu semuanya beretika maka penegakan hukum yang berkeadilam itu akan terwujud sebagaimana amanat TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 itu.
Konferensi ini merupakan kerja sama MPR, KY, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Hadir secara fisik maupun virtual antara lain Ketua KY Jaja Ahmad Jayus (juga sebagai narasumber), pimpinan MPR, Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin, Ketua DKPP Muhammad (juga sebagai narasumber) dan lainnya.
Para narasumber lainnya adalah pimpinan KY Aidul Fitriciada Azhari, pakar hukum tata negara sekaligus anggota DPD Jimly Asshiddiqie, Anggota Komisi Kajian Ketatanegaraan Andi Mattalatta. (boy/jpnn)
Jangan Lewatkan Video Terbaru:
Redaktur & Reporter : Boy