jpnn.com, JAKARTA - Anggota DPR RI Yohanis Fransiskus Lema menilai ajakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar kita ‘berdamai’ dengan Covid-19 bukan berarti negara gagal, menyerah kalah, takluk tak berdaya atau bersikap abai terhadap bahaya pandemi Covid-19.
Menurut Ansy Lema, sebelum ditemukan vaksin penyembuh virus corona dan selama pandemik Covid-19 masih menjadi ancaman, maka logis pilihan kebijakannya adalah "berdamai" dengan keadaan.
BACA JUGA: Honorer K2 Rapat Daring dengan Komisi X DPR RI, Hasilnya Menggembirakan
Lebih lanjut, Ansy mengatakan ‘Berdamai’ dalam konteks ini mesti dimengerti sebagai upaya melakukan berbagai tindakan penyesuaian, menjalankan adaptasi baru dalam seluruh aspek kehidupan manusia terhadap Covid-19. Untuk itu diperkenalkan istilah "New Normal".
World Health Organization (WHO) memperkirakan, penyakit Covid-19 tidak akan hilang, dan bisa jadi keberadaannya terus ada dalam kehidupan manusia.
BACA JUGA: Angka Positif Corona Naik Drastis, Begini Respons Mufida DPR RI
Di sisi lain, kehidupan harus terus berjalan. Namun, karena ancaman Covid-19, maka dibutuhkan berbagai penyesuaian-penyesuaian baru. Manusia harus bisa melakukan adaptasi secara cepat agar bisa menjaga dirinya dari ancaman Covid-19 sekaligus tetap bisa menjalankan aktivitas kehidupannya.
Sembari menunggu ditemukan vaksin penyembuh, manusia harus cepat melakukan adaptasi untuk bisa hidup berdampingan dengan Covid-19. Bentuk penyesuaiannya adalah menjalankan protokol kesehatan pencegahan dan penanganan Covid secara ekstra ketat semisal melakukan physical distancing, pakai masker, rajin cuci tangan, menerapkan pola hidup sehat.
BACA JUGA: Reaksi Ansy Lema DPR Setelah Mendapat Kiriman Video dari Para Nelayan NTT
‘Berdamai’ dengan Covid-19 semestinya dimaknai sebagai perubahan fundamental dalam mind-set maupun perilaku aktivitas sehari-hari agar terhindar dari ancaman mematikan Corona.
WHO menyebutkan Covid-19 tidak akan cepat hilang, bahkan mungkin tetap ada dalam kehidupan manusia. Saat belum ditemukan vaksin penyembuhnya, hidup berdamai dan berdampingan dengan COVID-19 adalah pilihan logis yang bisa dilakukan.
Tujuannya agar aktivitas kehidupan/ekonomi kembali berjalan, namun tetap konsisten menjalankan protokol kesehatan secara superketat. Virus itu sulit untuk dihilangkan. Tinggal kita sebagai manusia menalar menggunakan logika untuk menyesuaikan diri, untuk "bersamai".
“Jadi bukan berarti negara tidak memperhatikan kesehatan, kalah atau menyerah. Perang melawan Covid-19 tidak lagi "dari dalam rumah", tetapi “dari luar rumah”. Yang sakit diobati, yang sehat bisa beraktivitas seperti biasa. Keluar rumah, melanjutkan aktivitas kerja, sambal konsisten menjalankan protokol kesehatan,” ujar politikus muda PDI Perjuangan yang akrab dipanggil Ansy Lema tersebut di Jakarta, (21/5/2020).
Menurut Ansy, pandemi Covid-19 tidak hanya menyerang kesehatan manusia, tetapi mengancam seluruh dimensi kehidupan manusia, termasuk ekonomi rumah tangga, masyarakat dan negara. Pekerja informal sebanyak 70,49 juta (56 persen) paling terdampak karena Pandemi Covid-19 sebagai akibat terbatasnya mobilitas usaha dan ekonomi mereka.
Kelompok pekerja sektor ini kini banyak yang tidak bekerja, sehingga tidak memiliki penghasilan. Saat kali pertama Covid-19 mengancam, respons negara dan masyarakat adalah melakukan berbagai pembatasan aktivitas masyarakat, baik berupa pembatasan sosial, karantina mandiri, physical distancing, social distancing, Work from Home (WFH) dan sebagainya.
Berbagai tindakan pembatasan ini betujuan menyelamatkan nyawa manusia dari ancaman Covid-19. Namun, tindakan WFH, misalnya, tidak bisa terus dilakukan oleh semua orang karena pandemi tidak hanya mengancam kesehatan, tapi juga melumpuhkan aktivitas ekonomi.
Kesehatan harus dijaga dan dicegah dari virus Corona, ekonomi harus juga diselamatkan. Keduanya harus berjalan secara paralel. Jembatan untuk menghubungkan keduanya adalah "berdamai" dengan Corona, melakukan penyesuaian dan adaptasi cepat dalam kehidupan.
“Juga dari 56 juta para pekerja formal (44 persen), khusus di sektor industri dan manufaktur kini terancam. Banyak yang sudah di-PHK, karena tidak ada produksi dan mobilitas distribusi terancam. Menurut Kemenaker, jumlah pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dan dirumahkan di tengah pandemi Covid-19 sejauh ini bisa mencapai 2,9 juta orang. Angka ini kemungkinan akan bertambah jika aktivitas kerja manusia tidak digerakkan,” beber Ansy.
Dunia seakan berhenti berputar di tengah pandemik korona. Negara-negara terkunci, manusia mengurung diri dan menjadi paranoid dengan segala sesuatu, termasuk dengan sesama.
Mimpi besar globalis dan kapitalis tentang sebuah dunia tanpa batas (borderless) yang terhubung melalui sistem kerja global yang mengandalkan teknologi mendadak runtuh. Pandemi Covid-19 menciptakan “keterputusan global” (global unconnected).
Rantai supply dan produksi makanan dan obat-obatan antar negara mati. Investasi pun terhenti dan sektor produktif terpukul.
Ini semua menyumbang ke penurunan lapangan kerja. Harga minyak, komoditas tambang dan sawit jatuh. Negara yang menggantungkan diri pada komoditas mengalami defisit dan penerimaan negara terpukul. Perputaran arus barang-jasa dan mobilitas manusia lintas negara terputus.
Dalam situasi demikian, ekonomi negara-negara di dunia terkoreksi sangat dalam tak terkecuali Indonesia. Indonesia masih positif, meskipun turun tajam, pertumbuhan ekonomi pada Triwulan pertama tahun 2020 sebesar 2,97 persen.
Sebagai catatan, setiap kenaikan 1 persen pertumbuhan ekonomi mampu merangkul 1 juta tenaga kerja. Sebaliknya angka kerja kehilangan 1 juta setiap penurunan 1 persen pertumbuhan ekonomi.
“Itu mengapa, aktivitas ekonomi, kerja harus kita lanjutkan, tentu dengan menerapkan protokol kesehatan pencegahan Covid-19 secara ketat,” ungkap Ansy.
Ansy meyakini negara tetap hadir untuk memerangi pandemi Covid-19 dan dampaknya.
Dalam situasi kebencanaan seperti ini, pilihan kebijakan yang dihadapkan pada negara sama-sama buruk dan berisiko. Namun, bagaimanapun negara harus mengambil pilihan yang paling mungkin atau paling baik bagi banyak orang.
Kini Presiden mengajak untuk kembali beraktivitas, sambil tetap memperhatikan protokol kesehatan penanganan covid-19 secara esktra ketat.
Sebaik apapun kebijakan pemerintah, tetapi jika minim dukungan masyarakat untuk taat, maka kebijakan tidak berjalan efektif. Kebijakan negara harus bertemu dengan kebajikan warga (civic virtues), yakni ketaatan warga terhadap aturan pemerintah.
“Bila sudah diizinkan untuk beraktivitas, masyarakat harus konsisten menjaga jarak, cuci tangan, pakai masker dan jamin imunitas tubuh. Perlu sikap gotong royong, kerja bersama, sinergi dalam memerangi Covid-19,” ajak wakil rakyat asal NTT tersebut.(jpnn)
Redaktur & Reporter : Friederich