Beda Pendapat, Revisi UU Pilpres Tertunda

Alot soal Besaran Presidential Treshold

Rabu, 24 Oktober 2012 – 06:51 WIB
JAKARTA - Badan Legislasi (Baleg) DPR akhirnya tidak memaksakan untuk membahas revisi RUU Pemilu Presiden (Pilpres) pada akhir masa sidang ini. Dengan banyaknya perdebatan antarfraksi yang masih muncul, baleg memutuskan menunda pembahasan untuk dilanjutkan pada masa sidang terdekat selanjutnya.

"Pembahasannya diputuskan ditunda karena fraksi belum memiliki angka definitif terkait besaran presidential treshold," ujar Ketua Baleg Ignatius Mulyono di gedung parlemen kemarin (23/10).

Menurut Ignatius, kelanjutan revisi UU Pilpres akan menunggu pandangan fraksi yang definitif. Saat ini, sikap fraksi tidak tegas untuk memberikan angka. Hal itu justru membuat pembahasan revisi UU Pilpres yang direncanakan menjadi hak inisiatif DPR tertunda. "Kami harapkan besaran presidential treshold ini tidak berlarut-larut," ujarnya.

Politikus Partai Demokrat itu menyatakan, penundaan tersebut tidak akan memengaruhi keterlambatan pengesahan UU Pilpres secara signifikan. Itu disebabkan dalam tataran teknis, pembahasan sudah diselesaikan di internal baleg. "Baleg agak tenang menundanya karena memang pembahasan tinggal itu," ujarnya.

Namun, pembahasan revisi UU Pilpres sebagai inisiatif DPR tampaknya masih alot. Sebab, Fraksi Partai Golongan Karya tampaknya belum sependapat dengan pembahasan konsep pemilu serentak di revisi UU Pilpres. "Kalau mau serentak, seharusnya konsensus dulu. Kalau parsial, ini gak akan jalan," kata Nurul secara terpisah.

Menurut dia, Fraksi Partai Golkar pernah mengusulkan agar pemilu serentak dibahas di revisi UU Pemilu lalu. Namun, usul tersebut tidak diapresiasi. Nurul tidak habis pikir kenapa saat pembahasan revisi UU Pilpres, hal itu baru didorong. "Apa mereka siap untuk koalisi permanen. Karena konsekuensinya adalah kompensasi," ujarnya mengingatkan.

Nurul menilai, pembahasan revisi UU Pilpres tidak perlu dipaksakan untuk membahas pemilu serentak. Sebab, yang krusial dalam revisi UU itu terkait angka presidential treshold. Nurul menilai, usul pemilu serentak adalah pembahasan yang sangat emosional. "Pemilu serentak tidak bisa di 2014, idealnya 2019," tegasnya.

Pengamat politik dari LIPI Syamsuddin Haris menyampaikan, pemilu serentak memang tidak mungkin dilaksanakan pada 2014. Meski begitu, Syamsuddin menyarankan revisi RUU Pilpres sebaiknya tetap menyepakati pemilu serentak sebagai agenda masa depan. "UU Pemilu dan UU Parpol sudah jadi. Mana mungkin bisa pemilu serentak 2014? Paling cepat ya 2019," katanya.

Apalagi, imbuh dia, definisi pemilu serentak itu juga masih beragam. Ada yang memahaminya sebagai pelaksanaan pemilu legislatif dan pilpres yang serentak. Tetapi, sebagian pihak yang lain menganggapnya sebagai pemilu nasional dan pemilu lokal. "Kita mau yang mana?" ujar Syamsuddin.

Apa pun yang dipilih, Syamsuddin berharap ada konsensus nasional dalam revisi RUU Pilpres untuk mengagendakan pemilu serentak itu. "Konsensus antara pemerintah dan DPR. Kalau tidak ada konsensus atau cuma diomongin di tingkat pansus, ya tidak akan jadi-jadi," tegasnya.

Lebih jauh, Syamsuddin menilai, presidential treshold atau ambang batas syarat pencalonan presiden sebenarnya tidak relevan. Daripada berdebat mengenai besaran presidential treshold, dia mengusulkan supaya pansus menjadikan parliamentary threshold atau ambang batas perolehan suara parpol untuk ikut dalam penghitungan kursi DPR sebagai patokan pencapresan. Dalam UU Pemilu, besaran parliamentary threshold itu adalah 3,5 persen.

"Semua yang dapat kursi parlemen nasional bisa mengajukan pasangan capres. Saya kira itu lebih masuk akal," kata Syamsuddin. (bay/pri/c6/agm)
BACA ARTIKEL LAINNYA... PKS Lemparkan Persoalan Misbakhun ke Pemerintah

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler