JAKARTA - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mulai gerah dengan desentralisasi pendidikan. Dalam agenda Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan 2012 pekan depan, akan dipastikan nasib kebijakan pendidikan nasional. Apakah tetap desentralisasi sesuai dengan semangat otonomi daerah. Ataukan akan ditarik lagi menjadi sentralisasi ala orde baru dulu.
Kepala Biro Perencanaan dan Kerja Sama Luar Negeri Kemendikbud Ananto Kusuma Seta di Jakarta, Kamis (23/2). Ananto mengatakan, evaluasi desentralisasi pendidikan akan menjadi salah satu isu penting dalam rembuk nasional yang bakal dimulai Minggu malam depan (26/2) itu.
Dia menjelaskan, hasil dari rembuk massal dengan peserta 980 orang itu akan menentukan nasib kebijakan pendidikan ke depan. Dia belum bisa memastikan apakah nanti pendidikan akan kembali dipusatkan seperti era kepemimpinan Presiden Soeharto dulu. "Yang jelas dalam rembukan nanti ada adu argument dari pemerintah pusat hingga daerah," kata dia.
Meski belum bisa menerka, Ananto mengakui memang selama ini ada banyak kelemahan dalam desentralisasi pendidikan. Diantara yang mencolok adalah, banyaknya pemerintah daerah yang belum mengalokasikan dana pendidikan sebesar 20 persen dari APBD. Dana pendidikan masih kalah jauh dari dana proyek-proyek pembangnan infrastruktur umum lainnya.
Padahal, dalam UUD 1945 sudah jelas jika anggaran pendidikan minimal 20 persen dari APBN atau APBD. Dengan perubahan dari sistem desentralisasi ke sentralisai pendidikan, diharapkan minimnya anggaran pendidikan di daerah bisa teratasi.
Persoalan lain yang muncul dari desentralisasi pendidikan adalah, terjadi ketimpangan jumlah guru. Sampai saat ini, guru masih menumpuk di pulau Jawa saja. Di pulau-pulau lain, banyak pemda yang menjerit karena kekurangan guru. "Dengan ditariknya guru menjadi pegawai pusat, tentu bisa mempermudah distribusi guru," kata dia.
Desentralisasi pendidikan di ranah guru juga meninggalkan persoalan lainnya. Yaitu, guru rentan dijadikan objek politik pemerintah daerah.
Sudah bukan rahasia lagi, banyak guru menjadi korban mutasi asal-asalan akibat tidak nurut dengan arus politik daerah. Kepala sekolah yang tidak bisa mengumpulkan suara bagi calon kepala daerah incumbent rentan dimutasi atau bahkan diturunkan dari jabatan kepala sekolah. (wan)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kemdikbud Klaim Zona Bebas Korupsi
Redaktur : Tim Redaksi