jpnn.com, JAKARTA - Para korban gempa 6,0 skala Richter di Kabupaten Sumenep, Jatim makin nelangsa. Pasalnya, bantuan logistik tak kunjung disalurkan, mereka sampai harus berutang kepada sejumlah toko.
Kini bantuan dari berbagai pihak itu masih teronggok di posko-posko bantuan di Desa Pancor dan Desa Prambanan.
BACA JUGA: Dana Rp 23,7 Miliar untuk Rumah Rusak Akibat Gempa Situbondo
Lambatnya penanganan korban merupakan akibat lamanya proses validasi data dan kurang lancarnya komunikasi antartim yang terlibat penanganan pascabencana.
Sunati, warga Jam Busok, Prambanan, menyatakan, keluarganya kini sudah berutang Rp 700 ribu ke beberapa toko untuk membeli sejumlah bahan pokok.
BACA JUGA: TNI Merelokasi Warga Korban Gempa dan Tsunami ke Palu Utara
Perempuan yang mata kanannya lebam karena terhantam reruntuhan tembok itu mengaku belum pernah mendapat bantuan apa pun meski sudah didata petugas.
"Rumah saya ambruk kayak begini. Makan juga beli sendiri sampai utang Rp 700 ribu ke toko. Nggak ada bantuan," ungkapnya.
BACA JUGA: Gempa di Situbondo, Pipa PDAM di Bali Bergeser
Rumah perempuan 60 tahun tersebut ambruk total. Dia dan suaminya, Buasa, mengalami luka cukup parah.
Selain lebam di mata kanan, punggung Sunati harus dipijat setiap hari untuk menghilangkan sakit lantaran tertimpa tembok.
Sedangkan Buasa harus berjalan pincang karena luka sayatan kaca rumah yang menimpa kaki kirinya.
Beberapa warga lain yang diwawancarai Jawa Pos juga mengaku harus berutang ke sejumlah kerabat.
Meskipun nominalnya hanya Rp 100-300 ribu. Namun, ada pula yang mengaku sudah punya stok sembako sendiri.
Misalnya keluarga Zainuri di Dusun Kon Laok, Prambanan. "Kami bersyukur masih ada stok bahan sendiri. Karena memang keluarga besar di sini," ucapnya.
Jawa Pos menelusuri buntut mandeknya proses distribusi bantuan sejak Jumat (12/10). Sebenarnya ada banyak pihak yang terlibat dalam penanganan korban.
Namun, antartim tak kunjung menyelesaikan masalah paling mendasar dalam musibah kali ini. Yakni akurasi data jumlah korban beserta perinciannya.
Kesimpangsiuran data tersebut bersumber dari sistem pelaporan di level dusun dan desa yang diteruskan ke kecamatan. Misalnya yang terjadi di Desa Sukorami Timur, Nonggunong.
Sedikitnya ada 14 rumah terdampak yang dilaporkan. Sejak Kamis malam (11/10) warga terpaksa tidur kedinginan di luar rumah beralas tikar lantaran belum ada bantuan.
Namun, Kepala Desa Sukorami Timur Rasyid menyebutkan indikasi kesalahan pelaporan dalam pernyataan yang kontradiktif.
"Nggak butuh (bantuan, Red) ke sana. Warga masih berani tidur di rumah sambil lihat-lihat cuaca," ucapnya.
Seluruh bantuan logistik kini masih menumpuk di posko Prambanan dan posko Gayam.
Bahkan, proses bongkar muat bahan bantuan di dermaga Terabung masih berlangsung hingga petang kemarin. Selain selimut, bantuan lainnya belum tersalurkan.
Pasiops Kodim 0837 Sumenep Kapten (Arh) Erlambang Budi menyebutkan, mekanisme distribusi bantuan bakal diserahkan kepada kepala desa setempat.
Setelah data korban valid, pihaknya bakal terjun langsung bersama BPBD kabupaten untuk mengawasi. "Ini sesuai dengan hasil rapat koordinasi," ucap dia.
Rencananya, ada tenggat untuk pelaporan total korban gempa di tiap desa. Batas akhirnya petang hari ini.
Kalaksa BPBD Kabupaten Sumenep Rahman Riadi menjelaskan, untuk distribusi bantuan, setidaknya BPBD butuh delapan mobil pikap.
Dia memperkirakan mobilitas pendistribusian antara Gayam-Nonggunong itu menelan 100-150 liter bensin per hari.
Jalan rusak dan jarak yang memisahkan antardesa terdampak itu bakal jadi kendala tersendiri. "Saya minta bantuan BNPB. Karena ini penanganannya masih belum optimal di lapangan," tuturnya. (mir/c9/diq/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ingat, Ada Dua Patahan Aktif di Kawasan Surabaya
Redaktur & Reporter : Natalia