jpnn.com - JAKARTA - Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menggelar sidang dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu dengan teradu anggota panitia pengawas pemilu (Panwaslu) Bireuen, Provinsi Aceh, Deddy Satria.
Deddy selama ini dinilai oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Provinsi Aceh, telah lalai menjalankan tugas dan kewajiban.
BACA JUGA: Tenggat PSU Besok, KPU Surati Kepolisian
“Teradu masih tercatat aktif mengajar di Universitas Malikussaleh Lhokseumawe sekaligus juga sebagai ketua program studi Ilmu Komunikasi. Saya menemukan di jadwal kuliah, teradu masih aktif mengajar,” kata anggota Bawaslu Provinsi Aceh, Muklir di hadapan Ketua Majelis Sidang Jimly Asshidiqqie dalam sidang di ruang sidang DKPP, Jakarta, Selasa (22/4) dengan sarana teleconference atau jarak jauh.
Atas perbuatan tersebut, pengadu menduga Deddy telah melenggar Pasal 85 huruf k, Undang-Undang Nomor 15 tahun 2011, tentang Penyelenggara Pemilu.
BACA JUGA: KPU Kesulitan Gelar Pencoblosan Ulang di Sampang
"Selama jadi komisioner (anggota panwaslu), teradu kurang aktif dan lalai menunaikan tugas,” katanya.
Menanggapi tudingan tersebut, Deddy Satria dengan tegas membantah. Menurutnya, selama ini ia tetap aktif melakukan tugas pengawasan dan selalu ke kantor.
BACA JUGA: Tidak Ada yang Mau jadi KPPS untuk PSU di Sampang
“Memang saya masih tercatat sebagai pengajar sekaligus juga sebagai ketua program studi, tapi itu hanya sekadar formalitas dalam rangka akreditasi universitas. Saya sudah mendapatkan ijin dan dukungan dari pihak dekanat atas ketidakaktifan saya di kampus. Ada pun untuk kegiatan terkait jurusan, saya sudah serahkan ke sekretaris jurusan. Jadi saya bisa fokus sebagai anggota Panwas,” ujarnya.
Atas tudingan dan jawaban kedua belah pihak, Ketua majelis sidang, Jimly Asshiddiqie, mengatakan, sebaiknya seorang komisioner penyelenggara Pemilu dinilai lalai dalam menjalankan tugas, atau sering absen dalam menjalankan tugas disertai dengan fakta-fakta.
“Komisioner tidak pernah aktif atau tidak mengikuti pleno selama tiga kali berturut-turut itu memang pelanggaran kode etik serius. Itu bisa dipecat. Tapi harus ada buktinya, melalui absensi kehadiran misalnya,” katanya.
Untuk itu Jimly meminta setelah sidang pertama digelar, tim Pemeriksa Daerah Provinsi Aceh melanjutkan sidang selanjutnya. Nantinya ketika dirasa sudah. cukup, maka sidang berikutnya DKPP akan menggelar agenda pembacaan putusan.
“Biar komisior yang dipermasalahkan ini segera jelas statusnya dan bisa fokus melanjutkan pekerjaannya, bila tidak melanggar,” ucap Jimly
Sidang kode etik video conference merupakan yang pertama kali kali digelar bertempat di Gedung DKPP. Selama ini sidang bila harus digelar secara video conference, DKPP terpaksa harus meminjam ruangan dan fasilitas yang dimiliki Mabes Polri atau Kejaksaan Agung (Kejagung).
Kualitas gambar melalui layar kaca terlihat sangat jelas dengan suara yang sangat baik. Pada ruang Sidang DKPP, terlihat dilengkapi dua unit televisi berwarna pabrikan Korea ukuran 42 inchi yang menghadap ke majelis, berikut kamera avaya dengan resolusi full HD. Sementara layar untuk pengunjung sidang dipasang infokus. Jaringan terkoneksi dengan server Bawaslu RI.
Sidang ini juga merupakan sidang perdana Tim Pemeriksa Daerah bekerja. Selain itu sidang juga disaksikan oleh seluruh Tim Pemeriksa Daerah yang berada di seluruh Indonesia melalui layar kaca.
“Tim Pemeriksa Daerah di tempat lain di seluruh Indonesia bisa menyaksikan bagaimana persidangan ini. Tapi tidak boleh bicara. Cukup menyaksikan saja. Ini sekaligus contoh bagaimana Tim Pemeriksa Daerah bekerja nanti,” kata Prof Jimly.(gir/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pleno Ricuh, Caleg Lempar Berkas ke KPU dan Panwas
Redaktur : Tim Redaksi