BBM Batal Naik, APBN Lebih Aman

Minggu, 01 April 2012 – 01:01 WIB
Ribuan massa yang terdiri dari berbagai elemen masyarakat berkumpul dan menggelar aksi di depan Gedung DPR, Jakarta, Jumat (30/3). Foto : Arundono/JPNN

JAKARTA - Rencana pemerintah untuk menaikkan harga BBM mulai hari ini (1/4), kandas sudah. Ekonom dari INDEF, Enny Sri Hartati, menyambut baik batalnya kenaikan harga BBM ini. Menurutnya, justru APBN lebih aman jika harga BBM tak naik, dibandingkan jika BBM naik.

Enny bukan asal omong. Dia punya argumentasi yang didukung angka-angka. Dijelaskan, jika harga BBM bersubsidi harganya dinaikkan, maka berdampak pada penghematan subsidi yang harus ditanggung APBN sebesar Rp41 triliun.

Sementara, dana kompensasi yang harus ditanggung APBN untuk sejumlah program yang mengiringi kenaikan harga BBM, besarnya sekitar Rp100 triliun. "Jika naik ada penghematan Rp41 triliun tapi kompensasinya hampir Rp100 triliun. Besarnya kompensasi itu jauh lebih besar dibanding subsidi diturunkan (dengan cara menaikkan harga BBM bersubsidi, red)," ujar Enny, yang juga Direktur INDEF, dalam diskusi polemik di Cikini, Jakarta, Sabtu (31/3).

Kompensasi yang harus dikeluarkan jika BBM naik, antara lain untuk Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) untuk 18,5 juta rumah tangga, yang menyedot sekitar Rp25 triliun. Ini belum termasuk untuk subsidi listrik, cost recoversy, tambahan raskin, subsidi untuk orang miskin, dan sejumlah program lain yang menelan sekitar Rp100 triliun.

Karenanya, dia dengan lugas mengatakan, alasan pemerintah bahwa rencana kenaikan harga BBM bersubsidi untuk mengamankan postur APBN, sangat tidak masuk akal.

"Alasan kenaikan harga BBM agar APBN tak jebol, mudah dipatahkan," cetusnya.

Lebih tidak masuk di nalar, lanjutnya, pemerintah tidak berupaya melakukan penghematan di pos-pos lain yang sebenarnya bisa dilakukan. Dia menjelaskan, pos untuk belanja barang saja mencapai sekitar 38 persen. Sementara, belanja barang bukan sesuatu yang bisa dinikmati masyarakat luas, tapi hanya dinikmati birokrasi.

"Belanja pegawai juga naik 19,6 persen. Birokrasi boros dan berfoya-foya tapi masyarakat diminta hemat, diminta menanggung beban," tegasnya.

Menurutnya, rencana kenaikan harga BBM ditentang habis oleh masyarakat karena pemerintah tidak mampu menjelaskan ke publik bahwa kenaikan harga BBM itu akan punya dampak lebih baik bagi masyarakat.

Wakil dari pemerintah yang hadir sebagai pembicara, yakni Denni Puspa Purbasari, yang juga Asisten Staf Khusus Wapres, punya pendapat yang pro kenaikan harga BBM. Dikatakan, dengan batalnya rencana kenaikan harga BBM per 1 April ini, maka gelontoran subsidi akan terus lebih banyak dinikmati kalangan mampu, bukan kelompok miskin, yang angkanya mencapai Rp191 triliun.

"Membakar uang, hari demi hari, uang untuk BBM. Kelompok kaya mengkomsumsi BBM lebih banyak dari kelompok tak mampu," ujarnya. Dia katakan, jika subsidi BBM bisa dikurangi, maka dananya bisa dialihkan untuk pembangunan infrastruktur, jaminan sosial, pendidikan, dan lain-lainnya.

Dikatakan, pembangunan infrastruktur penting untuk menggenjot investasi. Investasi bisa memacu pertumbuhan ekonomi, dan ekonomi yang tumbuh bisa menyerap tenaga kerja yang dampaknya mengurangi kemiskinan.

Lagi-lagi, penjelasan itu dibantah Enny dari INDEF. Dikatakan, asumsi bahwa pertumbuhan ekonomi bisa mengurangi angka kemiskinan, hanyalah teori saja. Dia menyebutkan, berdasarkan hasil penelitiannya yang menjadi bahan disertasinya, pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap angka kemiskinan hanya 0,39 persen saja. "Saya miris," cetusnya.

Benny Soesetyo, budayawan yang juga jadi pembicara diskusi, mengatakan, hitung-hitungan angka jika tidak berdasarkan hati nurani tapi berdasarkan kepentingan tertentu, maka sulit dipercaya.

"Harus jujur juga, apakah menghitungnya ada pesanan atau tidak. Pejabat hidup berfoya-fota, rakyat terus menderita," sindirnya.

"Argumen tertentu digunakan jika sesuai dengan kepentingan politik kelompoknya," imbuh pakar psikologi politik, Hamdi Muluk. (sam/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Inflasi Maret Rendah


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler