jpnn.com, PALU - Tidak bisa dimungkiri, masih banyak masyarakat yang rela merogoh uang ratusan juta rupiah demi kursi CPNS.
SUDIRMAN - Palu
BACA JUGA: Pak Menteri Jangan Sampai Absen Lagi
RAUT kekesalan Kiflin, Helmi dan Said, nampak jelas saat menjadi saksi pada sidang dugaan pungutan liar (Pungli) dengan terdakwa Arifuddin serta Imelda Baginda, yang berlangsung di Pengadilan Negeri (PN) Palu, Sulteng.
Wajar, karena mereka saksi sekaligus korban dari dugaan Pungli dan kasus penipuan, dengan iming-iming lolos penerimaan CPNS, 2015 silam.
BACA JUGA: Waspada! Kumpulan Soal Tes CPNS 2018 Palsu Beredar
Perkara ini diperiksa dengan ketentuan undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, Jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Terdakwa Arifuddin sendiri, merupakan mantan Kasubbag Kepegawaian dan Umum, Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian Kota Palu. Sedangkan terdakwa Imelda Baginda, merupakan guru non aktif di salah satu SMK di Kabupaten Sigi.
BACA JUGA: Hakim Kabulkan Gugatan Honorer K2, Alhamdulillah
Saksi Kiflin, Helmi dan Pak Said adalah diantara sekitar 30 korban yang mengalami kerugian puluhan hingga ratusan juta karena perbuatan terdakwa Arifuddin dan Imelda.
Ketiga saksi ini benar-benar terpedaya oleh serangkaian tipu muslihat dari kedua terdakwa yang mengaku bisa meluluskan para korban pada penerimaan CPNS jalur khusus illegal sejak tahun 2015 di lingkungan Pemerintah Kota Palu.
"Untung dia benarkan, kalau menyangkal saya sudah tumbu (pukul) mukanya terdakwa (Arifuddin) di persidangan," kata Said yang masih emosi terhadap terdakwa Ariffudin, ketika ditemui usai persidangan.
Di persidangan Said mengaku, bahwa yang mengikuti penerimaan CPNS jalur khusus ilegal di lingkup Pemkot Palu saat itu adalah anak kandungnya.
Besar keinginan agar sang anak dapat menjadi seorang PNS, akhirnya dia (Said) mendorong anaknya masuk dan mendaftar CPNS jalur khusus yang dibuat seakan akan resmi oleh terdakwa Arifuddin Cs.
Dari situ ratusan juta dikeluarkan Said untuk melicinkan proses anaknya masuk PNS. Belakangan dia penerimaan CPNS itu tidak ada,namun kerugian yang dialami Said sudah kurang lebih Rp300 juta.
"Bersama anak saya, dana itu beberapa kali kita transfer melalui bank, ke rekeningan atas nama terdakwa Arifuddin ada juga kita serahkan ke ibu Intan," sebutnya di dalam persidangan.
Informasi penerimaan CPNS yang dibuat seakan-akan resmi oleh terdakwa, ditambah telah adanya beberapa masyarakat (korban lain) yang mendaftar, semakin menguatkan korban termasuk Said, Helmi dan saksi Kiflin.
"Kita dikabarkan kalau Pak Arifuddin biasa memasukkan orang sebagai PNS, itulah yang meyakinkan kami," tutur saksi Helmi, disahuti saksi Kiflin dan Said.
Karena banyaknya masyarakat yang telah masuk perangkap, malah semakin membuat terdakwa Arifuddin dan Imelda B serta saksi Intan, menjadi-jadi.
Ketiganya seolah orang yang memegang kendali dinegara ini, punya kewenangan mengangkat siapa saja untuk dijadikan PNS.
Berbagai kegiatan yang hubungannya erat dengan proses penerimaan CPNS juga dihelat bagi para korban. Uang korbanlah yang digunakan untuk mendanai kegiatan-kegiatan tersebut.
"Sempat mengikuti pelatihan baris berbaris (PBB) yang dilaksanakan di Kabupaten Sigi. Dan saya sendiri bersama 5 rekan saya lagi, sudah sampai diberangkatkan ke Makassar untuk mengikuti Prajabatan di PKP2A II LAN Makassar," ungkap Helmi di hadapan majelis hakim persidangan yang diketuai Ernawati Anwar SHMH.
Diceritakan Helmi, sesampainya di Makassar mereka yang akan mengikuti prajabatan malah tidak diterima pihak LAN.
Karena dari Kota Palu mereka tidak dibekali surat pengantar resmi yang dikeluarkan oleh instansi terkait di Pemkot Palu. Sementara umumnya, mengikuti prajabatan di LAN harus membawa surat pengantar.
Tak mau pulang sia-sia, dan guna mencari kepastian soal pelaksanaan prajabatan itu, Helmi dan kelima rekannya terpaksa nginap beberapa hari di salah satu rumah warga.
"Kita di Makassar terlantar, dan untuk meyakinkan soal penerimaan CPNS ini, terdakwa ini (Arifuddin) sempat kita mintai sumpahnya di atas alquran. Kerugian yang saya alami puluhan juta, dengan beberapa kali transfer," cetusnya.
Dengan membawa hasil yang nihil, Helmi pulang ke Kota Palu dan harus mengeluarkan biaya sendiri. Tak berhenti di situ, terdakwa Arifuddin serta Imelda Baginda dan saksi Intan dalam aksinya juga menjanjikan gaji besar, yang akan diterima para korban hingga pensiun.
Guna meyakinkan korban-korbannya para terdakwa bahkan sampai menyiapkan SK 80 persen, serta surat penempatan tugas bagi para korban di beberapa OPD.
Seperti yang dialami saksi Kiflin. Saksi yang hanya menggantikan nama orang lain ini, bersama istri dan iparnya benar-benar tertipu. Saksi ini mengaku tidak hanya mengantongi SK 80 persen.
Dia bersama istri dan iparnya bahkan telah mengetahui dinas yang akan ditempatinya bekerja sebagai PNS. "Saya di ditempatkan di Dikjar Kota Palu, istri dan ipar saya di kantor camat," terangnya.
Saksi ini juga mengaku sempat menerima transferan gaji pertama walaupun belum turun bekerja.
Semakin curiga dengan perbuatan terdakwa, ketika saksi ini berniat untuk masuk kerja di dinas penempatannya. Saat itu terdakwa Arifuddin langsung melarangnya untuk masuk kerja.
"Ternyata memang tidak benar, gaji yang kita terima setelah kita cek, itu ternyata dari terdakwa sendiri," tutur saksi Kiflin dengan raut menahan emosi.
Kiflin bersama keluarganya mengalami kerugian kurang lebih Rp90 juta. Selain mentransfer ke rekening terdakwa Arifuddin, biaya masuk CPNS juga diberikan ke saksi Intan yang sudah diperintahkan terdakwa Arifuddin.
Termasuk mengembalikan SK 80 persen yang telah dilaminating juga ke saksi Intan. Keterangan ketiga saksi ini semua dibenarkan terdakwa Arifuddin dan terdakwa Imelda Baginda.
Ditanya soal SK 80 persen, terdakwa Arifuddin mengaku membuatnya dengan cara memalsukan tanda tangan Wali Kota Palu. "Tanda tangan Ambil diinternet yang mulia," aku terdakwa.
Keinginan para korban adalah uang mereka dikembalikan dan terdakwa harus mendapatkan hukuman yang setimpal dari perbuatannya.
Bayangkan saja, keuntungan yang didapatkan terdakwa Arifuddin dari sekitar 30 korban adalah Rp 1,4 miliar.
Selanjutnya terdakwa Arifuddin dan Imelda Baginda akan menjalani sidang dengan agenda yang sama yakni pemeriksaan saksi.
Kasus ini sebelumnya terungkap dari hasil operasi tangkap tangan terdakwa Imelda Baginda. Selanjutnya dikembangkan, dan tertuju ke terdakwa Arifuddin selaku otak pelaku pungli dan penipuan tersebut.
Dalam pengungkapan perkara ini terdakwa Arifuddin sempat melarikan diri, hingga kemudian berhasil diciduk di Manado, Sulawesi Utara. (**)
BACA ARTIKEL LAINNYA... KemenPAN-RB Gelar Simulasi CAT CPNS
Redaktur & Reporter : Soetomo