Beda Persepsi Menakertrans dan Menag soal Kawin Cerai

Background di Balik Berita dari Forum Pemred JP Group di Pekanbaru, Riau (2)

Jumat, 20 Juli 2012 – 17:08 WIB
RIAU POS ATASI PENGANGGURAN: Menakertrans Muhaimin Iskandar foto bersama Pemred Jawa Pos Group. Foto: JPNN

jpnn.com - KALAU soal perbedaan tanggal awal dan akhir puasa, itu sudah tradisi sejak dulu. Pemerintah, Muhammadiyah, dan NU, sudah teramat sering berbeda pemahaman. Masing-masing punya alasan, yang sama-sama mendasar, dan sama-sama tidak terbantahkan.

Dalam Forum Pemred Grup Jawa Pos di Hotel Labersa, Pekanbaru, Riau, pekan lalu, Menakertrans Muhaimin Iskandar malah membuat kelakar baru soal “beda paham” itu. Apa perbedaan mendasar Menakertrans (Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi) dan Menag (Menteri Agama)? Soal prinsip dalam kawin cerai saja sudah berseberangan.

“Calon suami istri, kalau hendak menikah cukup datang ke KUA (Kantor Urusan Agama), lalu ada penghulu, saksi, wali, dan ijab khabul, sah, selesai. Kalau mau bercerai, juga sudah ada mekanisme jelas, dan mereka tidak perlu datang lagi ke Kantor Kementerian Agama. Cukup diselesaikan di Pengadilan Agama! Simple,” terang Cak Imin, sapaan akrab Muhaimin Iskandar yang juga Ketua Umum DPP PKB itu.

:TERKAIT Berbeda dengan kawin-cerai antara pengusaha dan pekerja, yang terlibat pernikahan dalam bentuk “hubungan industrial.“Kalau hendak menikah, saya diundang, dipestakan, saya menjadi saksi kesepakatan antara pengusaha dan Serikat Karyawannya. Bedanya dengan Menag, kalau mereka hendak bercerai, mereka tidak cukup menyelesaikan secara internal. Mereka mesti repot-repot mengadu dengan cara demonstrasi Kantor Kemenakertrans. Seminggu, tiga empat kali kami didemo urusan cerai itu,” jelas Cak Imin.

Coba cerai di Pengadilan Agama? Cepat, dan tidak pernah ada demo. Sementara di Nakertrans, harus berantem, bersitegang, dan mengadu ke Kantor Nakertrans? Bahan canda yang dilontarkan Cak Imin itu tentu saja mengagetkan pemred-pemred yang serius menyimak pidato politisi kelahiran Jombang 24 September 1966 itu. Apalagi, intonasi dan gaya bertuturnya, tidak berkesan sedang melucu. Datar, cool, mimik yang serius dan tanpa ekspresi berlebihan.

Selain itu, kelakar Cak Imin itu juga disampaikan di tengah-tengah materi presentasi yang cukup rumit tentang problem kementerian yang dipimpinnya. Dari soal pengangguran yang masih di angka 6,9 juta orang? Lalu pengangguran tertutup, yang masih menembus 21 juta manusia? Soal transmigrasi dan segala problematika lapangan yang serius? Meskipun sudah ada 88 kabupaten baru yang terbentuk karena proses transmigrasi? Anggaran pemerintah yang sangat minimalis, perjuangan transmigran yang luar biasa, cara  berbaur dan berasimilasi dengan penduduk lokal, dan sebagainya.

Soal TKI –Tenaga Kerja Indonesia---, yang bekerja di Malaysia, Taiwan, Singapura, Hongkong, Taiwan dan negara lain? Yang lebih nyaring problem sosial kemanusiaannya daripada problem teknis? Soal keluarga mereka yang ditinggal di Indonesia? Suami atau istri kawin lagi, keluarga menjadi berantakan?
Soal outsourcing? Yang sedang menjadi bahan perbincangan serius di tengah masyarakat pengusaha dan pekerja? “Ada pertanyaan, kira-kira outsourcing itu ada solusinya apa tidak? Jujur saja, kalau pengangguran masih banyak, ya pasti tidak gampang menemukan solusinya. Posisi bargaining mereka sangat rendah,” kata Master Komunikasi UI yang lulus 2001 ini.

Ada juga gagasan, seperti PLN di zaman Dahlan Iskan menjadi Dirut. Bahwa perusahaan pengerah tenaga kerja itu, ketika mengambil tender jenis-jenis pekerjaan tertentu, tidak diukur dari angka paling murah. Karena itu, hanya akan menghasilkan tenaga kerja yang harganya sangat murah. “Kami sedang otak-atik, ide-ide itu untuk dicarikan implementasi yang pas,” papar mantan Wakil Ketua DPR RI dua periode itu, 1999 - 2004 dan 2004 – 2009.

Di Forum Pemred JP Group itu, Cak Imin juga berkisah tentang background peta politik negeri ini dari kaca matanya. Dia yang hadir didampingi Ketua Fraksi PKB, Marwan Ja’far itu mengingatkan kepada pemred-pemred agar jangan terbuai oleh euforia politik lagi. “Harus segera berpijak ke bumi. Demokrasi terus berkembang, bertumbuh, makin maju dan tidak mudah dibendung. Suasana sekarang ini sangat baik dan kondusif, karena itu saatnya lebih banyak mencari solusi-solusi kreatif masyarakat,” ungkap bapak tiga anak ini.

Soal upah murah tenaga kerja, Cak Imin juga berkesimpulan, bahwa pandangan KEN –Komite Ekonomi Nasional—itu betul. Bahwa upah minimum yang tidak murah itu sudah saatnya diterapkan. Dulu, upah murah, menjadi penyebab investor datang. “Sekarang paradigmanya beda. Upah murah sudah tidak lagi menjadi ukuran masukkan investasi dalam negeri,” kata dia.

Justeru, kalau upah murah itu tidak segera diakhiri, tanpa mempertimbangkan waktu, sama halnya dengan menanam bom waktu. Suatu hari nanti, gelombang protes dan demo semakin kolosal. Seperti di China saat ini, “ledakan” kemarahan buruh itu tengah berkecamuk, karena setting awalnya untuk menarik investor dengan konsep buruh murah.

Problem lain, kata Cak Imin, adalah daya saing Sumber Daya Tenaga Kerja Indonesia yang masih jauh di bawah indeks. “Saya bersama Pak Nuh, Mendiknas terus mencari link and match, untuk menemukan potensi tenaga kerja yang siap saing, berkompeten dan memiliki kualitas yang kuat. Kalau itu sudah tercipta, tinggal menemukan matching dengan pasar tenaga kerja. Jadi, tidak lagi soal jumlah lulusan, tetapi kualitas angkatan kerja yang akan bersaing dengan Negara Asean lain. Kita masih kalah dengan Singapura, Malaysia, Filipina, dan China,” kata dia.

Kembali soal guyonan Cak Imin di atas, menteri yang berasal dari PKB ini mengisyaratkan agar ratusan ribu pengusaha melakukan PKB! Maksudnya, Perjanjian Kerja Bersama, yang disingkat PKB. Yang merupakan kontrak kerja hubungan industrial, antara serikat pekerja dan manajemen. “Jadi semakin banyak PKB, semakin majulah Indonesia. Karena itu, laksanakan PKB dengan baik, jalankan PKB dengan baik, perbanyak PKB di perusahaan Anda, maka Insya Allah, kalau PKB banyak, Indonesia akan maju,” ucap jebolan FISIP UGM 1992 itu.

Tentu, kata-kata yang berakhir dengan PKB itu lagi-lagi membuat pemred-pemred ikut tertawa geli. Kok bisa-bisanya pas? “Lho, istilah ini yang bikin bukan saya! PKB ini singkatan yang sudah ada sejak zaman Menakertrans Jacob Nuwawea! Dan beliau dari PDI-P?” kilahnya.(don/bersambung)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Uji Kompetensi sampai Perhimpunan Jurnalis

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler