Bapak Tiga Periode

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Kamis, 21 April 2022 – 16:41 WIB
Presiden Jokowi. Foto: Ricardo/JPNN

jpnn.com - Raja-raja Jawa di masa lalu suka membuat gelar untuk dirinya sendiri, dengan tujuan menciptakan legitimasi kekuasaan di mata rakyat. 

Gelar itu bisa panjang dan menggabungkan beberapa julukan untuk memperkuat kekuasaan dan legitimasinya.

BACA JUGA: Rizal Ramli Pilih Menjuluki Jokowi sebagai Bapak PHP atau Bapak Utang

Sultan Yogyakarta sejak Perjanjian Giyanti 1775--yang memecah Mataram menjadi Kesultanan Yogyakarta dan Kesunanan Surakarta--mempunyai gelar berderet ‘’Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengkubuwono Senapati ing Alaga Abdur Rahman Sayidin Panatagama Kalipatullah’’. 

Raja Surakarta mempunyai gelar sedikit lebih pendek, yaitu ‘’Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sunan Paku Buwono Senapati ing Alaga Abdur Rahman Sayidin Panatagama’’.

BACA JUGA: PPP Menjuluki Jokowi Bapak Pemerataan Pembangunan, Mardani PKS Merespons Begini 

Gelar panjang itu untuk memberi legitimasi bahwa kekuasaan seorang raja Jawa sangat luas, mencakup kekuasaan dari langit dan kekuasaan religius untuk menjaga agama Islam. 

Raja Jawa mempunyai silsilah keturunan dari Nabi Muhammad SAW (sayidin). Raja juga seorang panglima tertinggi angkatan bersenjata (senapati ing alaga), dan hamba Allah yang menjadi wakilnya di bumi (kalipatullah).

BACA JUGA: Kalau Dijuluki Bapak Infrastruktur, Jokowi Terkesan Mirip Soeharto

Gelar itu berderet-deret dan bergengsi. Kenyataannya, Kerajaan Mataram sudah tercabik-cabik oleh konflik dan kemudian meminta bantuan Belanda untuk melakukan intervensi. 

Setelah konflik selesai Belanda memecah Mataram menjadi dua.

Legitimasi feodalistis itu masih terbawa sampai sekarang. 

Para pemimpin nasional suka memberikan gelar kepada dirinya sendiri untuk memperkuat legitimasinya. 

Hal itu terlihat pada berbagai gelar dan julukan yang diberikan kepada para presiden Indonesia.

Sebagai pemimpin modern seorang presiden mendapatkan legitimasi kekuasaan dari rakyat melalui mekanisme demokrasi pemilihan umum. 

Namun, para pemimpin tampaknya masih membutuhkan legitimasi tradisional sebagaimana yang didapat para raja yang mendapatkan kekuasaannya berdasarkan wangsit dari langit.

Akun Instagram Sekretariat Negara pada Ahad (17/4) mengeluarkan gelar atau julukan untuk enam presiden yang sudah memimpin Indonesia.  

Bung Karno mendapat julukan Bapak Proklamator. Pak Harto mendapat julukan Bapak Pembangunan. 

B.J Habibie dijuluki Bapak Teknologi. Gus Dur mendapat julukan Bapak Pluralisme. 

Megawati Soekarnoputri mendapat julukan Ibu Penegak Konstitusi, dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mendapat julukan Bapak Perdamaian.

Unggahan itu menyebutkan alasan mengapa para presiden mendapat julukan itu. 

Bung Karno dijuluki sebagai Bapak Proklamator karena perannya membacakan proklamasi 17 Agustus 1945 bersama Bung Hatta.

Pak Harto mendapat julukan Bapak Pembangunan karena selama 32 tahun memerintah memfokuskan program kerjanya pada pembangunan, terutama pembangunan fisik. 

Ketika Pak Harto masih hidup pun gelar itu sudah melekat pada dirinya dan Pak Harto merasa senang dengan gelar itu.

B.J Habibie mendapat julukan Bapak Teknologi karena pengetahuannya yang canggih di bidang ilmu pengetahuan dan berhasil membuat pesawat N-250 Gatotkaca. 

Julukan untuk Habibie ini secara umum bisa diterima meskipun sebenarnya terasa ada pengecilan perannya di bidang demokrasi.

Habibie menjadi presiden paling singkat dalam sejarah Indonesia, hanya 15 bulan, tetapi dalam masa kepemimpinan yang pendek itu Habibie membuat banyak capaian besar di bidang pembangunan demokrasi. 

Habibie merombak total tatanan demokrasi yang dibuat oleh Bung Karno dan Pak Harto yang tidak demokratis.

Bung Karno dan Pak Harto sama-sama melakukan pendekatan top down dalam berdemokrasi. 

Bung Karno dengan Demokrasi Terpimpin praktis tidak memberi ruang kepada civil society untuk bergerak. 

Bung Karno memaksakan konsep Nasakom yang memadukan nasionalisme, agama, dan komunis. 

Bung Karno juga membubarkan partai-partai yang tidak sejalan dengan idenya. 

Kekuasaan Bung Karno berakhir karena peristiwa Gerakan 30 September dan Soeharto kemudian muncul sebagai pengganti.

Pak Harto menerapkan ‘’Demokrasi Pancasila’’ yang pada prinsipnya hanya menjadi demokrasi prosedural belaka, tanpa ada kebebasan partai maupun civil society. 

Pak Harto sangat menekankan pentingnya stabilitas politik untuk dasar pembangunan, dan karena itu memaksa partai-partai untuk berfusi menjadi tiga partai saja. 

Kekuasaan Pak Harto berakhir oleh gerakan Reformasi 1998.

Habibie yang menggantikan Pak Harto merombak tatanan demokrasi dengan memberikan ruang kepada civil society untuk bergerak bebas. 

Habibie kemudian membebaskan pers sebagai tulang punggung civil society. 

Sayangnya, pertanggungjawaban Habibie dibegal oleh Golkar sehingga Habibie tidak bisa mencalonkan diri pada pemilihan presiden 1999. 

Meski singkat, Habibie telah meletakkan fondasi demokrasi yang kokoh. 

Prof Bill Liddle menyebut Habibie sebagai presiden demokratis pertama dan menjulukinya sebagai ‘’Bapak Bangsa’’.

Presiden Gus Dur dijuluki sebagai Bapak Pluralisme karena gagasan-gagasan yang universal mengenai pentingnya keberagaman dan melindungi minoritas.

Masa kepresidenan Gus Dur yang hanya dua tahun sudah berhasil memberi kebebasan kepada kelompok minoritas untuk memperoleh hak-hak sosial dan politiknya. 

Masa pemerintahan Gus Dur yang frantik berakhir dengan impeachment.

Megawati Soekarnoputri yang menggantikan Gus Dur mendapat julukan Ibu Penegak Konstitusi. 

Salah satu capaian Mega adalah mencetuskan berdirinya KPK pada 2003, dan menyiapkan sistem pemilu presiden langsung. 

Ini adalah capaian bersejarah karena untuk kali pertama Indonesia bisa memilih presiden secara langsung.

Julukan Mega sebagai Penegak Konstitusi sekarang tengah diuji dengan munculnya wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa kepresidenan 3 periode. 

Julukan Mega sebagai penegak konstitusi juga menjadi paradoks karena revisi UU KPK pada 2019 menjadi tonggak pelemahan KPK dan sekarang membuat lembaga itu inefektif. 

Sebagai ketua ‘’the ruling party’’ PDIP Mega tidak berbuat banyak untuk mencegah pelemahan KPK di bawah pemerintahan Jokowi yang nota bene adalah petugas partai.

SBY menjadi presiden pertama Indonesia yang terpilih melalui pemilihan langsung. Oleh IG Setneg SBY dijuluki sebagai Bapak Perdamaian karena banyak berpartisipasi dalam misi perdamaian, baik di tingkat nasional maupun internasional.

Beberapa politisi Partai Demokrat tidak puas dengan julukan itu. Mereka lebih suka SBY dijuluki sebagai Bapak Demokrasi karena selama menjadi presiden dua periode SBY sangat berkomitmen terhadap penegakan demokrasi dan konstitusi. 

Pada masa pemerintahan SBY ada upaya untuk membatalkan sistem pemilihan langsung, tetapi SBY mempergunakan hak veto untuk membatalkan keputusan itu.

Unggahan Sekretariat Negara itu mendapat tanggapan ramai dari warganet. Hampir 500 komen muncul atas posting-an itu. Komentarnya macam-macam. Salah satunya ada yang kepo mengapa Jokowi tidak dicantumkan dalam daftar itu. 

Warganet penasaran kira-kira julukan apa yang cocok untuk Jokowi. Ada ajakan warganet untuk memberikan julukan kepada Jokowi setelah nanti selesai menjabat sebagai presiden pada Oktober 2024. 

Sejumlah tokoh dan masyarakat sudah memberikan julukan kepada Jokowi. 

Mantan Ketum PBNU Said Aqil Siradj memberikan julukan sebagai Bapak Infrastruktur sebagai apresiasi kebijakan-kebijakan Jokowi dalam membangun infrastruktur.

Sejumlah lurah yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) menjuluki Jokowi sebagai Bapak Pembangunan Desa. 

Namun, kelihatannya Jokowi tidak terlalu suka. 

Dia secara halus menolak dengan mengatakan bahwa yang paling berjasa dalam membangun desa adalah para perangkat desa.  

Tentu saja sudah banyak muncul julukan negatif kepada Jokowi dari para pengritiknya. 

Fadli Zon menjuluki Jokowi sebagai Prabu Kantong Bolong. Mahasiswa UI (Universitas Indonesia) menjuluki Jokowi sebagai ‘’The King of Lip Service’’.

Mungkin akan menarik kalau diadakan semacam sayembara bagi para warganet dan mahasiswa untuk memberi julukan kepada para presiden. 

Akan menarik untuk melihat apa julukan yang diberikan kepada Megawati dan Jokowi yang sekarang berada di pusaran perdebatan mengenai berbagai masalah ekonomi dan demokrasi.

Komentar Mega terhadap krisis minyak goreng dan munculnya demonstrasi mahasiswa belakangan ini juga banyak memicu komentar tajam warganet. Mega dianggap tidak sensitif terhadap penderitaan emak-emak yang antre minyak goreng. 

Mega dianggap tidak suportif terhadap demo mahasiswa yang mempermasalahkan krisis ekonomi dan politik. 

Mungkin Mega bisa mendapat julukan ‘’Ibu Minyak Goreng’’ atau ‘’Ibu Rebusan’’ karena mengusulkan emak-emak supaya merebus makanan alih-alih menggoreng.

Yang membikin kepo adalah mengapa laman Setneg tidak mencantumkan julukan untuk Jokowi. 

Mungkin karena masih menjabat, atau mungkin juga masih menunggu perkembangan sampai 2024. 

Kalau terjadi perpanjangan masa jabatan maka julukan yang cocok bagi Jokowi adalah ‘’Bapak Tiga Periode’’ (*)


Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler