Seperti saat melihat tim belakang layar kedua kandidat, yang lazim kita sebut sebagai tim sukses Obama dan Romney. Selama enam hari di AS, saya mengamati peran tim sayap yang sangat ketat mengatur personal branding sang calon presiden. Sambil membandingkan dengan peran, fungsi dan tugas tim pemoles performance calon presiden itu.
Sejak Pilpres 2004, Presiden SBY sudah mempraktikkan sebuah manajemen branding terhadap diri dan keluarganya. Karena itu adalah masa kali pertama RI menggunakan model pilpres langsung, tidak melalui MPR RI lagi. Otomatis, siapa yang dikenal, dikenang, dicitrakan positif, diimagekan paling sempurna, dialah yang akan menang.
Model personal branding Presiden SBY, dengan mengatur detail dan konsisten penampilannya secara utuh, membuat publik Indonesia jatuh cinta. Orangnya ganteng, gagah, santun dalam bertutur, baik dalam bersikap, sayang dengan keluarga, romantis, memiliki jiwa seni, jauh dari isu miring, militer bintang tiga yang pasti punya leadership, berasal dari keluarga baik-baik, orang Jawa yang patuh dengan ibu kandungnya, berhasil membina anak-anaknya, tidak sombong, dan perhatian.
Semua hal yang inline dengan bangunan image itu, dia jalani dan perankan dengan baik. Terprogram. Sampai-sampai cara tersenyum, tertawa, menatap lawan bicara, gesture, gerakan tangan, sampai batik yang dikenakan, semua termanage dengan baik.
Pada Pilpres 2009, sukses Presiden SBY terpilih lagi juga tidak lepas dari peran timnya itu. Hanya saja, kali ini ada sedikit perbedaan peran yang dilakukan tim suksesnya itu. Mereka terkesan lebih kelihatan, lebih menonjol, lebih terbaca, dan seolah-olah itu diskenario agar publik tahu, siapa saja tokoh yang berada di belakang layar dan memegang peran vital itu.
Sejak itu pula, tim sukses itu ramai menjadi industri dan peluang bisnis baru berbasis politik. Tidak ada yang salah dari situ. Hanya, di sinilah perbedaan yang amat mendasar dengan Obama dan Romney. Dibilang "tidak punya tim sukses" itu juga tidak mungkin. Mereka punya dalam jumlah yang signifikan, dan semua dipilih karena ahli. Tim sayap itulah yang betul-betul membungkus, mengemas total personality sang capres.
Karena itu, ketika Obama sukses di re-election, tim sayap menjadi salah satu yang disebut-sebut. Tim ini pula yang berperan besar membuat sang calon tampak sempurna, berdiri tegak, penuh percaya diri tampil di manapun, cepat tanggap, naluri leadershipnya kuat, responsif terhadap persoalan sensitif dan problem sosial, kaya joke, sampai-sampai marah pun sudah diukur levelnya.
Tidak mungkin itu semua dilakukan atas pikiran dan inisiatif capres sendiri. Tim "Personal Branding inilah yang punya peran besar. Ada yang bertugas sebagai intelijen, memantau perkembangan rival, dan menyiapkan cadangan strategi untuk menyerang, maupun bertahan. Ada yang pekerjaannya mendesain, menentukan warna, mengatur setting, agar memiliki impact yang optimal. Ada yang mengurus public speaking, mencari data, informasi, menyusun skenario untuk membuat kesan wow.
Sama persis dengan yang biasa dilakukan oleh timses di Indonesia. Bedanya, mereka bekerja seperti kuntilanak. Kakinya tidak menyentuh bumi. Kalau dia mengerjakan sesuatu, tidak kelihatan, tidak kasat mata, dan tidak mau kelihatan, tapi terasa dan bisa dirasakan hasil kerjanya, ada sesuatu yang dikerjakannya. Mereka memang tidak sembarangan mau menampakkan diri. Mirip hantu, ditakuti tetapi tidak mau menampakkan diri.
Di negeri kita, tim sukses justru dipertontonkan jati dirinya. Bahkan, difestivalkan, diadu argumentasi dan isi kepalanya di televisi. Dengan begitu, tim sukses sendiri melakukan pencitraan sendiri, selain harus mencitrakan tokoh di mana dia bekerja.
Bahkan lagi, di KPU juga harus terdaftar siapa nama-nama penanggung jawab timsesnya? Anehnya lagi, disetiap momentum, tim sukses terkesan lebih eksis dari tokoh yang dipolesnya? Lebih ribet, lebih sibuk, lebih menonjol, dan terkadang lebih merepotkan.
Karena itu, terkadang tim sukses itu ada beberapa lapisan, ring satu, ring dua dan ring tiga. Karena organisasi tim sukses ini bersifat temporary, maka dibuat tidak saling mengenal satu dengan yang lain? Bahkan, terkadang, sesama tim sukses, justru bertempur sendiri, berebut pengaruh?
It's ok. Kembali ke peribahasa di atas, lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Tetapi gaya personal branding yang dipilih dan dijalani Obama maupun Romney sebenarnya sama saja. Sama-sama menonjolkan keluarga yang harmonis, menghargai istri dan menempatkan perempuan sebagai mitra setia yang equal, membangun kehidupan berkeluarga yang ideal, menyayangi dan perhatian dengan anak-anak, penuh kesejukan.
Keduanya juga memperlihatkan spirit sportivitas. Saling memuji meskipun sedang menjalani puncak rivalitas. Kalaupun menyerang, menggunakan bahasa yang amat santun dan berpendidikan. Tidak sarkastik, bukan cercaan, bukan makian, dan itupun disampaikan dalam mimik yang tidak sedang bertinju.
Asyiknya, sehebat-hebat tim sukses mengisi dan memoles sang calon, yang keluar di publik hanya satu: sang calon! (*)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Keliling Gang Sempit, Diiringi Live Caping Gunung
Redaktur : Tim Redaksi