Bang Foke Memang Pintar

Jumat, 09 Maret 2012 – 11:12 WIB

jpnn.com - SAYA tidak tahu persis, apakah Gubernur DKI Fauzi Bowo itu doyan minum “Tolak Angin” atau tidak? Karena ada jargon iklan popular yang mengaitkan “Orang Pintar” dan “Minum Tolak Angin.” Tapi, dalam kasus pembatalan “Pajak Warteg” (baca: pajak restoran kecil, red) yang beromzet di bawah Rp 200 juta, yang semestinya berlaku per Januari 2012 itu, dia cukup lihai.

Penundaan kedua soal pajak warteg. Dia cerdik membaca sinyal-sinyal penolakan di arus bawah yang mulai bergemuruh. Dia hebat mengantisipasi berdampak pada citra sebagai Cagub 2012 yang signifikan. Dia mampu meneropong, bahwa isu itu jika dikembangkan maka dirinya makin tidak popular. Bisa-bisa menggerogoti indeks kepuasan publik yang saat ini belum terlalu nendang.

Tiba-tiba seperti menelan ludah sendiri, Foke mengeluarkan Instruksi Gubernur (Ingub) No 16 Tahun 2012 tentang Penundaan Pemungutan Pajak Restoran Jenis Usaha Warung, Kantin dan Kafetaria tertanggal 24 Februari 2012. Ide yang cukup strategis buat mengobati kekesalan massa bawah. Penundaan ini sudah kali kedua, diputuskan Fauzi Bowo sejak Perda No 11 Tahun 2011, sebagai pengganti Perda No 8 Tahun 2003 tentang Pajak Restoran.

Pada Januari 2011 lalu, Perda No 11 itu sudah ditunda, sampai awal Januari 2012, setelah dirasa cukup sosialisasi kepada usaha restoran. Perda ini berlaku bagi warteg, kantin dan kafetaria yang memiliki omset Rp 200 juta per tahun atau Rp 16,6 juta per bulan atau Rp 550 ribu per hari. Siapa yang melawan? Ikatan Keluarga Besar Tegal (IKBT) yang membawahi 5.000-an pedagang warteg di DKI.

:TERKAIT Mereka menolak keras. Kebijakan itu dinilai membunuh secara massal dan sistematis pada UKM sekelas warteg. Foke pun buru-buru, menganulir kebijakan ini. Sekali lagi, pintar! Sikap berubah 180 derajat, dalam kurun waktu satu bulan itu cukup berani! Minggu pertama Februari 2012 lalu, Foke dan Kepala Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta, Iwan Setiawandi, menegaskan setegas-tegasnya, atas dasar Perda No 11 Tahun 2011, di wilayah hukum DKI, wajib dipungut pajak.

Hukumnya wajib! Warteg –warung tegal--, kantin, jasa boga, catering, sampai tenda orange HIK (Hidangan Istimewa Kampung, red), tak terkecuali, semua kena pajak! Pintar itu tidak harus konsisten, tidak harus berprinsip “Sekali layar terkembang, pantang biduk surut ke pelabuhan.” Pintar juga tidak harus “bisa dipegang omongannya”, tetapi lebih fleksibel, lentur, tidak kaku. Ibarat swing, bisa ke kanan dan ke kiri, dengan sama indahnya. Yang penting everybody happy. Pintar itu paling bisa membaca momentum.

Di zaman yang mengakomodasi pro dan kontra ini, definisi “orang pintar” mengalami degradasi rasa. Pintar dipandang dari goal dan final ke tujuannya. Kalau bisa menggapai koordinat tujuan itu, apapun metodenya, bagaimanapun caranya, itu sudah masuk kategori “pintar.” Mengapa kebijakan membatalkan pajak warteg itu pintar? Pertama, Foke terhindar dari tudingan tidak pro orang kecil, tidak pro rakyat, tidak peduli nasib dan kesulitan pedagang warteg yang jumlahnya puluhan ribu di Ibu Kota.

Padahal mereka itu pemilih potensial. Kedua, seperti yang pernah saya tulis di INDOPOS, 3 Februari 2012 lalu, ini adalah bagian dari cara “menakut-nakuti” calon pemilih dengan pajak warteg. Model yang amat taktis dan efektif untuk menaikkan bargaining. Biarkan publik panik dulu, biarkan pro dan kontra berkembang liar, pada saat mendekati pilkada, dia tampil sebagai pahlawan, dan membebas pajak ini.

Karena itu, timing harus diciptakan, momentum harus dibuat, super sekali. Ketiga, pembatalan itu dilakukan sebelum Foke memasuki masa cuti sebagai gubernur incumbent, persis sepekan sebelum 13 Maret 2012. Sebab, kalau sampai sudah terlanjut cuti, dia tidak bisa membuat kebijakan-kebijakan strategis. Daripada nanti yang mencabut atau yang menyoal orang lain untuk kepentingan yang sama, politis.

Keempat, pembatalan itu nilai tawarnya menjadi selangit, karena April 2012 BBM akan dinaikkan dengan kisaran Rp 1.500 per liter. Dari Rp 4.500,- menjadi Rp 6.000,- per liter. Inflasi diperkirakan menanjak hinggal 1,9 poin, harga-harga barang dan jasa juga naik, dan warteg yang bahan bakunya membutuhkan transportasi, dari daerah ke Jakarta, dari pasar ke lokasi jualan, pasti juga akan berdampak.

Pintar sekali membaca dan menghitung kemungkinan kenaikan komoditas pasca pencabutan BBM bersubsidi. Kelima, mereka yang memiliki akses informasi kebijakan publik yang lebih kuat itu, juga sudah menghitung, tarif dasar listrik juga akan disesuaikan secara gradual, per triwulan. Kisarannya, dalam satu tahun naik beberapa kali, sebesar 10 persen, per tiga bulan.

Kalau pajak warteg diterapkan juga, maka beban itu akan semakin berat dipikul pengusaha kecil dan mikro itu. Keenam, bagaimana kalau reaksi atas kebijakan pajak warteg itu tidak seheboh yang dibayangkan? Karena kota-kota besar lain sudah menerapkan pajak warteg itu, hasil survei Pemprov DKI. Misalnya, Surabaya dan Tangerang Selatan rata-rata Rp 15 juta per bulan hingga Rp 180 juta per tahun.

Kota Bandung dan Depok omset rata-rata Rp 10 juta per bulan hingga Rp 120 juta per tahun. Sehingga kalau Jakarta Rp 200 juta dianggap tidak memberatkan? Wah, kalau kesadaran berpajak sehebat itu, maka skenario B lebih mudah dijalankan. Mereka bisa menggiatkan konsultasi bisnis gratis buat UMKM restoran kecil. Termasuk pemberian bantuan langsung dan kredit bunga rendah berjangka panjang.

Mendorong agar UMKM itu bisa berkembang, dengan berbagai cara. Fleksibel sekali. Orang boleh bilang apa saja! Mau disebut plin plan, plintat plintut makan ati, maju mundur kayak setrika, ragu-ragu seperti pemerintah pusat, atau apa saja. Itu hanya orang-orang yang berpikir proses, tidak berorientasi hasil akhir saja. Ibarat tim sepak bola, itu mirip tim Oranje Belanda. Yang hebat dalam possession football, penguasaan bola, tetapi hanya di lini tengah dan belakang saja.

Bola diputar-putar kiri kanan, depan belakang, tapi tidak sampai membahayakan gawang lawan. Foke mungkin penggemar Barcelona, yang penting mencetak gol dan menang! Seperti Diego Maradona, striker pendek kekar legenda Argentina itu. Dia pernah melewati lima pemain Inggris, lalu diumpan dan disenggol dengan tangan di Estadio Azteca, Mexico City, 22 Juni 1986.

Replay di televisi sangat jelas, dia mendorong bola ke gawang dengan tangannya! Wasit meniup peluit tanda gol dan sah angkanya. Publik bola dunia menyebut “gol tangan Tuhan”, yang penting gol! Yang penting tidak dianulir. Dan Argentina yang sedang bersitegang dengan Inggris dalam kasus Kepulauan Malvinas pun menang! Sejarah mencatat: Maradona pintar! Bang Foke juga pintar lho… (*)

(*) Penulis adalah Pemred – Direktur Indopos, Wadir Jawa Pos.


BACA ARTIKEL LAINNYA... Komat Kamit Kobat Kabut

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler