Bank BUMN Danai Perusahaan Tambang di Sumsel, Pakar Soroti Kejanggalan Ini

Rabu, 25 Mei 2022 – 04:41 WIB
Uang Rupiah. Ilustrasi. Foto: Ricardo/JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Koordinator Masyarakat Anti Korupsi (MAKI) Boyamin Saiman menilai informasi mengenai pinjaman dengan nilai agunan lebih kecil yang disalurkan BNI kepada salah satu perusahaan tambang batu bara di Sumatera Selatan (Sumsel) perlu didalami lebih jauh.

Pasalnya, tindakan tersebut bisa dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi jika memenuhi dua syarat.

BACA JUGA: Asas Prudential Harus Selalu Dipegang Bank Penyokong Tambang

"Pertama, pinjaman macet dan kemudian pengusahanya tidak berupaya melunasi utangnya. Kedua, banknya harus Bank BUMN, jika bank swasta maka bukan korupsi," kata Boyamin di Jakarta, Selasa (24/5).

Dia juga menegaskan bahwa pinjaman dari bank hanya boleh digunakan untuk keperluan yang telah disepakati. Dalam hal ini adalah pembiayaan operasional tambang batu bara.

BACA JUGA: Polisi Tetapkan 6 Tersangka di Kasus Tambang Emas Ilegal yang Menewaskan 12 Warga

Boyamin mengatakan bahwa dana tersebut jelas dilarang untuk dipakai hal lain.

"Tapi kuncinya bisa diproses korupsi jika utang macet," lanjutnya.

BACA JUGA: Soroti Persoalan Tata Kelola Tambang Pasir Laut, Komisi VII DPR Usulkan Begini

Terpisah, pakar hukum dari Universitas Gajah Mada Muhammad Fatahillah Akbar mengatakan bahwa bank semua bank seharusnya punya ketentuan yang rigid soal agunan.

"Sehingga jawabannya ada di Bank BUMN. Jika dalam jumlah besar seharusnya ada jaminan yang memadai. Jaminan pun diikat hak tanggungan dan ada appraisal untuk menilai jaminan lebih tinggi dari hutang," kata Akbar.

Begitu juga jika terdapat potensi kredit macet, harus ada jaminan yang memadai. Karena menurutnya, sudah banyak sekali kredit macet BUMN yang dijerat korupsi.

"Unsur utamanya adalah apakah dalam pemberian kredit menyalahgunakan wewenang. Jika iya maka masuk Pasal 3 UU Korupsi," kata dia.

Kemudian menurutnya, jika peminjaman tersebut udah melawan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) maka bisa disebut penyalahgunaan kewenangan.

"Jika sudah melewati POJK maka ini bagian dari penyalahgunaan wewenang," ujarnya.

Saat dikonfirmasi mengenai desas-desus tersebut, Corporate Secretary BNI Mucharom mengaku tidak bisa berbicara soal pendanaan terhadap grup perusahaan BG di Sumatera Selatan.

Namun, dia memastikan bahwa proses pemberian dana telah melalui serangkaian proses yang mengedepankan prinsip good corporate governance dan compliance terhadap ketentuan regulator demi memberikan kenyamanan dan keamanan kepada para nasabah maupun debitur.

"Bagaimanapun kita harus realistis, energi fosil masih dibutuhkan masyarakat Indonesia. Adapun, penyaluran kredit kepada sektor batu bara hanya 2 persen terhadap total kredit BNI. Secara umum kredit kepada sektor batu bara sampai dengan ini dalam posisi lancar," kata Mucharom kepada wartawan di Jakarta.

Ia pun membeberkan bahwa sejak Januari hingga Maret 2022, BNI cukup agresif mengucurkan pembiayaan ke sektor energi baru terbarukan (EBT), dengan nilai mencapai Rp 10,3 triliun.

Kemudian, ada pembiayaan untuk pencegahan polusi senilai Rp 6,8 triliun, dan pembiayaan hijau lainnya Rp 23,3 triliun.

Pengamat perbankan Deni Daruri mengatakan bahwa pemberian pinjaman tanpa agunan mencukupi tidaklah dibenarkan. "Tidak dibenarkan, karena sangat beresiko buat bank itu sendiri," kata Deni kepada wartawan.

Terlebih, lanjutnya, ada potensi kredit tersebut macet, sehingga menurutnya akan merugikan bank. "Buat bank rugi, sehingga mengerus modal bank," lanjutnya. (dil/jpnn)


Redaktur & Reporter : M. Adil Syarif

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler