jpnn.com, JAKARTA - Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) di Tanah Toraja, Aceh, dan Sulawesi Utara, meloloskan bakal calon anggota legislatif (caleg) mantan narapidana korupsi.
Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan mengatakan, KPU di daerah sudah melaksanakan tugas dengan baik dengan berpedoman pada Peraturan KPU (PKPU).
BACA JUGA: Begini Respons KPU Soal Ganti Presiden dan Jokowi 2 Periode
Menurut Wahyu, KPU sudah mengirim surat kepada Bawaslu untuk melakukan tindakan koreksi terhadap putusan di bawahannya dalam hal ini Panwaslu.
Dia menjelaskan berdasar Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, Bawaslu berwenang melakukan koreksi apabila ada putusan bawahannya yang tidak tepat.
BACA JUGA: Terinspirasi Jokowi, Sekjen Partai KIK Naik Moge ke KPU
“Tapi sayangnya Bawaslu RI sudah kirim kembali surat ke kami yang minta KPU tetap melaksanakan itu,” katanya di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (27/8).
Menurut dia, hal ini tentu dilematis bagi KPU. Kalau melaksanakan putusan Panwaslu, kata dia, artinya KPU melanggar peraturan yang dibuat sendiri.
BACA JUGA: Caleg Maju di Dua Posisi Sekaligus, Terancam Dicoret
Sebab, dalam PKPU sudah jelas bahwa mantan narapidana korupsi tidak boleh menjadi calon anggota DPR maupun DPD. “KPU tetap berpedoman terhadap PKPU,” tegasnya.
Wahyu mengatakan, pihaknya sebenarnya sudah tidak dalam posisi memperdebatkan substansi PKPU Nomor 14 Tahun 2018, tentang Pencalonan Anggota DPD dan PKPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD.
Sebab, kata dia, PKPU dimaksud sudah sah berlaku dan diundangkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham). Menurut Wahyu, PKPU adalah standar kerja bagi KPU yang mengikat semua pihak termasuk penyelenggara maupun peserta pemilu.
Dia menegaskan satu-satunya pihak atau lembaga yang memiliki kewenangan untuk membatalkan PKPU adalah Mahkamah Agung (MA) melalui proses pengujian.
Nah, ujar Wahyu, sekarang sudah ada tiga kasus di mana Panwaslu mengabulkan sengketa dari mantan narapidana korupsi yang dinyatakan tidak memenuhi syarat oleh KPU kabupaten dan provinsi.
"Kalau ini terus dibiarkan maka menurut pandangan kami, ini akan membahayakan proses pemilu itu sendiri karena tidak ada kepastian hukum," ujarnya.
Mestinya, kata dia, semua pihak termasuk penyelenggara pemilu dalam hal ini KPU, Bawaslu dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) sama-sama menghormati PKPU yang sudah diundangkan.
Jika ada pihak-pihak yang tidak sepakat dengan PKPU, Wahyu mempersilakan untuk melakukan pengujian di MA. "Janganlah kemudian kewenangan Mahkamah Agung dijalankan oleh Bawaslu yang secara sepihak menyatakan PKPU tersebut dinyatakan tidak berlaku," katanya.
Dia mengatakan, pihaknya tidak mungkin dalam posisi tak menghormati PKPU yang dibuat sendiri. Karena itu, ujar dia, semestinya diskursus tentang larangan mantan napi korupsi, kejahatan seksual, dan bandar narkoba sudah selesai manakala norma tersebut telah dicantumkan dalam PKPU yang merupakan hukum positif.
Menurut dia, hal ini juga membahayakan karena memfasilitasi mantan napi korupsi, kejahatan seksual anak, dan bandar narkoba, yang sudah dinyatakan tidak memenuhi syarat oleh KPU sebagai calon anggota DPD, DPR maupun DPRD untuk menggugat putusan KPU di Bawaslu.
"Kalau ini kemudian membesar menjadi bola salju maka keanehan dalam proses pemilu, manakala peraturan KPU diabaikan oleh penyelenggara pemilu itu sendiri menjadi kenyataan," kata dia.
Karena itu, Wahyu meminta DPR memfasilitasi pertemuan dengan beberapa pihak untuk bersama-sama menyelaraskan pemahaman ini. "Karena ini berbahaya, menjadi tidak ada kepastian hukum," katanya. (boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ingin Ubah Wajah Parlemen, Brigjen Awang Jadi Caleg PSI
Redaktur & Reporter : Boy