jpnn.com, JAKARTA - Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI HM Said Abdullah menyampaikan pengantar dalam Rapat Kerja Pembahasan Pembicaraan Pendahuluan RAPBN 2021 dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2021 Banggar DPR dengan Menteri Keuangan, Menteri PPN/Kepala Bapennas dan Gubernur Bank Indonesia pada Kamis (18/6/2020).
Dalam rapat tersebut, Said yang juga Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Perekonomian itu menyampaikan tujuh poin sebagai berikut:
BACA JUGA: Rapat Paripurna Tentang RAPBN 2021 Hanya Dihadiri 217 Anggota DPR
1. Kita patut bersyukur, pembahasan Kerangka Ekonomi Makro (KEM) dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (PPKF) Tahun 2021, bisa segera kita mulai sesuai dengan waktu yang telah kita tetapkan bersama.
Pembahasan KEM dan PPKF 2021 ini merupakan bentuk tanggung jawab konstitusi kita bersama, sebagaimana diamanatkan dalam UndangUndang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Ul-J Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3.
BACA JUGA: Gerindra: Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Dalam RAPBN 2021 Dapat Jadi Bumerang
KEM dan PPKF akan menjadi bahan Pembicaraan Pendahuluan dalam rangka penyusunan Nota Keuangan beserta Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun 2021 kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) nantinya.
2. Pembahasan KEM dan PPKF tahun 2021 menjadi sangat krusial dan penting, dalam kondisi yang extraordinary di tengah pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19).
BACA JUGA: Puan Maharani: Protokol Kesehatan di Rumah dan di Sekolah Merupakan Satu Mata Rantai
Pandemi COVID-19 telah mengubah perkembangan dan tatanan ekonomi dan sosial di seluruh dunia. Pandemi ini tidak saja dapat membahayakan kesehatan dan jiwa manusia, tetapi juga mengganggu perekonomian dan stabilitas sistem keuangan.
Untuk itu, KEM dan PPKF yang akan menjadi dasar penyusunan RAPBN Tahun 2021 menjadi harapan untuk pemulihan ekonomi nasional pasca-pandemi.
3. RAPBN tahun 2021 diharapkan dapat menjadi stimulus yang lebih produktif, efektif dan efisien, agar mampu mengakselerasi pertumbuhan ekonomi untuk kesejahteraan dan perbaikan neraca keuangan pemerintah. Oleh karena itu, upaya Pemerintah dalam menjalankan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), merupakan momentum yang tepat untuk melakukan reformasi sektoral dan fiskal yang diarahkan antara lain untuk mempercepat upaya penanggulangan kemiskinan, dan pengangguran.
Selain itu, mempercepat pembangunan SDM dengan meningkatkan kualitas pendidikan dan kesehatan masyarakat, memperkuat peran dan kontribusi sektor UMKM, membangun industri dan domestic supply Chain nasional, membangun ketahanan pangan, serta pemerataaan pembangunan antar wilayah.
4. Kebijakan yang yang sudah ditempuh oleh Pemerintah dan DPR RI dalam tahun 2020, antara Iain dengan penetapan Perppu No.1/2020 menjadi Ul-J No. 2 Tahun 2020 dan peraturan turunannya yang sudah dikeluarkan Pemerintah, Peraturan Presiden (Perpres) No. 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian APBN 2020, Peraturan Pemerintah (PP) No. 23 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional, sebagai langkah penanganan pandemi COVID-19 dan pemulihan perekonomian nasional serta stabilitas sistem keuangan, menjadi landasan penting dalam perumusan kebijakan fiskal tahun 2021.
5. Oleh sebab itu, penyusunan APBN 2021 akan sangat tergantung dari keberhasilan pelaksanaan Penanganan COVlD-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang sedang dijalankan oleh Pemerintah. Program Penanganan COVlD-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional diperkirakan akan memakan biaya sebesar Rp 905,10 Triliun, yang terdiri dari:
a. Pembiayaan yang bersifat barang-barang publik (Public Goods) sebesar Rp. 397,56 Triliun, terdiri dari: (1) Kesehatan Rp. 87,55 Triliun. (2) Perlindungan Sosial Rp. 203,90 Triliun dan (3) Sektoral Kementerian/Lembaga dan Pemda Sebesar Rp. 106,54 Triliun.
b. Pembiayaan yang bersifat barang non-publik (Non-Publik Goods) sebesar Rp. 507,54 Triliun, terdiri dari: (1) Insentif dunia usaha Rp. 179,48 Triliun, (2) UMKM Rp. 123,46 Triliun dan (3) Korporasi Rp 37,07.
6. Melihat kebutuhan pendanaan yang besar untuk biaya penanganan Covid-19 dan program Pemulihan Ekonomi Nasional tersebut, agar Pemerintah dan BI berada dalam satu kesepakatan untuk pembiayaan yang bersifat barang publik dan non publik, dengan beban yang bisa ditanggung bersama (burden sharing). Dalam bentuk:
a. Untuk pembiayaan yang bersifat Barang Publik (Public Goods), Pemerintah dan BI bisa menggunakan pola atau skema dalam bentuk beban yang ditanggung bersama atau Burden Sharing, dimana ditetapkan beban Pemerintah sebesar 0% dan BI sebesar 100%.
b. Untuk pembiayaan yang bersifat Barang Non-Publik (Non-Public Goods),
Pemerintah dan BI bisa menggunakan pola atau skema dalam bentuk beban yang ditanggung bersama atau Burden Sharing, dimana ditetapkan beban Pemerintah sebesar 50% dan dan BI sebesar 50%. dengan suku bunga khusus.
7. Selama penanganan COVlD-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional berlangsung, tidak boleh terjadi Bank gagal yang berdampak sistemik, baik Bank yang berstatus sebagai anggota Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) maupun Bank non-Himbara.
Untuk mendukung keberhasilan tersebut, Lembaga Penjamin Simapanan (LPS) didorong untuk lebih pro-aktif, untuk dapat masuk lebih awal dalam mengantisipas terjadinya Bank gagal dengan menempatkan dana LPS di Bank bermasalah tersebut.
Olen sebab itu, untuk memperkuat peran LPS tersebut, perlu disediakan payung hukumnya. Penambahan kewenangan yang diberikan kepada LPS, sebagaimana terdapat dalam Pasal 20 ayat (1) point c UU No. 2 Tahun 2020.
Adapun ketentuan lebih lanjut, mengenai pelaksanaan kewenangan Lembaga Penjamin Simpanan, dalam rangka melaksanakan langkah-langkah penanganan permasalahan stabilitas sistem keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP), sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 20 ayat (2) UU No. 2 Tahun 2020.(jpnn)
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi