BBM Dibatasi, PDIP Sebut Pemerintah Tak Konsisten

Senin, 23 April 2012 – 17:41 WIB
JAKARTA – Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menilai pemerintah tidak konsisten dalam menjalankan kebijakan konversi Bahan Bakar Minyak (BBM) ke Bahan Bakar Gas (BBG). Padahal konversi ke gas itu merupakan opsi yang dibuat pemerintah dalam APBN. Namun, anehnya pemerintah ingin melakukan pembatasan penggunaan BBM bersubsidi untuk kendaraan yang memiliki kapasitas mesin di atas 1500 CC.

"Artinya, kebijakan itu merupakan memaksakan kepada masyarakat karena hanya punya alternatif menggunakan pertamax. Sementara infrastruktur untuk menunjang konversi ke BBG tidak diefektifkan. Pemerintah tidak konsisten menjalankan konversi BBM ke gas. Tapi pada pilihan memaksa konsumen memakai pertamax," kata anggota Komisi XI Fraksi PDIP, Dolfie OPF didampingi Anggota Badan Anggaran (Banggar) dari PDIP, Daryatmo Mardiyanto kepada wartawan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (23/4).

Ia mengatakan, saat ini pemerintah baru menyiapkan Rp2 triliun untuk menginstall alat dan tangki BBG di SPBU. Dia mengatakan, satu SPBU membutuhkan kurang lebih Rp2 miliar untuk menginstall alat tersebut. Artinya, lanjut dia, kalau ada dana Rp2 trilun, maka baru 100 SPBU yang bisa diinstal.

Disebutkan, pada pasal 7 ayat 6a UU APBNP 2012,  pemerintah diberikan ruang untuk menaikkan BBM dengan syarat IPC 15 persen rata-rata dalam waktu enam bulan. Namun, kata dia, saat ini syarat itu belum tercapai, sehingga pemerintah belum bisa menaikkan harga BBM.
 
“Pemerintah kembali ke skenario pembatasan BBM bersubdisi. Yang sekarang fokus pembatasan untuk kendaraan di atas 1500 cc. Pemerintah juga menyampaikan bahwa kebutuhan riil saat ini adalah 43 juta kiloliter. Padahal, katanya, dalam asumsi APBN disampaikan 40 juta kiloliter. Saat membahas di Banggar, menurutnya, pemerintah juga menyatakan, kalau BBM tidak dinaikkan maka kebutuhan BBM sebesar 43 juta kiloliter.

“Kredibilitas data pemerintah sangat lemah. Dalam sebulan, angka berubah dari 47 juta kiloliter ke 43 juta kiloliter tanpa kenaikan BBM.  Saat dibahas di Banggar bulan lalu, kalau tidak dinaikkan kebutuhan meningkat menjadi 47 juta kiloliter. Kami meragukan kredibilitas angka ini,” jelasnya dengan panjang lebar.

Dia menjelaskan, seumpamanya kebutuhan BBM yang naik dari 40 juta kiloliter menjadi 43 juta kiloliter maka dibutuhkan Rp10 triliun untuk menutupi subsidi. Namun, imbuh dia, jumlah itu tidak masalah dari sisi anggaran karena bisa diambil dari dana BLSM yang tidak jadi direalisasikan karena BBM batal naik.

“Pemerintah tidak menyiapkan infrastruktur BBM ke gas. Tapi mengapa justeru memilih memaksa konsumen membeli pertamax,” ungkapnya.

Dia menyatakan, bisa saja dana dari Balsem diambil Rp10 triliun untuk menambah kesiapan infrastruktur BBG.

“Padahal  balsem itu tidak akan digunakan untuk Balsem karena BBM tak naik. Kenapa kita mau melakukan penghematan rumit, padahal uang ada. Kenapa harus paksa konsumen di pertamax. Kenapa tidak lakukan skenario konversi ke gas. Ambillah balsem untuk bagun infrastruktur  SPBU untuk gas,” ujarnya.
      
Daryatmo menambahkan, dari berbagai hasil survei, ternyata penggunaan BBM bersubsidi itu tepat sasaran. “Kita tidak ingin, kategori pembatasan BBM menjadi jalan bagi legitimasi atau menghindari rencana untuk menertibkan ketidakpatutan atau penyelewengan BBM subsidi,” katanya di kesempatan sama.
      
Ia mengatakan, terkait rencana pemerintah yang ingin melakukan pembatasan, ada tiga hal yang perlu disampaikan. Yakni, kata dia, Pertamina siap laksanakan, tapi ketika rapat dengan Komisi VII mereka butuh persiapan tiga bulan sejak Perpres ditandatangani nanti. Hiswana Migas, menurut dia,  paling tidak butuh waktu enam bulan. Sedangkan lembaga konsumen, lanjut dia, menyatakan penolakan dan ketidakcocokan. (boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Izin SPBG Rumit, Konversi Terganggu

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler