Bangga Kalahkan Seniman Australia Menggambar Pak Harto Mesem

Senin, 10 Juni 2013 – 06:42 WIB
Mujirun dengan karya lukisan realisnya yang menggambarkan Presiden Soekarno bersama istri. F-Mujirun for Jawa Pos/JPNN
ANDA mungkin masih ingat gambar Presiden Soeharto dengan senyum khasnya di gambar uang kertas pecahan Rp 50 ribu yang kemudian dikenal dengan istilah uang "Pak Harto Mesem". Gambar itu merupakan satu di antara 13 gambar yang menghiasi uang kertas karya Mujirun. Siapa Mujirun?
 
GUNAWAN SUTANTO, Jakarta

 ========================
 
Begitu masuk rumah dua lantai di kompleks Peruri Ciledug, Tangerang, kesan bahwa pemiliknya seorang seniman jelas terlihat. Sejumlah lukisan realis dengan berbagai teknik dipajang di dinding rumah. Begitu pula sejumlah hiasan lain yang menambah artistik rumah tersebut.
 
Itulah tempat tinggal Mujirun, seorang pengukir gambar yang lazim disebut engraver. Selama ini dia dikenal sebagai kreator sejumlah lukisan dengan teknik engraving yang kemudian dicetak di uang kertas kita.
 
Menggambar di uang kertas memang tidak bisa menggunakan teknik biasa. Itu terkait dengan keamanan dan performance uang kertas Indonesia agar tidak mudah dijiplak dan dipalsu. Hampir di seluruh dunia, pembuatan gambar di mata uang kertas dilakukan dengan teknik engraving. Yakni, teknik menggambar dengan cara mencukil di media logam dengan proses yang sangat detail. Tidak banyak orang yang bisa mengaplikasikan teknik engraving di Indonesia.
 
Mujirun merupakan pensiunan pegawai Percetakan Uang Republik Indonesia (Peruri). Selama bekerja 30 tahun di Peruri, sudah 13 gambar karya Mujirun yang digunakan dalam mata uang kertas rupiah. Mulai pecahan Rp 100 sampai Rp 50 ribu.
 
"Karya pertama saya gambar pahlawan Teuku Umar pada pecahan Rp 5 ribu. Uang itu dikeluarkan BI (Bank Indonesia) tahun 1986," terang seniman asal Jogjakarta tersebut saat ditemui di rumahnya Minggu kemarin (9/6).
 
Sore itu Mujirun terlihat sibuk menyiapkan sejumlah karyanya yang rencananya dipamerkan di Jogjakarta pekan ini. Sembari membingkai sejumlah lukisan karyanya, Mujirun menceritakan awal dirinya terjun sebagai engraver.
Dia mengaku berkarir sebagai pegawai di Peruri setelah diiming-imingi seorang karyawan BUMN. "Saya tidak tahu dari mana orang itu tahu kalau saya bisa melukis. Padahal, saat itu saya belum selesai sekolah," ungkap lulusan Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) Jogjakarta itu.
 
Iming-iming yang menggiurkan tersebut cukup menggoda Mujirun. Apalagi, saat itu mencari pekerjaan yang layak tidak mudah. Maka, begitu lulus SMSR, Mujirun menyanggupi tawaran tersebut. Dalam ingatannya, ketika itu Peruri menawarkan gaji Rp 50 ribu per bulan. Angka tersebut cukup besar untuk ukuran gaji pegawai pada era 1970-an.
 
"Saya terus terang langsung tergiur. Bayangkan, gaji pegawai negeri di kabupaten saja saat itu hanya Rp 18 ribu," terang pria kelahiran 26 November 1958 tersebut.
 
Mujirun pun kemudian hijrah ke ibu kota. Tapi, dia tak bisa langsung bisa mengaplikasikan karya-karyanya di Peruri. Dia harus menjalani pendidikan seni lagi. Bahkan, hingga keluar negeri. Mujirun berkesempatan untuk menempuh pendidikan di Swiss dan Italia guna memperdalam teknik engraving pada gambar utama uang kertas.
 
"Saya tidak menyangka orang desa seperti saya bisa sekolah di luar negeri. Belajar dari seniman-seniman engraver dunia," tuturnya sembari menunjukkan foto-foto dokumentasinya saat berada di dua negara tersebut.
 
"Ini foto saya waktu muda. Rambut saya masih banyak, berbeda dengan sekarang yang sudah botak," kelakarnya saat menunjukkan foto saat di Italia.
 
Sepulang dari Italia, suami Siti Julaeha itu tak langsung mendapatkan kepercayaan membuat gambar-gambar di uang kertas. Kesempatan tersebut baru datang tiga tahun kemudian. Dia dipercaya untuk menggambar sosok pahlawan Teuku Umar yang digunakan untuk uang kertas Rp 5 ribu.
 
Menurut Mujirun, selama ini pembuatan gambar uang itu dilakukan dengan proses seleksi yang ketat. Lima engraver Peruri diminta untuk mengambar manual dengan teknik pen drawing. Gambar-gambar tersebut kemudian diserahkan ke pimpinan BI. Begitu gambar disetujui, seniman yang membuat baru bisa mengerjakannya.
 
Teknik engrave termasuk cukup rumit. Teknik tersebut dilakukan di media pelat baja. Menggambarnya menggunakan pisau dengan teknik cukil. Sepintas mirip teknik mengukir. Namun, teknik engrave lebih sulit karena diaplikasikan di media yang kecil dengan skala satu banding satu.
 
"Bisa dibayangkan betapa rumitnya. Karena itu, kerjanya juga harus pakai kaca pembesar seperti ini," ujar Mujirun.
 
Dia lantas menghidupkan komputernya. Dia menunjukkan beberapa foto dokumentasi ketika masih bekerja di Peruri. Salah satunya foto ketika Mujirun harus menggunakan kaca pembesar untuk membuat gambar di pelat baja dengan teknik cukil.
 
Dengan alasan keamanan, Mujirun lantas tak menjelaskan proses detail pembuatan gambar itu hingga akhirnya menjadi uang kertas. "Tidak etis kalau saya jelaskan detailnya karena bagaimanapun saya pernah bekerja untuk Peruri," terang bapak lima anak itu.
 
Salah satu karya Mujirun yang membanggakan adalah gambar uang seri "Pak Harto Mesem". Sebab, pembuatannya tidak hanya bersaing dengan engraver dari Peruri. Karyanya harus diadu dengan engraver dari luar negeri.
 
"Gambar sketsa wajah Pak Harto karya saya dan karya engraver dari Australia terpilih untuk diserahkan ke Setneg (Sekretariat Negara, Red) untuk dipilih salah satu," terangnya.
 
Tanpa diduga, pihak Istana Negara menjatuhkan pilihan pada karya Mujirun. Gambar "Pak Harto Mesem" itulah yang kemudian menghiasi uang Rp 50 ribu yang diterbitkan pada 1995. "Gambar itu yang paling mengesankan," tuturnya.
 
Selain karya itu, ada beberapa karya Mujirun lain yang cukup fenomenal. Di antaranya, gambar pahlawan Sisingamangaraja XII di uang Rp 1.000 (keluaran 1987), gambar rusa Cervus timorensis untuk uang Rp 500 (1988), gambar anak Gunung Krakatau untuk uang Rp 100 (1991). Lalu, gambar Gunung Kelimutu untuk uang Rp 5.000 (1991), Ki Hajar Dewantoro di uang kertas Rp 20 ribu (1998), paskibraka di uang Rp 50 ribu (1999), serta gambar Kapitan Pattimura Rp 1.000, gambar Pulau Maitara dan Tidore Rp 1.000, serta Tuanku Imam Bonjol Rp 5.000 (ketiganya keluaran 2001).
 
Mujirun jugalah yang membuat gambar pahlawan Oto Iskandar Di Nata pada uang Rp 20 ribu yang dikeluarkan pada 2004. Terakhir, sebelum pensiun, pria 55 tahun itu membuat gambar I Gusti Ngurah Rai untuk uang pecahan Rp 50 ribu keluaran 2009.
 
"Selama di Peruri, alhamdulillah saya banyak mendapatkan kepercayaan. Saya juga pernah dikirim ke Malaysia menangani security printing untuk stamp hasil. Itu kalau di Indonesia, ya semacam meterai," terangnya.
 
Mengetahui keahliannya yang langka, pemerintah Malaysia sempat hendak membajak Mujirun. Dia diiming-imingi gaji dan fasilitas yang wah. 
 
"Saya masih ingat betul kalimat iming-imingnya. Katanya di sini (Malaysia) tukang batu saja istrinya bisa membeli kalung-kalung besar, apalagi yang punya kemampuan seperti saya," kenangnya.
 
Mujirun juga pernah dikirim ke Inggris pada 1992 atau dua tahun setelah dari Malaysia. Di Negeri Ratu Elizabeth itu, Mujirun ditugasi studi banding soal gambar uang. Terakhir, pada 2004, dia ditugasi ke Hungaria untuk belajar software engrave.
 
Mujirun mengatakan, saat ini tidak semua gambar di mata uang kertas rupiah dikerjakan dengan teknik engrave manual. Ada beberapa gambar yang dikerjakan dengan aplikasi program komputer. Dia lalu menunjukkan perbedaan hasil engrave manual dengan computerized.
 
Secara kasatmata terlihat adanya perbedaan kontur yang dihasilkan dari goresan-goresan garis pada kertas. Hal itu lebih tampak saat dilihat dengan kaca pembesar.
 
Mujirun tak tahu mengapa di Indonesia tidak banyak seniman yang tertarik menekuni teknik engrave. Bahkan, Ibu Negara Ani Yudhoyono pernah menyarankan agar Mujirun terjun ke dunia akademik untuk mendidik calon-calon seniman engraver.
 
"Dalam pameran di Epicentrum, Jakarta, November 2012, Bu Ani meminta saya membuka sekolah engrave. Katanya sayang kalau tidak ada generasi baru yang bisa teknik menggambar itu," ungkapnya.
 
Mujirun mengaku siap membagikan ilmunya kepada generasi muda. Hanya, sejauh ini dia masih belum bisa mewujudkan gagasan itu karena keterbatasan modal dan fasilitas. "Kalau ada yang membuka sekolah khusus engrave, saya siap membantu," tegasnya.
 
Mujirun memilih pensiun dini karena beberapa hal yang tidak bisa disebutkannya. Dia kini mengisi hari-hari dengan mengelola bisnisnya, baik di luar seni maupun yang berkaitan dengan gambar-menggambar. Di antaranya usaha kos-kosan. "Selain itu ya ikut pameran ke sana kemari," ucapnya.
 
Penyuka wayang tersebut mengaku sudah merintis sejumlah usaha semasa masih di Peruri. "Sejak lama saya memang ingin menyiapkan "bantal" untuk kehidupan setelah pensiun," ujarnya.
 
Untuk menjaga kerahasiaan negara dalam proses pembuatan uang, di dalam Peruri ada divisi pengawasan. Tugasnya mengawasi kehidupan karyawan yang dianggap "tidak normal". Mujirun termasuk sempat dicurigai karena punya penghasilan yang lebih banyak daripada gajinya di Peruri. Padahal, tambahan pendapatan itu diperoleh dari beberapa bisnisnya.
 
"Wajar kalau saya sampai dicurigai karena kerja kami berkaitan dengan pencetakan uang. Tapi, setelah saya jelaskan apa yang terjadi, tim pengawas bisa mengerti," terang dia. (*/c10/c9/ari)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ketika VW Beetle Jadi Bola Raksasa

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler