JAKARTA--Pemberian tunjangan kinerja atau remunerasi kepada hakim bakal dikaji ulang. Pemicunya adalah terus munculnya kasus hakim nakal yang tertangkap tangan meneripa suap. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemen PAN-RB) me-warning Mahkamah Agung (MA) segera berbenah.
Peringatan keras dari jajaran Kemen PAN-RB ini disampaikan langsung oleh Wamen PAN-RB Eko Prasojo. "MA harus bisa menata para hakim. Apalagi sudah menerima tunjangan remunerasi sejak 2008 lalu," kata dia di Jakarta kemarin. Eko mengatakan pihaknya masih memberi waktu kepada internal MA untuk menindak tegas hakim-hakim yang masih nakal.
Guru besar Universitas Indonesia (UI) itu mengatakan, kasus suap para hakim memang mencoreng pemberlakuan gerakan reformasi birokrasi (RB) di lingkungan MA. Padahal, gerakan RB ini menjadi dasar pemberian tunjangan yang awalnya dipatok 70 persen dari pagu remunerasi. "Tujuan remunerasi itu jelas, untuk meningkatkan kinerjanya. Tetapi bagaimana jika terkena kasus terus," papar Eko.
Menurut Eko, MA sejatinya lebih matang dalam mengawasi kinerja hakim. Pasalnya program RB yang ada di korps pengadil itu sudah berjalan lima tahun. Pihak Kemen PAN-RB menegaskan akan segera meminta laporan sistem pengawasan hakim MA. Jika memang dalam sistem pengawasan ini lemah, MA dan tim RB siap menjalankan evaluasi bersama.
Meskipun sudah banyak hakim yang tertangkap tangan kasus suap, namun belum ada tanda-tanda tunjangan remunerasi untuk seluruh hakim akan dicabut. Sebab pihak Kemen PAN-RB menilai jika ada pelanggaran, itu dilakukan oleh oknum. Maka yang distop tunjangan remunerasinya hanya untuk hakim yang nakal itu saja.
Kasus yang terjadi di MA ini menurut Eko harus menjadi pelajaran untuk instansi kementerian atau lembaga yang juga sudah menerima tunjangan remunerasi. Diantaranya adalah Polri, TNI, Kementerian Keuangan, dan Badan Pemeriksa Keuangan. Meski di sejumlah lembaga itu ada aparatur yang korup atau menerima suap, masih dipandang sebagai oknum belum kesalahan sistem.
Kemen PAN-RB mengakui sampai saat ini pemberian tunjangan remunerasi belum berdampak signifikan terhadap pencegahan perilaku tindak pidana dalam jabatan. Baik itu korupsi maupun suap. "Untuk itu dalam percepatan program reformasi birokrasi, kita dorong pemberantasan KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme, red)," papar Eko.
Dia menuturkan pemberian tunjangan remunerasi harus benar-benar diiringi sistem pengawasan aparatur yang ketat. Sehingga bisa menutup celah untuk korupsi atau menerima suap. Jika dua kejahatan itu terus berjalan, maka negara akan tekor dua kali. Yakni tekor untuk membayar remunerasi dan anggaran yang dikorup.
Selain urusan tunjangan remunerasi, Eko juga menyindir penegakan sumpah jabatan. Dia menilai jika banyak aparatur negara di jajaran legeslatif, eksekutif, dan yudikatif yang meremehkan sumpah jabatan. "Ketika disumpah, banyak yang menganggap itu sebagai rutinitas birokrasi saja," tandasnya. Dia mengakui prihatin dengan kondisi tersebut.
Belum ada keterangan resmi dari MA terkait hal ini. Namun secara teknis sebenarnya sudah ada divisi khusus, Bagian Pengawasan, yang dipimpin Ketua Muda Pengawasan MA, Timur Manurung. Bekerja melakukan pengawasan kinerja para hakim sampai ke seluruh daerah di Indonesia.
Hakim Ad Hoc Tipikor MA, Krisna Harahap, mengatakan kasus yang terjadi belakangan ini tentu ada pengaruhnya terhadap kinerja MA. "Kejadian-kejadian begini akan memukul MA," ujarnya kepada Jawa Pos, kemarin.
Secara umum, Krisna mengatakan, perlu ada perbaikan mulai dari rekruitment hakim yang harus lebih diperbaiki dan diperketat serta pengawasan intensif sampai ke daerah. "Hakim di bawah MA itu ada tujuh ribu. Bagaimana mengawasinya" Tentu tidak mudah. Kebetulan ini ada yang tertangkap tangan. Yang tidak tertangkap tangan itu bagaimana?" ucapnya.
Pengawasan kepada hakim sebanyak itu dinilai Krisna bukan perkara mudah. Atas dasar itu dia berharap para hakim menyadari pentingnya integritas dan kesadaran moral. "Seperti saya katakan sebelumnya. Hakim itu ibarat sapu untuk membersihkan rumah. Mana mungkin rumahnya akan bersih jika sapunya kotor," sesalnya.
Krisna juga berharap ada peran aktif lebih lagi dari KPK untuk melakukan penetrasi, pengawasan, serta penyelidikan. "Ya kita tahu remunerasi sudah diberikan, gaji juga sudah dinaikkan. Tapi tetap ada yang seperti itu. Saya kira moral itu penting," imbuhnya.
Terpisah, lanjutan kasus tangkap tangan hakim PN Bandung Setyabudi Tejocahyono, KPK meminta Direktorat Jendra Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) untuk mencekal seseorang berinisial T. Per 22 Maret, sosok yang diduga seorang pengusaha bernama Toto Hutagalung itu tidak bisa meninggalkan Indonesia.
Pencekalan itu disampaikan oleh WamenkumHAM Denny Indrayana kemarin. Dalam surat nomor KEP-223/01-22/03/2013, menyebutkan kalau pencekalan terkait dengan kasus korupsi yang menjerat Hakim Setyabudi Tejocahyono. "Benar, ada permintaan cegah oleh KPK untuk enam bulan atas nama Toto Hutagalung," ujarnya.
Nama Toto sendiri muncul saat Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto mengumumkan penetapan empat tersangka dikasus tersebut. Mereka adalah Hakim Setyabudi Tejocahyono, Asep selaku perantara pembawa uang, Plt. Kadispenda Pemkot Bandung Heri Nurhayat, dan Toto sendiri.
Saat dilakukan penangkapan Jum"at (22/3), KPK tak menyebutkan adanya nama Toto. Ketika itu lembaga pimpinan Abraham Samad hanya menangkap lima orang. Mereka adalah Hakim Setyabudi, Asep, Heri Nurhayat, bendahara Dispenda bernama Pupung, dan seorang satpam PN Bandung.
Bambang Widjojanto sendiri hingga kini belum memberikan banyak keterangan tentang sosok Toto. Termasuk statusnya saat ini apakah masuk dalam daftar pencarian atau tidak. "Yang pasti, dia disangkakan Pasal 6 ayat 1, atau Pasal 5 ayat 1 atau Pasal 11 UU Tipikor," katanya.
Seperti diberitakan, ramai-ramai soal hakim ini bermula dari operasi tangkap tangan KPK di ruang kerja Setyabudi, Jum"at (22/3) siang. Intaian KPK, sesaat Asep masuk penyidik memergoki adanya uang Rp 150 juta yang dibungkus koran. Dalam mobil Avanza biru yang dikendarai Asep juga masih terdapat banyak uang dalam pecahan Rp 100 ribu.
Dugaan awal, uang tersebut terkait dengan kasus korupsi dana bantuan sosial (bansos) Pemkot Bandung yang ditangani PN Bandung. Dalam sidang yang meyidangkan tujuh terdakwa itu, Setyabudi selaku ketua majelis hakim menghukum ringan. Padahal, kerugian negara dalam kasus Bansos itu menembus Rp 66,6 miliar.
Oleh Setyabudi, masing-masing dihukum selama 1 tahun penjara dan denda Rp50 juta subsider 1 bulan. Tujuh terdakwa yang terdiri dari ajudan Sekretaris Daerah Luthfan Barkah, ajudan Wali Kota Bandung Yanos Septadi, eks Bendahara Pengeluaran Sekretariat Daerah Kota Bandung Rochman dan Kepala Bagian Tata Usaha Uus Ruslan, Staf Keuangan Pemkot Bandung Firman Himawan, Kuasa Bendahara Umum Havid Kurnia dan Ahmad Mulyana juga didenda Rp 9,4 miliar. (wan/gen/dim)
Peringatan keras dari jajaran Kemen PAN-RB ini disampaikan langsung oleh Wamen PAN-RB Eko Prasojo. "MA harus bisa menata para hakim. Apalagi sudah menerima tunjangan remunerasi sejak 2008 lalu," kata dia di Jakarta kemarin. Eko mengatakan pihaknya masih memberi waktu kepada internal MA untuk menindak tegas hakim-hakim yang masih nakal.
Guru besar Universitas Indonesia (UI) itu mengatakan, kasus suap para hakim memang mencoreng pemberlakuan gerakan reformasi birokrasi (RB) di lingkungan MA. Padahal, gerakan RB ini menjadi dasar pemberian tunjangan yang awalnya dipatok 70 persen dari pagu remunerasi. "Tujuan remunerasi itu jelas, untuk meningkatkan kinerjanya. Tetapi bagaimana jika terkena kasus terus," papar Eko.
Menurut Eko, MA sejatinya lebih matang dalam mengawasi kinerja hakim. Pasalnya program RB yang ada di korps pengadil itu sudah berjalan lima tahun. Pihak Kemen PAN-RB menegaskan akan segera meminta laporan sistem pengawasan hakim MA. Jika memang dalam sistem pengawasan ini lemah, MA dan tim RB siap menjalankan evaluasi bersama.
Meskipun sudah banyak hakim yang tertangkap tangan kasus suap, namun belum ada tanda-tanda tunjangan remunerasi untuk seluruh hakim akan dicabut. Sebab pihak Kemen PAN-RB menilai jika ada pelanggaran, itu dilakukan oleh oknum. Maka yang distop tunjangan remunerasinya hanya untuk hakim yang nakal itu saja.
Kasus yang terjadi di MA ini menurut Eko harus menjadi pelajaran untuk instansi kementerian atau lembaga yang juga sudah menerima tunjangan remunerasi. Diantaranya adalah Polri, TNI, Kementerian Keuangan, dan Badan Pemeriksa Keuangan. Meski di sejumlah lembaga itu ada aparatur yang korup atau menerima suap, masih dipandang sebagai oknum belum kesalahan sistem.
Kemen PAN-RB mengakui sampai saat ini pemberian tunjangan remunerasi belum berdampak signifikan terhadap pencegahan perilaku tindak pidana dalam jabatan. Baik itu korupsi maupun suap. "Untuk itu dalam percepatan program reformasi birokrasi, kita dorong pemberantasan KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme, red)," papar Eko.
Dia menuturkan pemberian tunjangan remunerasi harus benar-benar diiringi sistem pengawasan aparatur yang ketat. Sehingga bisa menutup celah untuk korupsi atau menerima suap. Jika dua kejahatan itu terus berjalan, maka negara akan tekor dua kali. Yakni tekor untuk membayar remunerasi dan anggaran yang dikorup.
Selain urusan tunjangan remunerasi, Eko juga menyindir penegakan sumpah jabatan. Dia menilai jika banyak aparatur negara di jajaran legeslatif, eksekutif, dan yudikatif yang meremehkan sumpah jabatan. "Ketika disumpah, banyak yang menganggap itu sebagai rutinitas birokrasi saja," tandasnya. Dia mengakui prihatin dengan kondisi tersebut.
Belum ada keterangan resmi dari MA terkait hal ini. Namun secara teknis sebenarnya sudah ada divisi khusus, Bagian Pengawasan, yang dipimpin Ketua Muda Pengawasan MA, Timur Manurung. Bekerja melakukan pengawasan kinerja para hakim sampai ke seluruh daerah di Indonesia.
Hakim Ad Hoc Tipikor MA, Krisna Harahap, mengatakan kasus yang terjadi belakangan ini tentu ada pengaruhnya terhadap kinerja MA. "Kejadian-kejadian begini akan memukul MA," ujarnya kepada Jawa Pos, kemarin.
Secara umum, Krisna mengatakan, perlu ada perbaikan mulai dari rekruitment hakim yang harus lebih diperbaiki dan diperketat serta pengawasan intensif sampai ke daerah. "Hakim di bawah MA itu ada tujuh ribu. Bagaimana mengawasinya" Tentu tidak mudah. Kebetulan ini ada yang tertangkap tangan. Yang tidak tertangkap tangan itu bagaimana?" ucapnya.
Pengawasan kepada hakim sebanyak itu dinilai Krisna bukan perkara mudah. Atas dasar itu dia berharap para hakim menyadari pentingnya integritas dan kesadaran moral. "Seperti saya katakan sebelumnya. Hakim itu ibarat sapu untuk membersihkan rumah. Mana mungkin rumahnya akan bersih jika sapunya kotor," sesalnya.
Krisna juga berharap ada peran aktif lebih lagi dari KPK untuk melakukan penetrasi, pengawasan, serta penyelidikan. "Ya kita tahu remunerasi sudah diberikan, gaji juga sudah dinaikkan. Tapi tetap ada yang seperti itu. Saya kira moral itu penting," imbuhnya.
Terpisah, lanjutan kasus tangkap tangan hakim PN Bandung Setyabudi Tejocahyono, KPK meminta Direktorat Jendra Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) untuk mencekal seseorang berinisial T. Per 22 Maret, sosok yang diduga seorang pengusaha bernama Toto Hutagalung itu tidak bisa meninggalkan Indonesia.
Pencekalan itu disampaikan oleh WamenkumHAM Denny Indrayana kemarin. Dalam surat nomor KEP-223/01-22/03/2013, menyebutkan kalau pencekalan terkait dengan kasus korupsi yang menjerat Hakim Setyabudi Tejocahyono. "Benar, ada permintaan cegah oleh KPK untuk enam bulan atas nama Toto Hutagalung," ujarnya.
Nama Toto sendiri muncul saat Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto mengumumkan penetapan empat tersangka dikasus tersebut. Mereka adalah Hakim Setyabudi Tejocahyono, Asep selaku perantara pembawa uang, Plt. Kadispenda Pemkot Bandung Heri Nurhayat, dan Toto sendiri.
Saat dilakukan penangkapan Jum"at (22/3), KPK tak menyebutkan adanya nama Toto. Ketika itu lembaga pimpinan Abraham Samad hanya menangkap lima orang. Mereka adalah Hakim Setyabudi, Asep, Heri Nurhayat, bendahara Dispenda bernama Pupung, dan seorang satpam PN Bandung.
Bambang Widjojanto sendiri hingga kini belum memberikan banyak keterangan tentang sosok Toto. Termasuk statusnya saat ini apakah masuk dalam daftar pencarian atau tidak. "Yang pasti, dia disangkakan Pasal 6 ayat 1, atau Pasal 5 ayat 1 atau Pasal 11 UU Tipikor," katanya.
Seperti diberitakan, ramai-ramai soal hakim ini bermula dari operasi tangkap tangan KPK di ruang kerja Setyabudi, Jum"at (22/3) siang. Intaian KPK, sesaat Asep masuk penyidik memergoki adanya uang Rp 150 juta yang dibungkus koran. Dalam mobil Avanza biru yang dikendarai Asep juga masih terdapat banyak uang dalam pecahan Rp 100 ribu.
Dugaan awal, uang tersebut terkait dengan kasus korupsi dana bantuan sosial (bansos) Pemkot Bandung yang ditangani PN Bandung. Dalam sidang yang meyidangkan tujuh terdakwa itu, Setyabudi selaku ketua majelis hakim menghukum ringan. Padahal, kerugian negara dalam kasus Bansos itu menembus Rp 66,6 miliar.
Oleh Setyabudi, masing-masing dihukum selama 1 tahun penjara dan denda Rp50 juta subsider 1 bulan. Tujuh terdakwa yang terdiri dari ajudan Sekretaris Daerah Luthfan Barkah, ajudan Wali Kota Bandung Yanos Septadi, eks Bendahara Pengeluaran Sekretariat Daerah Kota Bandung Rochman dan Kepala Bagian Tata Usaha Uus Ruslan, Staf Keuangan Pemkot Bandung Firman Himawan, Kuasa Bendahara Umum Havid Kurnia dan Ahmad Mulyana juga didenda Rp 9,4 miliar. (wan/gen/dim)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Dilindungi LPSK, Ibas Tak Bisa Tuntut Yulianis
Redaktur : Tim Redaksi