jpnn.com - Chairman of China National Tourism Administration (CNTA), Li Jin Zao tertarik dan berjanji serius menindaklanjuti usulan bebas visa ke Indonesia. Itu setelah Menteri Pariwisata, Arief Yahya meyakinkan poin-poin strategis yang memberi benefit kedua negara di Beijing, Senin, 12 Januari lalu.
DON KARDONO, Beijing
BACA JUGA: Empat Kali Dirampok, Nyaris Tewas di Laut Wakatobi
Bebas visa Tiongkok-Indonesia itu ibarat grendel pembuka pintu dam raksasa untuk melancarkan arus turisme. Indonesia sudah siap dan sudah memberikan green light ke pemerintah Tiongkok. Tinggal menunggu respon positif dari Negara Tembok Raksasa itu. Li Jin Zao, orang nomor satu di CNTA –setingkat menteri yang mengurus pariwisata—itu juga antusias, dengan usulan itu, karena juga berdampak pada kunjungan wisatawan Indonesia ke Tiongkok.
Menpar Arief Yahya memang termasuk kategori marketer yang lihai. Dalam jamuan makan siang yang dilakukan CNTA, Dia menyampaikan data yang membuat Lin Jin Zao terbelalak. Bagaimana tidak? Jumlah orang Tiongkok yang melakukan perjalanan ke Indonesia itu angkanya hampir mirip dengan jumlah orang Indonesia yang ke Tiongkok. Tahun 2014, turis Tiongkok mencapai 883.725 orang. “Orang Indonesia yang ke Tiongkok pun mencapai tujuh ratusan ribu orang dalam setahun,” jelas Arief Yahya.
BACA JUGA: Hebatnya Seorang Guru Ngaji Sekaligus Desainer Baju Muslim (3)
Poin kedua, jumlah warga negara Indonesia yang keturunan Tionghoa itu sudah lebih dari 25 juta jiwa. Angka itu sudah mendekati jumlah seluruh penduduk Malaysia, 29 juta saat ini. Angka itu juga juga sama dengan 5 kali penduduk Singapura, yang masih di kepala 5 jutaan jiwa. “Warga Tionghoa di Indonesia adalah kelompok ekonomi atas, yang berkemampuan melakukan perjalanan wisata ke Tiongkok juga,” ungkap Mantan Bos PT Telkom itu.
Menpar juga menuturkan, sebelum pertemuan itu, pihaknya sudah melakukan komunikasi dengan Duta Besar China untuk Indonesia di Jakarta, dan menyampaikan gagasan soal bebas visa itu. Responsnya sama positifnya. “Kami akan segera melakukan koordinasi terkait dengan bebas visa ke Indonesia ini,” jawab Lin Jin Zao.
BACA JUGA: Hebatnya Seorang Guru Ngaji Sekaligus Desainer Baju Muslim (2)
Lebih lanjut, Menpar Arief Yahya melempar satu poin lagi yang amat menyentuh Chairman Lin Jin Zao. Yakni pertemuan marga, pertemuan keluarga sesama marga, satu garis keturunan, yang terpisah lama. Yang satu tinggal di Indonesia, yang satu menyebar di banyak kota di China. Dengan bebas visa, jalinan komunikasi, persaudaraan dan pertalian darah mereka akan semakin baik, tidak ada jarak lagi. Sebagai keluarga, mereka akan merasakan kualitas hidup berkeluarga yang lebih baik.
Bisa dibayangkan, sejak keluar PP No 10 tahun 1966, orang-orang Tionghoa diberi kebebasan oleh Pemerintah Orde Baru. Mau kembali ke Tiongkok, atau tetap di Indonesia dengan mengganti nama atau identitas. Ada yang memutuskan kembali, ada pula yang memilih tetap di Indonesia. Setelah 49 tahun, mereka berkesempatan untuk reuni, temu kangen, jumpa trah keluarga, arisan keluarga besar, atau apalah namanya? Itu akan menjadi momen humanisme yang amat menyentuh rasa.
Ada tiga kota yang banyak ditinggali orang-orang yang pernah di Indonesia di Tiongkok. Yakni Meichou di provinsi Guangdunshen. Lalu Xiamen di Fujian, dan Haikou. Ada 100 Marga yang memiliki hubungan keluarga dengan orang Indonesia, seperti Liem, Tan, Li, Chia, Liang, Wu, Hoang, Wang dan lainnya. Mereka banyak orang-orang sukses, punya capital dan mampu terbang berwisata keluarga ke Indonesia.
Tiga poin itu, betul-betul mencairkan suasana pertemuan Lin Jin Zao yang didampingi oleh petinggi-petinggi CNTA, seperti Li Shi Hou, Zhu Ning, Xu Hai Jun dan stafnya. Bersama Menpar Arief Yahya, yang didampingi Esthy Reko Astuty, Dirjen Pemasaran Pariwisata, Noviendi Makalam, Kepala Biro Kerjasama Luar Negeri, Vinsensius Jemadu, Kepala Pusat Komunikasi Publik, Masruroh, Kasubdit Wilayah Asia, Yan Permana, Staf Dit Promosi Pariwisata Luar Negeri dan Fachrul Rozi, Staf Sesmenpar.
Arief Yahya sering menyebut ini sebagai pasar community (C), pasar yang sangat strategis, loyal, dan fanatik. Pasar, yang proses mencarinya susah, tetapi begitu dapat mereka akan mengikuti dengan loyal. “Ketika ada business (B), punya community (C), ada campur tangan government (G), dan di support media (M), saya makin optimis,” aku pria kelahiran Banyuwangi Jawa Timur ini.
Secara khusus, Lin Jin Zao mengapresiasi Bali, kawasan wisata yang mendunia karena budaya, tradisi, pantai, ombak, dan ramah tamah penduduknya. Bali sangat dikenal, diminati dan diimpikan oleh orang Tiongkok, terutama di daratan. Pembukaan flight Garuda langsung Beijing-Denpasar tiga kali seminggu itu, cukup memberi jalan yang baik. “Pasti akan lebih banyak lagi orang Tiongkok yang berwisata ke Indonesia,” kata Lin Jin Zao.
Tetapi, dia juga mengingatkan soal keamanan transportasi, baik penerbangan, maupun perjalanan laut dan darat. Satu kecelakaan akan menimbulkan efek yang banyak ke depan, karena itu harus diantisipasi. Rupanya, berita soal kecelakaan itu juga sudah menyebar sampai ke pejabat tinggi di China. “Soal asuransi bagi jasa travel dan agency juga perlu mendapatkan perhatian khusus,” lanjut Lin Jin Zao.
Dia juga meminta agar orang yang bisa berbahasa Mandarin juga lebih banyak, terutama di tempat-tempat public, dan perhotelan. Ini penting agar turis bisa berjalan-jalan dengan nyaman dan punya perasaan aman. Karena bisa berbicara dan dimengerti bahasanya. Menpar Arief Yahya langsung menyetujui usul dan saran Chairman Lin Jin Zao itu. Bahkan, ide untuk training pada pemandu wisata Indonesia itu sekalian disampaikan di forum itu.
Arief meminta tolong kepada CNTA untuk membantu training atau pendidik bahasa Mandarin, sekaligus menyampaikan kebiaasaan yang dilakukan wisatawan Tiongkok di luar negeri. Lin Jin Zao pun langsung setuju. Mereka akan membantu pendidikan bahasa Mandarin.
Soal menu makanan, yang membangkitkan selera orang Tiongkok, juga disampaikan Chairman Lin Jin Zao. Di Jakarta, Bali, Batam, mungkin sudah tidak ada persoalan dengan makanan. Karena banyak restoran China yang gurih, asin, pedas-nya sudah standar internasional, sama dengan rasa di restoran-restoran top di Beijing. Tetapi kota-kota lain, pulau-pulau kecil, memang harus mendapatkan perhatian khusus.
Suasana jamuan makan siang di meja bundar, dengan atap tumpangsari ala Tiongkok berhias lighting dan ukiran oriental, suasananya amat akrab. Penuh dengan komunikasi penting, bagi pengembangan pariwisata, dan menggarap pasar potensial. (bersambung)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kepincut Jackmania, Berharap Masuk Timnas
Redaktur : Tim Redaksi