Begini Cara Inggris, Belanda dan Jepang Menjaga Borobudur Ketika Menduduki Jawa

Senin, 01 Februari 2016 – 17:17 WIB
Candi Borobudur di zaman Hindia Belanda. Foto: Public Domain.

jpnn.com - KETIKA ditemukan (kembali) oleh Thomas Stamford Raffles pada 1814, Candi Borobudur tak lagi utuh. Beberapa bagian telah runtuh.

Wenri Wanhar - Jawa Pos National Network

BACA JUGA: Lihat! Lukisan Candi Borobudur Saat Baru Ditemukan...Serupa Piramid

Ilalang, pepohonan dan segala sesuatu yang menyelimuti bukit itu disibak. Nampaklah candi raksasa; Borobudur. 

"Penampakan secara keseluruhan merupakan bangunan yang kokoh, dan tingginya sekitar 100 kaki, puncak menara sekitar 20 kaki, namun telah runtuh. Hampir semua bagian interior merupakan bukit itu sendiri," tulis Raffles dalam The History of Java.

BACA JUGA: Maharaja Diraja, Raja Pertama Minangkabau

Dekat dengan bangunan menakjubkan ini, sambung Letnan Gubernur Jenderal Inggris di Jawa (1811-1816) ini, ditemukan sebuah sosok batu yang terputus anggota tubuhnya, yaitu Brahma.

Hanya saja, belum selesai urusannya dengan Boro Bodo--begitu Raffles menyebut Borobudur--dirinya harus meninggalkan Jawa karena berdasarkan Konvensi London, 13 Agustus 1814, Inggris harus mengembalikan Jawa ke tangan Belanda. 

BACA JUGA: Minangkabau Usai Banjir Nabi Nuh

Merujuk catatan kaki yang dibubuhi dalam The History of Java, Boro Bodo sebutan penduduk desa sebelah untuk candi yang dulunya berupa bukit ilalang itu. Boro nama distrik, Bodo berarti kuno.

"Di distrik Boro, propinsi Kedu, dan dekat dengan pertemuan Sungai Elo dan Praga, di atas sebuah bukit berdiri Candi Boro Bodo," tulis Raffles. 

Nyaris Diruntuhkan

Borobudur memang punya daya pikat. Rezim Belanda meneruskan apa yang sudah dimulai Raffles. 

Pada 1882, sebagaimana dijelaskan Daoed Joesoef, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia yang pernah mendalami sejarah Borobudur, ada usulan untuk memugar candi yang nyaris rubuh itu.

Waktu itu, usulannya candi diruntuhkan saja. Reliefnya dipreteli satu-satu dengan hati-hati. Kemudian disimpan di sebuah museum khusus. 

Usulan ini mengemuka mengingat perbaikan besar tak mungkin dilakukan atas pertimbangan teknis dan finansial. 

"Untunglah pengambil keputusan di Batavia menolak usul tersebut," tulis Daoed Joesoef dalam buku Borobudur.

Dipugar Belanda 

Lama terbengkalai, akhirnya pada 1900, Willem Rooseboom, Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1899-1904) membentuk panitia penyelamatan Candi Borobudur.

Dia menunjuk Theodoor van Erp menjadi ketua panitia, dengan anggota J. Brandes (arkeolog) dan B.W. van de Kamer (insinyur pembangunan).

Rencananya, tim ini hanya akan memperbaiki saluran air hujan dan beberapa bagian yang terancam runtuh. 

Atas usulan Van Erp, "pemugaran meluas menjadi usaha untuk mengembalikan candi sedapat mungkin pada wujudnya yang asli," ungkap Daoed.

Biaya penyelamatan Candi Borubudur disetujui pemerintah Hindia Belanda. 

Singkat cerita, setelah melakukan penelitian, pemugaran Candi Borobudur pun dimulai pada Agustus 1907 di masa Johannes Benedictus van Heutsz, Gubernur Jenderal Hindia Belanda 1904-1909. 

Dan, rampung pada 1911 di zaman A.W.F. Idenburg (Gubernur Jenderal Hindia Belanda 1909-1916).

Meski belum sempurna betul, "hasil kerja Van Erp pantas dipuji," tulis Daoed Joesoef.

Nah, ketika Jepang datang menggantikan Belanda (1942), demi Borobudur, "penguasa baru ini bersedia membebaskan Kepala Dinas Arkeologi berkebangsaan Belanda, Dr. Stutterheim dari kamp interniran agar pakar ini bisa dengan tenang meneruskan berbagai usaha perbaikan-perbaikan kecil agar candi tidak runtuh," papar Daoed Joesoef. (wow/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Masih Ingat Gombloh?


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler