Begini Cara Para Influencer Menghadapi Dampak Ekonomi Covid-19

Rabu, 12 Agustus 2020 – 11:48 WIB
Para influencer berbagi cara mendapatkan ide kreatif di tengah pandemi covid-19. Foto: dok. Whitepaper

jpnn.com, JAKARTA - Grup pemasaran dan talenta digital global Gushcloud International (“Gushcloud”) telah merilis sebuah laporan resmi mengenai efek dari pandemi COVID-19 terhadap industri influencer marketing di Asia Tenggara yang berjudul “The New Normal: How COVID-19 has Changed the Fundamentals of Influencer Marketing in Southeast Asia” dalam format. Whitepaper. Whitepaper dapat diakses publik pada website Gushcloud International.

Pandemi Covid-19 yang sedang berlangsung pertama kali menghantam wilayah Asia Tenggara pada Januari 2020 dan sejak itu berdampak besar pada negara-negara tersebut.

BACA JUGA: Influencer Mesir Dipenjara Dua Tahun Gegara Dianggap Tidak Bermoral

Dampak ekonomi dari pandemi ini diperkirakan setara dengan Krisis Keuangan Asia tahun 1997-1998, atau bahkan lebih besar.

IMF memproyeksikan pertumbuhan ASEAN-5 (Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam) -0,6 persen pada 2020, turun dari perkiraan sebelumnya sebesar +4,8 persen (Pusat Studi Strategis dan Internasional, 2020).

BACA JUGA: 5 Berita Terpopuler: Spanduk HUT RI Ada Lambang Salib, Staf KPU Dibunuh, Tiga Polwan Dilecehkan Kasat Reskrim

Whitepaper mengeksplorasi dan membahas dampak pandemi COVID-19 pada industri influencer marketing dan digital entertainment di pasar utama di Asia Tenggara, yaitu Singapura, Malaysia, Indonesia, Filipina, Vietnam dan Thailand, sementara juga melihat studi kasus dari China dan Amerika Serikat, yang sering menetapkan standar dan praktik yang diikuti pasar Asia Tenggara.

Saat virtual press conference dalam rilis Gushcloud Whitepaper, Jang Hansol, dan Amel Carla yang tergabung sebagai exclusive talents di Gushcloud berpendapat, sejak adanya pandemi Covid-19 ini, terdapat banyak perubahan yang terjadi dalam pembuatan sebuah konten.

BACA JUGA: Alya Putri Tinggalkan Profesi Pramugari Demi Jadi Influencer

“Dengan kondisi seperti saat ini, kami sebagai content creator harus bisa membuat ide dan kreativitas baru supaya konten tersebut dapat dinikmati audiens kami meskipun berada di rumah,” ungkap Jang Hansol.

Amel Carla juga mengakui dalam masa pandemi ini harus mencari ide-ide yang lebih kreatif untuk tetap bisa menarik perhatian audiens yang saat ini semakin banyak memiliki referensi content. Hal ini berlaku juga untuk beberapa content yang berafiliasi pada sebuah brand.

Pernyataan mereka sebagai content creator diperkuat oleh beberapa insight dalam Whitepaper tersebut.

“Perubahan yang dibawa oleh COVID-19 telah memicu poros utama dalam perilaku konsumen, seperti apa yang mereka habiskan, konten yang mereka konsumsi, dan prioritas mereka. Agar para digital creator dan industri pemasaran dapat beradaptasi, kita perlu merangkul perubahan ini dan sepenuhnya mengadopsinya untuk mengedepankan strategi baru terhadap merek,” ungkap Althea Lim, Group CEO Gushcloud International.

Untuk negara Indonesia sendiri, Oddie Randa, Country Director Gushcloud Indonesia menjelaskan bisnis influencer marketing di tengah pandemi COVID-19 saat ini mampu bertahan meskipun tetap merasakan dampak yg cukup besar dari pengurangan marketing budget dari beberapa big spender.

“Dengan adanya pengurangan marketing budget ini, Gushcloud melihat ini sebagai sesuatu yang wajar karena banyak bisnis yang harus melakukan penyesuaian dengan lini pendapatan mereka yang terhantam keras pandemi. Dalam beberapa bulan kedepan, semua perusahaan ini akan mampu menyesuaikan diri dengan pandemi dan kembali ke posisi spending seperti semula,” ungkap Oddie.

Whitepaper juga mengeksplorasi bagaimana keadaan dunia pasca-COVID-19. Audiens saat ini memiliki dengan kemampuan pembelian digital yang luas, pemegang merek dan influencer harus melihat dan memanfaatkan strategi e-commerce seperti live-commerce dan social commerce sebagai peluang pendapatan baru.

Dalam hal output konten, peluang baru dari adopsi format dan platform baru seperti TikTok, Twitch, dan Instagram Live diperkirakan akan bertahan untuk jangka Panjang.

Pemegang merek dan influencer harus berupaya mengoptimalkan konten pemasaran mereka untuk platform ini.

Sementara itu, Lani Rahayu, AVP Social Media & Community Blibli.com mengungkapkan pelaku industri dan brand juga harus menyesuaikan diri dalam memanfaatkan influencer marketing.

Blibli, yang merupakan platform e-commerce, memiliki keunggulan lebih dalam melihat karakteristik pasar terutama dari kacamata pelanggan.

“Sebagai sebuah brand, kami juga harus mengambil satu langkah di depan pasar agar dapat memanfaatkan influencer marketing dengan maksimal. Sebagai contoh, Blibli telah menerapkan hal ini saat mengadakan program live streaming Blibli 9th Anniversary: Bagi-Bagi Hepi yang terbukti sukses menarik perhatian, bahkan mereka yang belum menjadi pelanggan kami. Hal ini menunjukkan sinergi dan kolaborasi antara brand dan influencer adalah suatu keharusan di situasi New Normal,” tutur Lani.

Whitepaper menampilkan wawasan dari para profesional industri dari seluruh wilayah, dan juga dibentuk atas kolaborasi dengan Dr. Crystal Abidin (Internet Studies, Curtin University), seorang antropolog dan ahli etnografi yang meneliti budaya influencer, terutama hubungan kaum muda dengan selebriti internet, visibilitas online dan budaya pop media
sosial.

“Memang, pandemi ini terbukti menjadi periode yang sangat sulit bagi seluruh industri. Namun, dengan adanya situasi ini juga menciptakan peluang baru untuk influencer, content creator, bisnis, dan agensi merek. Jika ada industri yang mampu gesit dan cepat untuk menyesuaikan dan beradaptasi dengan perubahan besar, itulah industri pencipta digital," tambah Althea Lim. (flo/jpnn)


Redaktur & Reporter : Natalia

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler