jpnn.com, JAKARTA - Para seniman dan tokoh asal Jakarta saat ini terus berupaya melestarikan kesenian dan budaya Betawi di tengah arus beragam budaya.
Kebanyakan, para seniman Betawi berangkat dari rasa kekhawatiran punahnya warisan pendahulu mereka.
BACA JUGA: Profil Siti Nurbaya Bakar: Menteri LHK, Tokoh Betawi Asli yang Suka Membaca Tulisan Said bin Tsabit
Seniman berharap kesenian dan kebudayaan Betawi bisa tersohor dan jadi tuan rumah di negeri sendiri. Terlebih soal seni pertunjukan teater rakyat Betawi.
Nendra WD, seorang seniman dan pemerhati budaya Betawi mengatakan, saat ini Jakarta seolah kehilangan ruhnya, terlebih dalam hal menjaga warisan seni dan budaya Betawi.
BACA JUGA: Herjunot Ali Boyong Soto Betawi ke Tokyo
"Saat ini cerita hanya ramai soal begal dan rampok. Alhamdulillah dulu ada bang Yamin, menjadi catatan penting ini menjadi penulis cerita Betawi," kata Nendra saat diskusi mengenang Yamin Azhari bertema 'Mengembalikan Teater Rakyat Betawi agar Tak Asyik Sendiri' di Selasar Graha Bhakti Budaya di TIM, Jakarta.
Diskusi diadakan Teater Pangkeng, komunitas Baca Betawi dan Lembaga Kebudayaan Betawi.
BACA JUGA: 5 Berita Terpopuler: KPK Tak Bisa Geledah Kantor DPP PDIP Hingga Kebohongan Iran pada Dunia
Dari diskusi itu diketahui seni pertunjukan teater di Jakarta telah berkembang sejak awal abad ke-19. Seperti lenong yang telah berkembang sejak 1960-an.
Sejarah mencatat, sejak 1969-1988 berkali-kali diadakan pertunjukan lenong di TIM oleh sutradara SM Ardan, Achmad MS, Sumantri Sastrosuwondo, Firman Muntaco dan lain-lain.
"Bang Yamin itu juga di antaranya Ondel-Ondel Bengek dan Hantu Kerak Telor. Beliau itu yang menuliskan," ujar Nendra.
Sementara, peneliti kebudayaan Betawi DR Syaiful Amri menambahkan, butuh peran serta seluruh elemen untuk melestarikan kesenian dan kebudayaan. Di antaranya Lembaga Kebudayaan Betawi dan para pemangku kepentingan terkait.
Masyarakat juga tak melulu hanya menuntut kehadiran atau konsistensi seniman dalam menggelar pertunjukan.
"Semuanya harus turun. Pemerintah harus bisa memfasilitasi, seniman juga ayo, dan masyarakat juga. Jangan teriak jaga tradisi tapi sudah ditampilkan nontonnya nggak mau," imbuh Syaiful.
Budayawan sekaligus peneliti dan pemerhati kesenian terutama seni pertunjukan, Julianti Parani, mengatakan, tulisan soal jangan asyik sendiri itu memiliki falsafah tinggi.
Menurut Julianti, dalam berkesenian ada kalanya butuh lompatan. Namun, tetap kuat dalam menarik esensinya. Seringkali pelaku seni juga belum menarik esensi dari seni itu sendiri. Seperti seni pertunjukan lenong.
"Jangan asyik sendiri itu falsafah tinggi. Tapi kemajuan tidak bisa dielak. Yang penting itu sebenarnya kan masing-masing bisa menarik esensi. Jadi sampai yang nonton bisa paham oh di sini ada lenongnya," beber Julianti.
Julianti menuturkan, Jakarta sendiri seperti kehilangan marwahnya dalam hal melahirkan atau melestarikan kesenian Betawi.
Dia mencontohkan, seperti berdirinya Institut Kesenian Jakarta (IKJ) malah seolah-olah tidak ikut ambil peran. Buktinya, kata dia, tidak ada sekolah lenong. Padahal lenong lekat dan menjadi esensi dalam memahami Jakarta.
"Kaya di IKJ tapi tuh esensinya enggak ada Jakartanya. Ada nggak latihan buat lenong, gambang kromongnya. Ada enggak latihan atau sekolahnya. Ini warisan ini harus dijaga," tegas dia.
"Esensinya bukan buat ke luar tapi kita harus mampu jadi tuan rumah dan berhasil di negeri kita. Enggak usah untuk se-Indonesia tapi Jakarta aja dulu. Bagaimana lenong itu ada komunikasi, tapi tergantung maknanya," pungkasnya. (flo/jpnn)
Redaktur & Reporter : Natalia