jpnn.com, JAKARTA - Pakar psikologi forensik, Reza Indragiri Amriel angkat bicara terkait replik atau tanggapan Jaksa penuntut umum (JPU) atas nota pembelaan (pleidoi) Teddy Minahasa (TM) di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Selasa (18/4/2023).
Kasus ini turut menyeret tiga terdakwa lain, salah satunya adalah mantan Kapolsek Bukit Tinggi, AKBP Dody Prawiranegara.
BACA JUGA: IPW Puji Kinerja Irjen Helmy Santika, Jangan Sampai Seperti Teddy Minahasa
Dari rangkaian fakta persidangan, Reza justru menyoroti sabu-sabu 3,3 kg yang disita Polda Metro Jaya. Totalnya disebut ada 5 kg. Namun 1,7 kg sisanya telah diedarkan.
Reza menjelaskan, dalam khazanah psikologi forensik, informasi yang bermutu baik harus lengkap dan akurat.
BACA JUGA: Ungkap Sederet Prestasinya, Teddy Minahasa: Apa Mungkin Saya Jualan Sabu?
"Rumitnya, di persidangan, keterangan terdakwa dan saksi bisa mengalami distorsi dan fragmentasi. Baik secara alami maupun akibat manipulasi. Baik manipulasi sukarela maupun manipulasi karena dorongan pihak lain," ujar Reza dalam keterangan tertulis, Rabu (19/4/2023).
Memahami bahwa keterangan (confession) sangat potensial merusak proses pengungkapan kebenaran, hemat dia, maka harus ada pendekatan lain untuk menengahi ihwal sabu yang diamankan di Jakarta.
"Pokok pertanyaannya adalah 3,3 kg sabu yang diamankan Polda Metro Jaya itu berasal dari mana? Serta, sejauh apa peran TM dan DP di balik sabu tersebut?" tutur dia.
Reza lantas merunut ketika Dody bersikukuh sabu-sabu itu hasil penyisihan sebagaimana perintah dari Teddy yang tidak sanggup ditolaknya. Sampai di pengakuan Dody itu, Teddy terkunci sebagai sosok pimpinan yang punya niat jahat (criminal intent).
"Namun, sekali lagi, itu pengakuan DP. Dan pengakuan adalah benda yang paling potensial merusak proses hukum. Jadi, mari kita pakai matematika sederhana saja. Sumber datanya bukan pengakuan yang mengandalkan daya ingat, melainkan pesan WA Kapolres Bukittingi (DP) kepada Kapolda Sumatera Barat (TM)," kata dia, menekankan.
Rinciannya adalah penangkapan di Padang Dua sebanyak 3 kg, Lapas Pariaman 4 kg, rumah Fadhil 36 kg, dan Jalu 1,5 kg. Jadi, total sabu yang diamankan sesungguhnya adalah 44,5 kg. "Ini bisa dicatat sebagai prestasi Dody," cetus Reza yang pernah bekerja pada proyek United Office on Drugs and Crime (UNODC).
Sayangnya, lanjut Reza, kemudian terjadi perkembangan yang sungguh tidak wajar dan mencurigakan. Yaitu, seluruh sabu yang dilaporkan oleh Dody ke Teddy hanya 39,5 kg.
"Berarti ada selisih dengan berat aktual sabu yang diamankan dengan berat sabu yang dilaporkan sebesar 5 kg," hitung Reza.
Dari total sabu 39,5 kg yang dilaporkan tersebut, yang dimusnahkan sebanyak 35 kg. Berita Acara Pemusnahan ditandatangani oleh Kapolres Bukittinggi, Kajari Agam dan Kajari Bukittinggi, Ketua Pengadilan Negeri Lubuk Basung, tersangka M. Fadhil dan Roni Eka Saputra, serta penasihat hukum mereka.
Setelah pemusnahan 35 kg sabu tersebut, tersisa 4,5 kg (39,5 kg dikurang 35 kg) yang lantas diserahkan kepada Kejari Agam serta Kejari Bukittinggi sebagai barang bukti di persidangan dan sampel uji laboratorium.
Dengan demikian, terbukti bahwa sabu seberat 39,5 kg telah lengkap, yaitu berasal dari 35 kg (dimusnahkan) dan 4,5 kg (diserahkan ke Kejari).
"Tapi jangan lupa, sekali lagi, ada 5 kg sabu yang --secara aneh dan mencurigakan--raib dari laporan DP. Di manakah sabu yang tidak dilaporkan DP seberat 5 kg itu?" tanyanya.
Di Jakarta beberapa waktu lalu sempat dihebohkan kabar Dody, Syamsul Ma'arif, Linda Pujiastuti, Kasranto, dan beberapa nama lainnya diciduk Polda Metro Jaya dengan barang bukti berupa sabu seberat 3,3 kg.
"Nah, pertanyaan krusialnya adalah 3,3 kg sabu yang diamankan dari DP (2 kg), Linda (1 kg), dan lain-lain (300 gr) di Jakarta itu berasal dari mana? Milik siapa? Bagaimana mereka mendapatkannya?" ujarnya pula.
Menurut Reza, patut dibangun spekulasi bahwa 3,3 kg sabu di Jakarta itu merupakan hasil penyisihan sebagian dari 5 kg sabu yang secara misterius, bahkan mencurigakan tidak termasuk dalam laporan Dody.
Sehingga, masuk akal untuk menduga bahwa masih ada 1,7 kg sabu yang tersimpan di suatu tempat yang belum bisa didefinitifkan.
"Apabila sabu seberat 1,7 kg itu disebut-sebut telah dijual, maka harus dipastikan bahwa pembelinya pun diproses hukum oleh Polda Metro Jaya. Namun tidak ada indikasi pihak pembeli tersebut (kalau ada) telah diamankan apalagi disidang," jelasnya.
Dengan uraian ini, menurut Reza, persidangan tidak butuh bersusah payah menggali pengakuan dari para saksi dan terdakwa. Sebab, keterangan mereka bisa saja bersilang sengketa satu sama lain.
"Namun perhitungan di atas kuat mengindikasikan bahwa tidak dibutuhkan pengganti sabu dengan tawas, karena jumlah sabu yang disita Polda Metro Jaya (3,3 kg) masih lebih sedikit daripada berat sabu 5 kg yang entah kenapa tidak Dody masukkan di dalam laporannya," ujarnya pula.
Peran Teddy dan Dody di Balik 3,3 kg Sabu-Sabu
Lebih lanjut Reza menyampaikan, terkait berkurangnya berat sabu-sabu yang Dody laporkan kepada Teddy, kemudian ditukar tawas sebetulnya terpatahkan dengan tiga alasan.
Pertama, perhitungan di atas memperlihatkan tidak dibutuhkan tawas guna menggenapi perhitungan 5 kg.
Kedua, WA Teddy memuat emoji tertawa, dan direspons DP juga dengan emoji tertawa. Artinya, di dalam chat tersebut, mereka berdua tidak sungguh-sungguh dalam konteks komunikasi perintah atasan kepada bawahan. Di dalam WA balasannya, Dody pun telah eksplisit menolak melakukan penukaran sabu dengan tawas.
"Ketiga, ini sangat penting. Di dalam naskah tuntutannya terhadap TM, Jaksa Penuntut Umum (JPU) mencoret kalimat 'mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang'," kata Reza.
Saat membacakan tuntutannya, ia mencermati JPU pun sama sekali tidak menyebut frasa yang mereka coret itu.
"Dari situ saya tafsirkan bahwa pandangan JPU adalah sama dengan keterangan saya selaku ahli di persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Yakni, TM tidak memberikan perintah penukaran sabu dengan tawas. Atau, dalam kalimat saya di hadapan majelis hakim, isi WA TM (memuat emoji) kepada DP tidak bisa dimaknai secara absolut sebagai perintah salah atau perintah jahat," ulasnya.
Ini berarti Teddy tidak bisa disimpulkan sebagai orang atau pimpinan yang memiliki niat jahat (criminal intent) memperalat bawahannya.
Tuntutan JPU itu mendekonstruksi pandangan dunia yang kadung mencap TM sebagai titik awal kasus ini. JPU akhirnya bisa memahami bahwa klaim Dody tentang “perintah jahat dari atasan yang sangat berkuasa dan tidak sanggup dia elakkan” adalah dramatisasi belaka.
"Itulah klaim Dody semata-mata untuk mengalihkan tanggung jawab pidana dari dirinya. Dalam istilah psikologi forensik, Superior Order Defence yang DP angkat ternyata tidak meyakinkan JPU," terangnya.
"Karena SOD tertolak, maka tersedia alasan untuk menduga bahwa DP-lah, bukan TM, yang menjadi aktor utama dalam perkara memalukan ini," sambung Reza.
Reza memprediksi, dalam sidang vonis nanti, majelis hakim pun tidak akan mengamini pembelaan diri Dody tersebut.
"Dengan uraian di atas, terbenarkan sudah salah satu simpulan TM di dalam pleidoinya. Yakni, DP 'bermain sendiri' dengan 3,3 kg sabu di Jakarta. Dalam bahasa TM, DP menjual narkoba untuk mendapatkan "dana segar" untuk sebuah misi," katanya.
Misi dimaksud adalah mencuplik kosa kata Samsul Maarif, 'tembak Mabes' guna memuluskan kepangkatan dan jabatan Dody Prawiranegara.
Selanjutnya, Reza menyimpulkan adanya dua konsekuensi. Pertama, sangat penting Mabes Polri menginvestigasi letak keberadaan 1,7 kg sabu (5 kg dikurang 3,3 kg) yang hingga kini statusnya masih abu-abu. Juga, patut dicari tahu alasan DP sejak awal tidak melaporkan secara utuh jumlah sabu-sabu yang telah diamankan jajarannya.
"Pastinya, jangan sampai sabu-sabu tersebut juga disalahgunakan oleh siapa pun," tegasnya.
Seiring dengan itu, Mabes Polri perlu melakukan uji otentisitas antara sabu yang diamankan Polda Metro Jaya dengan sabu-sabu yang diamankan di Sumatera Barat.
"Kedua, mari kita nantikan bagaimana majelis hakim membuat perhitungan matematika dan putusan hukumnya," tandasnya.(ray/jpnn)
Redaktur & Reporter : Budianto Hutahaean