Banding Ahok, Akankah Divonis Hukuman Minimal?

Minggu, 14 Mei 2017 – 06:13 WIB
Ahok saat menjalani sidang. Foto: dok.JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok mengajukan banding atas vonis dua tahun penjara yang menimpanya dalam perkara penodaan agama.

Dalam proses banding di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, peluang Ahok untuk bebas masih ada. Namun, peluang untuk tetap mendapatkan vonis penjara juga tidak tertutup.

BACA JUGA: Saya Gubernur Sulsel Mendukung “Gerakan Matikan 1000 Lilin”

Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hajar menuturkan, dalam proses banding tetap asas praduga tidak bersalah harus dikedepankan.

Karena itu, hasilnya tentu akan bergantung pada pembuktian pada proses banding. ”Semua bergantung hakim pengadilan tinggi,” terangnya.

BACA JUGA: Aksi 1000 Lilin Buat Ahok di Makassar Gagal, FPI: Tidak Ada Izin

Namun, perlu diketahui bahwa biasanya penggunaan kewenangan menahan itu menjadi indikator bagi hakim pengadilan tinggi untuk menghukum, paling tidak dengan vonis minimal.

”Sekali lagi ini biasanya, kalau ditahan itu berarti hukumannya minimal nantinya,” terangnya.

BACA JUGA: Bakar Lilin Bela Ahok Dibubarkan, FPI Sulsel: Kami Hanya Mengawasi

Dia menjelaskan, yang juga penting sebenarnya putusan banding itu tidak akan lebih lama dari masa tahanan terdakwa. ”Walau dalam KUHAP itu tidak mengatur batasan waktu putusan,” jelasnya.

Sementara Kuasa Hukum Ahok I Wayan Sudirta menjelaskan, semuanya saat ini berada di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.

Menurutnya, dengan banding ini tentunya akan dilihat bagaimana banyak tekanan yang terjadi, dari tahap penuntutan dari 14 jaksa, ada 10 jaksa sebut tidak ada bukti.

Lalu, dari sembilan saksi ahli, enam diantaranya juga sebut tidak ada bukti. ”Penyidik terbelah, semua itu karena ada tekanan luar biasa sehingga berubah begini,” paparnya.

Dalam proses banding, diharapkan Hakim Pengadilan Tinggi bisa memberikan vonis yang lebih meneduhkan. ”Dilihat bagaimana faktanya,” terangnya dalam sebuah acara diskusi di jalan Cikini.

Sementara Pengamat Politik Ubedilah Badrun menjelaskan, proses hukum itu harus independen. Namun, karena yang berperkara itu gubernur, maka memungkinkan untuk ditafsir secara politik.

”Masalahnya, isu yang berkembang seperti intoleransi, radikalisme itu isu yang diproduksi elit,” ujarnya.

Sebelum Pilkada DKI Jakarta, kondisi ibukota itu sangat aman dan damai. Tidak ada prilaku intoleran. Dengan pilkada yang liberal akhirnya menghadirkan pola head to head, maka pola intoleransi digunakan.

”Karena itu para elite itu juga harus hadir. Mereka memiliki tanggungjawab moral untuk meredakan semua ini,” ujarnya.

Dia menjelaskan, dampak sosial dari pilkada ini sangat besar. Maka, masyarakat harus rasional dengan cara membiarkan proses hukum berjalan. ”Bukan dengan cara lainnya, apalagi kekerasan,” terangnya. (idr)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Tegang, Aksi 1000 Lilin Untuk Ahok di Makassar Gagal


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler