Sadaring ke-3 SATUPENA

Bangkitkan Bahasa dan Budaya Lokal Lewat Cerita dari Molo & Palu

Senin, 13 September 2021 – 05:23 WIB
Para narasumber saat Sarasehan Daring Satupena (Sadaring) ke-3 bertema 'Cerita dari Molo dan Palu’ yang menghadirkan pegiat lterasi dari Molo, Dicky Senda, dan Neni Muhidin dari Palu. Foto: Tangkapan layar

jpnn.com, JAKARTA - Gerakan literasi di berbagai daerah ternyata sangat bermanfaat, bukan saja untuk membangkitkan kembali kebanggaan akan bahasa dan budaya lokal, tetapi juga berimplikasi positif bagi masyarakat di luar persoalan literasi, seperti pangan, turisme, dan pendidikan.

Demikian benang merah dari Sarasehan Daring Satupena (Sadaring) ke-3 bertema 'Cerita dari Molo dan Palu’ yang menghadirkan pegiat lterasi dari Molo, Dicky Senda, dan Neni Muhidin dari Palu.

BACA JUGA: Kepengurusan Satupena Telah Disahkan MenkumHAM, Akhirnya Penulis Punya Organisasi

Acara yang dipandu Ita Siregar ini menggugah kita untuk menghargai potensi-potensi lokal untuk kemajuan masyarakat.

Sarasasehan diawali dengan cerita bagaimana kedua pegiat literasi ini pulang ke kampung halaman setelah menempuh pendidikan dan mencari pengalaman di kota.

BACA JUGA: Sah, Ketum Satupena Resmi Berganti, dari Nasir Tamara ke Denny JA

Neni Muhidin, yang studi di Bandung, dan sempat bekerja di Jakarta dan kembali ke kampung halaman atas permintaan ibu yang single parent pada 2007.

Sang Ibu meminta Neni agar jadi PNS meski itu sulit dipenuhi.

“Keputusan balik ke Palu, 2007 karena Ibu. Saya merasa kehilangan banyak teman-teman di gerakan literasi di Bandung,” kata Neni.

Namun, tidak lama kemudian, Neni mulai melakukan kegiatan literasi di kalangan teman dekat, diskusi film dan sebagainya di Palu.

Kini, buah dari egiatan yang mengenal itu dirasakan masyarakat, khususnya generasi muda.

Beda lagi dengan Dicky Senda yang lama merantau di Yogya akhirnya pulang kampung 2016 dan mendirikan komunitas Lakoat Kujawas .

“Sebenarnya pulang kampung untuk riset bahan penulisan lokal, tetapi saat itu, 2016, NTT menjadi puncak human trafficking. Sebaliknya ada jurang pemisah dan merasa terpisah dari lingkungan, seperti asing sendiri. Akhirnya saya temukan sesuatu yang amat mengganggu diri," ungkap Neni.

Menurut Dicky, pada masa sekolah di tahun 1990-an, anak-anak tidak boleh berbahasa daerah di sekolah dan jika itu dilakukan akan dapat hukuman berat. Jadi, kita tidak mengenal bahasa dan budaya lokal, karena ada kewajiban dari pemerintah untuk menggunakan bahasa Indonesia.

“Tantangan kami adalah lingkungan daerah. Juga pergumulan dalam diri kita,” kata Dicky yang mendirikan komunitas Lakoat Kujawas sebagai ruang untuk berkumpul dan bercerita.

Target jangka pendek adalah membuat taman baca dan raung berkumpul. Setelah 5 tahun sudah terpenuhi target jangkan pendek dan menengah.

“Kami sekarang sudah punya sekolah budaya dan adat. Kita ingin melakukan revitalisasi budaya Molo,” kata Dicky.

Semangat Membangun Daerah

Lebih lanjut, Neni mengatakan di kota Palu yang terjadi hari ini adalah sulit menemukan komunitas masyarakat yang mampu mempraktikkan budaya dan bahasa lokal. Mungkin sama dengan ibu kota di sejumah daerah.

Hal yang paling menyenangkan ungkap Neni,  bertemu dengan kawan-kaan yang punya gairah yang sama untuk memajukan literasi. Semula balik kampung semasa kuliha missal Lebaran, merasa terasing, tetapi belakangan tidak lagi.

“Yang saya alami sama dengan yang dialami Soekarno meninggalkan Jatim untuk kuliah di Bandung, juga para pendiri bangsa lain. Setelah itu kembali ke kampung halaman lalu membuat sesuatu seperti gerakan. Saya merasakan ada gairah seperti itu.

Komunitas di Palu namanya “Nemu Buku” ini karena secara personal, saya menemukan buku yang kemudian saya baca. Ini spiritual sekali dan itulah kemudian muncul nama Nemu Buku.

“Jadi, buku itu memang penting seperti ilustrasi dengan kalimat ’Buku jendela dunia’ tetapi yang terpenting adalah bagaimana seseorang tercerahkan secara spiritual karena buku yang dibacanya,” kata Neni.

Kekayaan pengetahuan lokal Kaili, Palu lanjut Neni, dengan kekayaan alamnya, juga manusia yang hidup di dalamnya, memberi inspirasi bagi kita untuk berkarya. Apalagi penduduk Sulawesi Tengah yang relatif kosong, dibandingkan di Kota Makassar di Sulsel.

Di sisi lain, Dicky mengungkapkan, yang dihadapi sekarang bagaimana rumah tradisional Molo –seperti rumah bulat di Papua yang atapnya menjuntai KE tanah- yang dinilai tidak sehat oleh pemerintah dan WHO, tetapi sebenanya banyak yang hilang dengan nilai dan budaya orang Molo, misalnya kaitannya dengan batu, hutan, dan sungai. Semua itu diwariskan di rumah tradisional.

Upaya Lakoad Kujawas memang tengah berusaha untuk melakukan riset dan pengarsipan dan menerbitkan dalam bentuk buku atau jurnal.

Kemudian mengalihwahanakan dalam bentuk pendek, poadcast, dan rekaman lainnya. Dari sana akhirnya berkembang ke bidang yang sebelumnya tidak terpikir yaitu pangan.

“Akhirnya gerakan literasi juga ikut memberdayakan masyarakat melalui kegiatan UMK lewat beragam pangan  lokal,” kata Dicky.(fri/jpnn)

Yuk, Simak Juga Video ini!


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler