Sasa, yang meminta identitasnya disamarkan, dulu sangat bersemangat ketika ia diterima di salah satu perusahaan e-commerce ternama di Indonesia.
Tapi hanya menjelang satu tahun bekerja, ia memutuskan untuk keluar.
BACA JUGA: Dunia Hari Ini: Ratusan Ribu Buruh Indonesia Turun ke Jalan Rayakan May Day
"Keluarnya waktu itu selain ada better opportunity memang dapat tawaran yang lebih bagus, tapi merasa culture nya kurang sehat waktu itu," ujarnya.
"Pace-nya cepat, yang bikin kita kerjanya enggak stop."
BACA JUGA: Peringati Hari Buruh, Menaker Ida Luncurkan Kepmen Dukung Hubungan Industrial yang Harmonis
Sasa mengatakan jam kerja yang "fleksibel" merupakan kelebihan dari bekerja di start-up. Namun kata itu malah seperti pedang bermata dua.
"Jam pulangnya pun fleksibel, artinya molor ke belakang," ujar Sasa tergelak.
BACA JUGA: Fraksi PKS Konsisten Memperjuangkan Kesejahteraan dan Perlindungan Buruh
"Jadi masuk mungkin jam 10 atau setengah 11, masih oke meski tidak disarankan, tapi udahannya bisa lumayan malam, mungkin jam 8-an [baru] bisa keluar kantor, atau jam 9.
"Terus sampai rumah masih harus buka laptop lagi karena kerjaan belum selesai."
Setidaknya sekali setiap bulan, Sasa juga harus bekerja di akhir pekan karena adanya kampanye marketing yang jatuh di hari itu.
"Tetap harus dikerjakan di weekend, memang tidak ada pilihan," katanya.
Tidak jarang ia melihat para pekerja start-up yang turun berat badan, hingga masuk rumah sakit.
"Temen saya ada yang diinfus tapi masih ngetik," katanya.
"Turun berat badan karena kalau udah sibuk banget itu enggak pengen makan."Tren bekerja di start-up
Menurut data Masyarakat Industri Kreatif Teknologi Informasi dan Komunikasi Indonesia (MIKTI), terdapat setidaknya 1.190 startup di Indonesia pada tahun 2021.
MIKTI menemukan 49,5% karyawan startup ini merupakan Generasi Z atau penduduk berusia 17-25 tahun pada 2021, dengan 80,8% karyawannya berpendidikan S1.
Sasa menilai ada sisi positif dari bekerja di perusahaan startup atau e-commerce.
"E-commerce ini bisa dijadikan batu loncatan," katanya.
"Jadi kalau kamu sudah jebolan dari situ, lebih gampang untuk cari pekerjaan lain."
Faktor lain yang menjadi alasan adalah tren.
"Karena somehow mereka menganggap masuk e-commerce ini keren tanpa mungkin benar-benar mengetahui kerja di dalam itu seperti apa," ujarnya.
"Mungkin saya juga pas lihat dari luar ya, mendengar teman-teman kerja di ... yang ecommerce atau start up atau tech company, kayak 'wih, cool' gitu.
"Tapi sebenarnya harus memang siap sih, siap mental, siap tenaga, harus benar-benar fully aware kalau siap kerja di situ."
Di sisi gelapnya, industri raksasa teknologi atau sejenisnya memang tidak jauh dari budaya pemutusan kerja dalam jumlah besar.
Di Indonesia, beberapa perusahaan besar seperti GoTo, Shopee, Ruangguru, Sayurbox, hingga Zenius sudah pernah memangkas ribuan karyawannya.
Beberapa perusahaan juga tutup permanen seperti JD.ID, HappyFresh, dan Fabelio.Serikat bagi pekerja gedung tinggi
Amalia Suri, Direktur Eksekutif Emancipate Indonesia mengatakan semakin tingginya angka pekerja start-up juga harus dibarengi dengan naiknya tingkat kesadaran pekerja atas haknya.
Untuk mewujudkannya, organisasinya berkolaborasi dengan beragam akun anonim di internet seperti salah satunya ecommurz.
"Kami menyebut diri kami sebagai Serikat Pekerja 4.0," katanya.
"Karena anak-anak muda yang kerja di startup ini merasa karena mereka kerja di gedung tinggi ya mereka tidak merasa butuh serikat pekerja."
Menurutnya, usaha advokasi bagi hak pekerja dikemas sedemikian rupa sehingga menarik perhatian para pekerja yang menggunakan media sosial.
"Ada banyak masalah yang semakin mengamini bahwa orang-orang yang kerja di gedung tinggi, start-up dan lain-lain ini pun termasuk pekerja dan butuh berserikat," ujarnya.
"Dan dalam hal ini akun-akun sambat anonim ini yang formatnya meme berfungsi sebagai serikat itu, tempat orang-orang kemudian curhat, bersosialisasi, bahkan banyak juga advokasi berangkat dari situ."Pentingnya memahami hak pekerja
Berdasarkan pengamatannya, Amalia menemukan masih banyak pekerja yang tidak memahami hak-hak mereka.
Ia mencontohkan pekerja yang tidak tahu tentang cuti haid atau bagaimana setelah bekerja dengan kontrak selama satu tahun, pekerja seharusnya sudah punya hak menjadi pekerja tetap.
"Terus kalau di-PHK pun enggak kepikiran tentang minta pesangon, padahal kan itu hak mereka," ujarnya.
Karena itu, ia menekankan pentingnya memahami hak sebagai pekerja.
"Orang-orang muda harus tahu hak-hak mereka apa, dan yang selalu kami tekankan adalah untuk mereka berserikat," katanya.
"Karena hubungan kerja itu kan memang kadang enggak setara, yang punya modal, pemberi kerja dengan pekerjanya enggak setara.
"Jadi kalau misalnya si pekerja ramai-ramai berdiri, berkumpul, jadi lebih imbang hubungannya, dan lebih mudah untuk mereka datang bersama-sama."
Sementara itu dari sisi pemerintah, Amalia berharap agar mereka lebih memihak para pekerja.
"Pemerintah harus ... mengambil pihak tentunya di pihak yang tidak berkekuatan," katanya.
"Jadi harus ke pihak pekerja, terutama dalam menciptakan undang-undang atau regulasi yang melindungi hak-hak pekerja itu sendiri."
Ia menyayangkan pernyataan pemerintah yang menempatkan diri mereka sendiri di pihak netral, atau hanya melakukan mediasi.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kemnaker Bertekad Perbanyak Kompetensi Tenaga Kerja Lewat Pelatihan Vokasi