jpnn.com, JAKARTA - Anggota DPR RI Yohanis Fransiskus Lema atau Ansy Lema bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, Bahan Beracun dan Berbahaya (PSLB3) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menggelar sosialisasi penanganan dan pengolahan Limbah B3 Infeksius Covid-19 di Provinsi NTT, Kamis (4/6/2020).
Sosialisasi melalui video conference ini melibatkan Dinas LHK Provinsi NTT, Dinas Kesehatan Provinsi NTT, Rumah Sakit Rujukan Covid RSUD Prof Dr. W Z Yohannes Kupang, dan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Nusa Cendana, Kupang.
BACA JUGA: Sah! Kombes Polisi Iman Wahyudi Resmi Jadi Kepala UPH Bakamla RI
Dalam sambutan pembuka, Ansy Lema menekankan bahwa peradaban yang sehat dapat diukur dari cara negara dan masyarakatnya dalam hal mengelola sampah. Makin tinggi peradaban suatu negara makin baik proses pengelolaan dan perlakuan terhadap sampah.
Mengutip penulis sekaligus pemerhati lingkungan hidup asal Jerman, Kurt Tucholsky (1890-1935), Ansy menjelaskan bahwa dasar dari tatanan yang sehat adalah pengelolaan sampah. Peradaban yang sehat dimulai dan diukur dari cara masyarakat mengelola sampahnya.
BACA JUGA: Dukung Pernyataan Boni Hargens, Mukhlis Ramlan Ucapkan Kalimat Keras Kepada Fadli Zon dan Razikin
“Ketika Piala Dunia 2018 di Rusia, kita menyaksikan bahwa suporter Jepang mendapatkan applause, puja-pujian dari dunia internasional, terutama karena mereka begitu tertib setelah menonton laga pertandingan berinisiatif penuh membersihkan stadion dari sampah. Saya menceritakan hal ini untuk menggambarkan bahwa peradaban yang tinggi dapat diukur dari cara kita mengelola atau memperlakukan sampah,” ujar politikus muda PDI Perjuangan tersebut.
Untuk konteks NTT, Ansy menilai pemerintah daerah dan masyarakat belum serius dan belum sepenihnya sadar dalam menangani dan mengelola limbah B3. Bahkan, sampai saat ini belum ada kebijakan yang terukur dan cerdas terkait penanganan limbah rumah tangga.
BACA JUGA: Berdamai dengan Covid-19, Ansy Lema DPR: Bukan Berarti Negara Gagal
Padahal, kata Ansy, sampah berdampak pada kualitas kehidupan manusia dan makhluk hidup secara umum, serta erdampak pada lingkungan hidup. Maka kegiatan sosialisasi ini merupakan momentum yang sangat tepat untuk membangun kesadaran, menggagas dan memperkuat kerja sama untuk penanganan limbah B3 yang dihasilkan rumah sakit, maupun yang bersumber dari rumah tangga.
Direktur Jenderal PSLB3 Rosa Vivien Ratnawati dalam sambutannya menjelaskan, salah satu persoalan di tengah pandemi adalah limbah medis infeksius Covid-19. KLHK sudah mengeluarkan Surat Edaran (SE) No 02 tahun 2020 tentang Pengelolaan Limbah Infeksius Covid-19 sebagai suatu bentuk respon cepat dari KLHK agar tidak terjadi penularan penyakit dari limbah infeksius Covid-19 yang tidak diolah.
“Selain mengeluarkan Surat Edaran, kami (KLHK) juga mengeluarkan surat yang ditujukan kepada jasa pengelola dan pengangkutan limbah B3 untuk tetap mengolahnya. Saat terjadi wabah, mereka mundur, tidak mau mengelola dan mengangkut karena takut tertular Covid-19. Kami juga berkoordinasi dengan Kementerian Perhubungan agar pergerakan pengangkutan limbah tidak dilarang,” papar Vivien.
Salah satu persoalan di NTT dan banyak daerah lainnya di Indonesia adalah keterbasan insinerator (tungku pembakaran) limbah B3.
Karena keterbatasan itu, maka KLHK sudah mengeluarkan diskresi agar pemerintah dan rumah sakit dapat menggunakan insinerator yang belum berizin di tengah pandemi Covid-19. Ini sangat perlu untuk mengindari penumpukan limbah infeksius Covid-19.
Sedangkan untuk daerah-daerah yang tidak memiliki insinerator, maka sudah diberikan diskresi untuk melakukan penguburan limbah medisnya berdasarkan standar yang berlaku.
Pemaparan dan Diskusi
Sebagai pemapar pertama, Ansy Lema menjelaskan bahwa jumlah pasien penderita Covid-19 telah mencapai lebih 25.000 orang. Fakta ini paralel dengan peningkatan limbah medis B3. Selama periode Covid-19, limbah infeksius akibat Covid-19 diperkirakan meningkat 30 persen.
Kondisi peningkatan limbah medis B3 perlu diwaspadai, sehingga tidak menularkan Covid-19. KLHK mencatat, hingga saat ini hanya 100 Rumah Sakit yang memiliki insinerator, dan 14 perusahaan jasa pengelola limbah B3 di Indonesia.
Komisi IV menilai persoalan limbah B3 tidak hanya penumpukan limbah medis yang berdampak pada pencemaran lingkungan dan berbahaya bagi kehidupan manusia. Indonesia juga mengalami persoalan impor sampah dari luar negeri yangbtercampur limbah B3. Sampai saat ini, Indonesia telah melakukan reekspor 431 kontainer limbah yang tercampur sampah dan terkontaminasi B3 ke negara asalnya seperti Amerika Serikat, Jerman dan Inggris.
“Komisi IV DPR RI mendesak percepatan izin insinerator, menggunakan insinerator RS yang sedang dalam proses perizinan, mendesak pengoptimalan pengolahan limbah oleh jasa pengelola. Komisi IV juga mendesak KLHK meningkatkan kerja sama dengan pemerintah daerah untuk membangun tempat pengelolaan limbah, mendorong investasi pengolahan limbah medis, dan melakukan inovasi dalam pengelolaan limbah dalam situasi luar biasa saat ini,” jelas Ansy.
Sementara itu, Direktur Pemulihan Kontaminasi dan Tanggap Darurat LImbah B3 KLHK Dr Haruki Agustina, menjelaskan penambahan limbah terjadi saat pandemi karena Alat Pengaman Diri (APD), masker dan sarung tangan juga tergolong B3. Berdasarkan Permen LHK No.P 56/2015, limbah infeksius Covid-19 harus dipilah agar tidak terkontaminasi dengan jenis limbah lainnya. Selanjutnya limbah harus disimpan dalam wadah yang disediakan khusus (SPS LB3).
“Limbah covid-19 harus diangkut untuk diolah melalui insinerator, dibakar pada suhu 800 derajat celcius. Perlu diperhatikan bahwa pengangkutan melalui angkutan tertutup dan disemprot disinfektan. KLHK kini juga mempercepat izin penggunaan insinerator karena sampai saat ini hanya 110 rumah sakit di Indonesia yang memilikinya,” jelas Agustina.
Lebih lanjut, Agustina memastikan bahwa KLHK akan memberikan bantuan fasilitas layanan kesehatan untuk provinsi NTT dari usulan anggota DPR RI Ansy Lema berupa Drop Box Limbah B3 Fasyankes sebanyak 35 unit, plastik pengumpul sampah B3 Fasyankes 7000 lembar, APD petugas pengelola limbah B3 Fasyankes 200 paket serta lima unit kendaraan pendukung penyemprotan disinfektan dan tanki.
Dalam paparannya, Kepala Dinas LHK Provinsi NTT Ferdy Kapitan menginformasikan bahwa terdapat 22 rumah sakit rujukan Covid-19 di NTT. Namun semuanya belum memiliki insinerator mandiri.
Akibatnya, dari tahun 2019-Maret 2020, pengolahan limbah di Kupang memakai insinerator RS Boromeus yang bisa memusnahkan 201.445 ton limbah. Namun, setelah Covid-19 pemerintah bekerja sama dengan PT Sarana Agra Gemilang (PT Semen Kupang) untuk memusnahkan limbah.
Saat ini terdapat 3 zona pemetaan rumah sakit, yakni Timor (27 rumah sakit), Flores (16 rumah sakit), dan Sumba (7 rumah sakit). Ferdy mengusulkan pengadaan empat insinerator di NTT. Flores perlu mendapat dua insinerator karena salah satunya perlu digunakan untuk mendukung pariwisata di Labuan Bajo. Sedangkan yang satunya bisa ditempatkan di Flores Timur untuk kebutuhan daerah-daerah lain di Flores.
Ferdy juga menginformasikan bahwa Pemerintah Provinsi melalui perubahan APBD Tahun 2019 telah mengalokasikan anggaran kebutuhahan untuk UPTD pengelolaan limbah B3 sebesar Rp 8. 536.450.000. Pemprov sudah mengonversi hutan produksi Manulai-Kupang sebesar 2,1 Ha untuk pembangunan insinerator.
“Target kami seharusnya sudah berlaku Mei 2020. Namun ada kendala kelistrikan dan menunggu izin operasional dari KLHK,” imbuh Ferdy.
Ansy Lema mengucapkan terima kasih kepada Menteri KLHK Siti Nurbaya, terkhusus Direktorat Jenderal PSLB3 dan semua pihak yang berpartisipasi dalam sosialisasi ini. Ia berharap, sosialisasi menjadi awal dari upaya besar memerjuangkan NTT yang bebas dari limpah B3 dan limbah rumah tangga.(fri/jpnn)
Simak! Video Pilihan Redaksi:
Redaktur & Reporter : Friederich