Bandit Kejar Setoran, Waspada Pria Berboncengan

Senin, 29 Mei 2017 – 15:45 WIB
HINDARI: Jangan menggunakan handphone ketika berkendara. Apalagi di tempat sepi dan gelap. Karena akan mengundang orang melakukan tindak kejahatan. Foto Andy Satria/Radar Surabaya/JPNN.com

jpnn.com, SURABAYA - Jambret sekarang memang serem-serem. Saya berkata demikian karena pernah mengalaminya. Ya, awal Mei lalu saya jadi korban penjambretan.

Lokasi kejadian, cukup terkenal karena menjadi basis kriminalitas tertinggi di Surabaya. Kawasan Kalianak. Kalau malam, jalanan tersebut kurang pencahayaan.

BACA JUGA: Waspada! Bandit Kejar Setoran, Akal Bulus Meningkat saat Ramadan

Jalannya juga rusak. Deretan pergudangan yang tutup malam hari, kian bikin bandit gampang melakukan aksinya.

Jurnalis Radar Surabaya/JPNN.com

BACA JUGA: Bandit Kejar Setoran, Polisi tak Segan Beri Tembakan

Perkampungan jauh dari lokasi sehingga minim pertolongan warga ketika terjadi tindak kriminal. Warga sampai mengenal kawasan itu proyek sepanjang hayat. Dua bulan diperbaiki, rusak lagi. Begitu seterusnya. Ketika itu kejadiannya pukul 21.00.

Sebenarnya bagi profesi jurnalis pukul 21.00 masih terbilang sore. Jam segitu teman-teman seprofesi saya masih sibuk di kantor. Terkecuali saya. Biasanya, pukul 21.00 saya sudah mewajibkan diri berada di rumah, di kawasan Kebomas, Gresik.

BACA JUGA: Bandit Kejar Setoran, Merajalela saat Ramadan

Sejak menikah, saya memilih pulang pergi (PP) Surabaya-Gresik karena dua anak saya dirawat mertua.

Mau tidak mau saya harus berkorban, PP Gresik-Surabaya meskipun sering sambat, karena macet, ketakutan jadi korban tindak kriminal, takut kelindas trailer.

Tak berbeda dengan kegiatan di hari-hari biasanya, sebelum kejadian penjambretan saya berangkat pukul 09.00. Dari Gresik langsung ke Pengadilan Agama (PA), Jl Ketintang Madya.

Perjalanannya hampir dua jam, karena macet. Biasanya jarak tempuh maksimal 1,5 jam. Trailer dan truk pada keluar dari kandangnya. Urusan liputan di PA selesai, saya meluncur ke kantor BPS Jatim di Jalan Kendangsari.

Ketika itu sudah pukul 12.00. Dua jam memantau perkembangan inflasi (rutinitas awal bulan), puku 14.00 saya mendapat telepon dari pemred untuk memantau perkembangan ujian nasional SMP.

Singkat kata, saking banyaknya liputan hari itu saya baru bisa balik kantor di Jalan kembang Jepun pukul 18.30 dan baru mulai mengetik. Padahal biasanya saya jam segitu sudah siap-siap pulang.

Setidaknya dari empat berita yang disetor, hanya tinggal satu ketikan berita saja. Malam itu saya mengendarai motor tidak terlalu kencang. Kira 20 km/jam.

Karena jalanan rusak, saya pun takut. Meskipun setidaknya saya hapal area-area jeglongan yang sering terjadi kecelakaan. Tepat di area pergudangan Kalianak, saya agak terkaget.

Dua motor memepet motor saya. Semua pengendaranya pria. Satu motor sebelah kanan dikendarai satu orang, mepet sebelah kiri dikendarai dua orang, berboncengan.

Kaget dan takut, namun gas tidak bisa berjalan cepat. Keduanya mengunci saya di tengah-tengah sepeda. Satu merenggut tas ransel saya yang berisi handphone dan uang, seperti burung alap-alap yang menyambar anak ayam.

Hanya dalam hitungan detik, tas ini sudah berpindah tangan dan si penjambret langsung tancap gas. Kabur.

Ketika saya lihat, dia tertawa puas karena berhasil membawa tas saya. Saya baru tersadar sudah mengalami penjambretan dan dalam keadaan shock. Dengan sangat emosional Saya berusaha mengejar dan berteriak maling. Eh ternyata, masalah belum selesai.

Sepeda motor sebelah kiri berusaha menarik dari belakang. Karena emosi yang tak terkendali, saya justru terpeleset kerikil dan pasir lepas yang ada di jalanan dan jatuh tersungkur mencium aspal.

Telapak tangan, lengan, lutut, dan jari-jari kaki luka, tergerus aspal jalanan. Sementara si penjambret terus menarik tubuh saya supaya menjauh dari sepeda.

Sempat adu tenaga dan mulut, saya menggigit tangan dia yang kemudian dia bilang kata-kata kotor. Jan*** dan sebagainya.

Enggak mau kalah, ya saya balik umpat mereka…hu…hu. Saya berusaha bangkit mengejar penjambret itu. Kedua penjambret yang ingin mengambil sepeda saya, marah dan mengendarai motor secepat kilat.

Saya mempertahankan sepeda karena detik itu ingat orang tua yang membelikan motor itu. Saya juga teringat jika dompet saya ada di jok usai tadi mengisi bensin. Jadi, saya mulai tidak berpikir lagi soal tas yang yang dijambret yang isinya hanya handphone dan seingat saya hanya uang Rp 20.000. Pikirku, sono ambil tasnya.

Sementara, kendaraan ini berharga karena yang nganterin saya cari berita keliling Surabaya. Sungguh saya berada pada situasi seperti diiris-iris, perasaan dan juga badan saya.

Saya bangkit dan mengejar mereka. Berusaha tenang, saya masuk ke gang-gang di kawasan Brebek Kalianak. Mencari penjambret dengan mengingat-ingat wajah mereka yang menjengkelkan.

Saking kalutnya, beberapa kali saya menuding pemuda yang membawa handphone Samsung sampai akhirnya warga turut mengadili.

Dalam situasi masih kalut, saya masih terpikir soal pengamanan password di email, Facebook, Whatsapp, Skype dan juga pemblokiran nomor sim card.

Saya menelepon suami dengan menggunakan nomor telepon warga. Saya pulang dalam kedaaan galau dan sampai di rumah sekitar pukul 24.00. Penderitaan ternyata tak terhenti di situ.

Setelahnya, suami tak henti- hentinya menelepon nomor saya, yang ternyata masih aktif. Sekitar pukul 01.00, sehari setelah kejadian, penjambret menelepon balik nomor suami saya. Dia tertawa tawa sambil bilang, “Suwun. Butuh duit gawe mendem. (handphone, Red) Wes tak jual nak Wonokromo”.

Ya sudahlah. Saya bilang begitu sama si penjambret. Berdoa semoga mereka sadar. Mereka juga sempat mengirimkan pesan, “Tas no problem. **cuk motore”. Mungkin bisa saya artikan, tas terampas tak masalah, motornya tidak bisa diambil. Lewat handphone suami, saya aktifkan email saya.

Pukul 02.00, di Google Map dan email saya, terdapat laporan pengiriman foto. Malam itu pula saya minta bantuan, ahli smartphone, Herry SW untuk mengecek posisi handphone saya lewat email ataupun lokasi Google Map.

Ternyata, Herry menyatakan jika smartphone saya sudah mati. Namun, sampai keesokan harinya nomor saya masih aktif. Rekan redaksi dan beberapa kolega yang menghubungi, juga menyatakan aktif namun tidak diangkat.

Sampai hari kedua setelah penjambretan, juga masih aktif. Untuk handphone, sebenarnya sudah ikhlas. Namun, saya ingin tahu saja lokasi penjambret itu dan ingin memberikan kesempatan polisi untuk melacak tindak kejahatan.

Di hari ketiga, meski nomor masih aktif, saya memutuskan untuk memblokirnya. Di situ, pegawai melacak posisi simcard masih aktif dan berada di kawasan Pabean Cantikan.

Setelah mengalami trauma dijambret ini, saya juga menjadi sedikit paranoid. Saya membuat observasi pribadi, tentang pengendara sepeda motor di jalanan. Dari pengamatan saya, sangat jarang pengendara motor yang berboncengan terdiri dari dua orang lelaki.

Jadi, kalau kita melihat pengendara motor laki-laki yang memboncengkan laki-laki juga, sebaiknya kita hati-hati saja. Bisa jadi mereka pelaku tindak kriminal. Seperti yang saya alami. (han)


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler