Perusahaan tambang dan energi yang sebelumnya melakukan pinjaman besar-besaran untuk ekspansi usaha, kini banyak yang mengalami kesulitan dan terancam bangkrut sejalan dengan anjloknya harga minyak.
Tahun lalu Amerika Serikat mencatat rekor sebagai negara produsen minyak dan gas terbesar. Namun sejalan dengan anjloknya harga minyak dari di atas 100 dolar AS/barel tahun 2014 menjadi di bawah 30 dollar AS/barel, banyak perusahaan energi yang kini bermasalah.
BACA JUGA: Beda Kena Tilang di Indonesia dan di Australia
Sebab, mereka terlanjur melakukan pinjaman besar-besaran untuk ekspansi usaha.
Menurut Deloitte, 35 perusahaan pengeboran minyak dan gas di AS telah mengajukan status bangkrut dalam periode Juli 2014 hingga Desember 2015.
BACA JUGA: Uber Resmi Dilarang Beroperasi di NT
Diperkirakan 35 persen pengeboran minyak dan gas dunia, yaiotu sekitar 175 perusahaan, akan bernasib sama di tahun 2016 ini jika harga minyak tidak juga naik.
Penurunan harga minyak telah mencapai 70 persen sejak 2014 lalu disebabkan terjadinya oversupply. Kondisi ini tidak saja memukul perusahaan minyak namun juga kalangan perbankan dan investor yang menggelontorkan miliaran dollar untuk proyek pengeboran baru.
BACA JUGA: 1 dari 5 Perempuan di Australia Mengaku Dipaksa untuk Melakukan Tindakan Seksual
Ada yang memperkirakan bahwa jika kondisi ini berlanjut tidak menutup kemungkinan terjadinya kembali krisis keuangan global.
Regulator global yaitu Bank for International Settlements (BIS) bulan lalu menyatakan perusahaan minyak dan gas dunia memiliki pinjaman sebesar 3 triliun dollar ke bank dan investor, hampir tiga kali lebih besar dibanding 10 tahun sebelumnya.
Menurut Jaime Caruana dari BIS, sebagian besar pinjaman itu dilakukan oleh perusahaan minyak milik negara dari negara seperti Rusia, Brasil dan China.
Professor Fariborz Moshirian dari University of New South Wales kepada ABC menjelaskan, jatuhnya harga minyak jelas memukul industri energi.
"Utang perusahaan minyak ini sangat mendasar sebab harga komoditas yang anjlok membuat mereka tidak dalam posisi mampu membayar utang mereka," kata Professor Moshirian.
Lembaga pemeringkat Standard & Poor's telah menurunkan ranking investasi perusahaan minyak dan gas dunia.
Kepala S&P's Asia Pasifik Terry Chan mengatakan, perusahaan tambang dan energi kini menghadapi kesulitan.
"Jatuhnya harga minyak mengejutkan para pemain kecil. Kebanyakan pemain kecil di AS misalnya, ikut masuk bisnis ini saat harga minyak sangat tinggi. Makanya banyak sekali tekanan di sektor energi AS saat ini," katanya.
Konsultan minyak dan gas Dr Fereidun Fesharaki menjelaskan akan banyak pemain yang terdepak dari industri ini.
Dr Fesharaki menepis kemungkinan terjadinya krisis keuangan yang disebabkan oleh komoditas.
Dia memperkirakan harga minyak akan turun jadi 25 dollar AS/barel pada Maret nanti namun akan kembali naik ke kisaran 50 dollar AS/barel pada akhir tahun.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kemenlu Australia Peringatkan Warga Kemungkinan Serangan Teroris di Malaysia