jpnn.com, PALEMBANG - Kenaikan harga BBM non-subsidi akan berdampak kepada banyak lini. Terutama konsumen yang menggunakan beberapa jenis BBM tersebut. Misalnya solar untuk industri.
Kalangan pengusaha mengakui kenaikan ini meningkatkan beban atau cost operasional industri. Ketua Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) Provinsi Sumsel, Alex K Eddy, menerangkan kalau pengaruh tidak langsung pasti ada.
BACA JUGA: Kronologis Waria Paksa Sopir Taksi Online Berhubungan Badan
Contohnya, dengan kenaikan harga solar non-subsidi akan mengakibatkan naiknya biaya transportasi truk pengangkut. “Selain itu pemasok bahan-bahan pembantu untuk operasional industri juga ikut menaikkan harga mereka,” jelasnya.
Demikian juga bagi industri yang pakai dryer (pengering) ber-BBM solar juga ikut terdampak. Artinya dengan kenaikan ini, lanjut Alex, ongkos akan lebih besar.
BACA JUGA: Sahara Paksa Sopir Taksi Online Berhubungan Badan
“Tapi berapa estimasi kenaikan beban biaya kami belum bisa hitung. Masih menunggu apakah ada kenaikan harga bahan-bahan penolong lain,” jelasnya. Di sisi lain, industri karet tak bisa seenaknya memainkan harga karet. Komoditas ini mengikuti harga pasar internasional yang harganya tak bisa diganggu gugat.
Justru yang pengaruhi harga itu, saat dolar menguat dan mengakibatkan rupiah melemah. “Nah, ini sudah terjadi, rupiah melemah sekarang di level Rp14.331. Akibatnya kami jadi membeli bokar (bahan olahan karet) sedikit lebih tinggi,” tutur Alex.
BACA JUGA: Bamsoet Desak Perusahaan Taksi Online Cegah Driver Jahat
Sebab, harga karet dunia berpatokan dengan dolar yang kemudian dikonversi menjadi rupiah.
Meski begitu, pihaknya mengaku tidak pernah kurangi pembelian karet petani walaupun biaya beli bokar lebih mahal. “Total ekspor karet Sumsel itu sekitar 80 ribu ton per bulan,” tandasnya.
Di bidang transportasi, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Asosiasi Driver Online (ADO) Sumsel, Malwadi, menerangkan kenaikan itu jelas ada pengaruhnya. Apalagi banyak taksi online (taksol) maupun ojek online (ojol) gunakan BBM non-subsidi seperti pertalite dan pertamax.
“Jika memang BBM non-subsidi naik, maka harus ada penyesuaian tarif online,” ujarnya.
Tapi tentu driver tak bisa menaikkan sepihak. Harus ada koordinasi dengan aplikator seperti Gojek maupun Grab karena mereka yang mengatur tarif.
“Jadi, langkah awal kami ya koordinasi, dengan mengusulkan penyesuaian tarif. Untuk kenaikannya, tergantung dari persentase kenaikan BBM non-subsidi yang saat ini masih kita hitung,” pungkasnya.
Namun berbeda dengan Ketua DPC Organisasi Angkutan Daerah (Organda) Kota Palembang, Sunir Hadi. Menurutnya, sepanjang yang naik bukan BBM subsidi dan pertalite, pihaknya tidak akan ter-impact.
“Kalau angkutan umum biasanya gunakan BBM subsidi seperti premium dan solar, serta BBM non-subsidi pertalite. Nah, pertalite kan tidak naik, jadi kami tak terdampak,” ujarnya.
Jika pertalite ikut naik, baru angkutan konvensional ikut terpengaruh. “Karena banyak juga angkutan yang pakai pertalite,” ujarnya. Untuk itu, kata dia, tidak akan ada wacana penyesuaian tarif angkutan umum. “Mudah-mudahan pemerintah jangan menaikkan BBM subsidi. Kita harap kondisinya tetap stabil,” tandasnya.
Ketua Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo) Sumsel, Andi, mengatakan, kenaikan harga BBM sudah bisa dipastikan bakal memberikan dampak banyak bagi pelaku UMKM. Pasalnya BBM ini memegang peranan besar bagi bisnis, khususnya dalam hal operasional.
“Pasti terdampak. Kenaikan yang terjadi akan meningkatkan biaya operasional dan ini tentunya tak begitu baik bagi usaha,” jelasnya.
Besarnya kenaikan mau tidak mau akan mendorong pelaku UMKM untuk melakukan efisiensi. Ada biaya tertentu yang ditekan, sehingga produksi atau produktivitas dari UMKM juga akan terganggu.
“Saran kami, jika kenaikan BBM memang sudah tidak dapat dielakkan lagi, maka pemerintah juga harus memikirkan solusi bagi segmen tertentu, seperti UMKM,” tandas Andi. Salah satu contoh yang mungkin dilakukan, memberikan subsidi tertentu bagi pelaku usaha.
Sementara itu, melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar justru dinilainya bagus untuk pelaku UMKM. “Mereka yang sudah merambah pasar global akan diuntungkan dengan nilai dolar yang tinggi untuk ekspor,” tukasnya.
Asisten Manajer Fungsi Koordinasi dan Komunikasi Kebijakan Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) Provinsi Sumsel, Edwin Surya Dewangga, menjelaskan, berdasarkan hasil Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional Sumsel struktur ekonomi Sumsel meliputi Pertambangan dan Penggalian sekitar 21,2 persen.
Lalu, Industri Pengolahan 19,1 persen. Kemudian, Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 17,1 persen. Selanjutnya, Konstruksi 12,1 persen.
“Sektor yang akan terkena pengaruh adalah industri pengolahan dan konstruksi karena banyak bahan baku yang berasal dari impor,” ujarnya. Namun, melemahnya rupiah belum pengaruh kepada penurunan impor barang. “Kalau dilihat data impor-ekspor Sumsel yang dirilis BPS, nilai impor Sumsel masih meningkat. Impor tersebut sebagian besar adalah barang modal yang dapat memacu pertumbuhan ekonomi,” ujar Edwin.
Pemimpin Wilayah BRI Palembang, Eko Wahyudi, mengatakan, perusahaan yang kena dampak pelemahan rupiah pada umumnya yang menggunakan bahan baku impor. “Tapi karena yang kami biaya porsi terbesarnya ada di sektor perdagangan dan pertanian, dampaknya belum begitu terasa,” tukasnya.
Diberitakan sebelumnya, PT Pertamina (persero) akhirnya menaikkan harga BBM. Menyusul melonjaknya harga minyak mentah dunia. Meski terbilang tinggi, kenaikan harga untuk pertamax dan dex series tersebut dinilai wajar. Juga, relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan badan usaha lain.(fad/cj10/rip/ce1)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Menhub Minta Penerimaan Sopir Taksi Online Diperketat
Redaktur & Reporter : Budi