Begini Cara Ustaz Abdul Somad Menyampaikan Pandangan soal Ucapan Puan Maharani

Rabu, 09 September 2020 – 13:43 WIB
Ustaz Abdul Somad. Foto: Instagram ustadzabdulsomad_official

jpnn.com, JAKARTA - Pendakwah Ustaz Abdul Somad (UAS) memberikan pendapat terkait polemik pernyataan Ketua DPR Puan Maharani 'semoga Sumbar menjadi provinsi yang memang benar-benar mendukung negara Pancasila', dalam program ILC 'Sumbar Belum Pancasilais?', Selasa (8/9) malam.

Pada awal pemaparan, UAS mengatakan, tidak ada yang paling mengerti suatu teks kecuali orang yang mengucapkan atau menuliskannya.

BACA JUGA: Ustaz Abdul Somad Antar Bacalon Pilkada Bukittinggi, Sempat Singgung soal Pancasilais

“Saya tidak bisa memahami teks. Al-Qur'an, insyaallah saya baca tafsir. Hadis insyaallah saya baca syarak, tetapi teks yang dikeluarkan oleh manusia saya hanya bisa menduga-duga dan menebak-nebak,” kata UAS.

Dia kemudian menjelaskan terkait Minangkabau dengan Pancasila, maka bisa dilihat satu per satu dari sila-sila itu.

BACA JUGA: Bahas Omongan Puan, UAS Ulas Rumah Makan Padang dan Rangkiang

Sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa.

Berbicara tentang ketuhanan, UAS menjelaskan bahwa Minangkabau tidak hanya bertuhan, tetapi justru membuat orang yang tidak kenal Tuhan menjadi bertuhan.

BACA JUGA: Gamawan Fauzi: Uni Puan Maharani Sah Orang Minang, Tetapi..

UAS menjelaskan, ketika bertausiyah di sebuah Pulau Simeulue, Aceh, ia diajak berziarah ke salah satu makam tua dan orang tua yang menyebarkan Islam yang ternyata berasal dari Minangkabau.

Selain itu, ujar UAS, saat bertausiyah ke Palu, Sulawesi Tengah, di atas bukit di sana juga ada makam tua penyebar Islam yang datang dari Minangkabau.

“Oleh sebab itu, sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, maka Minangkabau adalah para suluh di tengah gelap yang membawa syiar Islam,” kata UAS.

Kedua, kata UAS, tentang Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab.

Ia menjelaskan di depan rumah orang Minangkabau itu adalah rangkiang, tempat menyimpan beras.

Menurutnya, beras itu dibagi lagi, ada yang dimakan keluarga, tetapi ada juga yang menjadi makanan untuk fakir miskin.

“Orang Minangkabau adalah orang yang paling peduli terhadap kemanusiaan,” ujar UAS.

Oleh sebab itu, kata dia, orang Minangkabau bila membuka rumah makan, tidak menganggap pekerja itu sebagai kuli yang digaji.

Melainkan dianggap saudara, yang sistemnya melalui bagi hasil karena mereka melihat sistem kemanusiaan.

“Karena mereka melihat sebagai kemanusiaan itu makanya rumah makan berkembang pesat, yang hari ini mereka jadi pengangkat piring, tahun depan dia insyaallah dia akan punya rumah makan. Kemanusiaan,” katanya.

Tentang sila ketiga Persatuan Indonesia.

UAS menjelaskan orang Minangkabau dahulu amat sangat cukup rukun dan syarat untuk membuat sebuah negara, tetapi lebih memilih bergabung dengan NKRI.

Dia menjelaskan masalah diplomasi tidak ada yang lebih hebat dari Agus Salim.

Agus Salim berhadapan dengan orang Belanda dan negara Eropa lainnya. Berbagai macam bahasa dunia dikuasainya.

Persoalan ekonomi, kata UAS, semua tahu siapa Bapak Koperasi Indonesia adalah Bung Hatta.

“Tentang masalah agama jangan tanya lagi. Orang Minangkabau prestasi agamanya bukan nasional, tetapi dia adalah Imam Masjidil Haram, Syaikh Ahmad Khathib Al-Minangkabawi,” ungkap UAS.

Dia menambakan Universitas Al Azhar dalam sejarahnya hanya sekali memberikan doktor honoris causa kepada seorang ayah dan anak.

UAS menjelaskan yang dimaksudnya adalah H Abdul Malik Karim Amrullah, dan ayahnya Abdul Karim Amrullah.

UAS menambahkan Minangkabau juga memiliki tentara-tentara andal, seperti Haji Miskin, Haji Piobang, dan Haji Sumanik, serta Tuanku Nan Renceh.

“Mereka adalah tentara luar biasa, tetapi kemudian mereka tidak membuat negara, mereka justru menggabungkan diri dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia karena mengamalkan dan mengawal persatuan Indonesia,” katanya.

Sila keempat Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan dan Perwakilan.

Ia menjelaskan air itu menjadi bulat kalau dia lalu di pembuluh, sedangkan kata itu menjadi bulat kalau ada musyawarah mufakat.

Menurut UAS, orang Minangkabau tidak mengambil keputusan sendiri dengan kepalanya sendiri karena tahu mungkin bisa silap salah dan lupa.

Orang Minangkabau mengenal filosofi tungku tigo sajarangan.

Ia menjelaskan kalau memasak ada tiga tungku di sana. Tungku inilah menampung dandang yang begitu besar. Tungku ini juga yang merasakan panasnya api di bawah.

“Tigo tungku sajarangan, ninik mamak, alim ulama, cadiak padai. Orang Minangkabau berkata duduk sendiri terlalu sempit, tetapi duduk bersama terasa lapang. Kenapa? Karena mereka lebih mengutamakan musyawarah mufakat,” jelasnya.

Sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

UAS menegaskan bahwa orang Minangkabau juga sangat adil. Bahkan, ada filosofi anak dipangku keponakan dibimbiang.

Menurut dia, perempuan Minangkabau tidak pernah pergi jauh dari kampung halamannya mencari makan.

Sebab, mereka memiliki ninik mamak yang adil.

Perempuan Minangkau tidak pernah mengalami diskriminasi, karena ada harato pusako tinggi yang tidak dibagi.

Menurut UAS, sebagian ulama mempermasalahkan harato pusako tinggi yang tidak dibagi menjadi warisan.

“Karena itu sebenarnya adalah wakaf keluarga. Ketika seorang perempuan tidak punya suami, atau ayahnya meninggal dunia, tidak keluarga laki-laki tidak ada, siapa yang akan memberi makan dia, ada harato pusako tinggi. Mereka amat sangat mengutamakan keadilan,” ujar UAS.

Ia menjelaskan orang Minangkabau amat sangat Pancasilais. Buktinya, mereka ada dari Sabang sampai Papua.

UAS bercerita dalam suatu kegiatan ketika pesawatnya mendarat di Sorong, Papua, lalu menaiki mobil. Ketika sampai di mobil, ada tangan melambai dari kejauhan.

Dia meminta orang tersebut mendekati mobil yang ditumpanginya.

“Saya tanya ada apa? (Dia berkata) Sayo orang Payakumbuh. Betapa jauh tempat memandang tetapi orang Minangkabau juga sampai di sana,” kata UAS.

Dia menjelaskan orang Minangkabau memiliki filosofi di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung.

Jadi, bisa diterima di mana pun dia berada tidak hanya di Indonesia tetapi di luar negeri. Orang Minangkabau tidak pemarah, dan tak pendendam.

“Bagaimana berdebat hebatnya M. Yamin dan Buya Hamka, tetapi sebelum meninggal apa kata Yamin, “nanti jenazahku tolong dibawakan oleh Buya Hamka ke kampumg halaman”,” ujar UAS.

“Mereka memang berdebat, mereka memang orang yang argumentatif, tetapi hati mereka lembut,” tambahnya.

UAS menjelaskan tiga bulan sebelum Indonesia merdeka, atau pada 29 Mei 1945, M. Yamin seorang putra dari Minangkabau sudah menyuarakan tentang perikebangsaan, perikemanusiaan, periketuhanan, perikerakyatan, lalu kesejahteraan dan sosial.

“Jadi embrio pemikiran Pancasila itu berawal bermuara dari Minangkabau,” tegasnya.

Kemudian, lanjut UAS, barulah disuarakan oleh Bung Karno, lalu disusun secara rapi dan sistematis oleh sembilan orang. 

Dia menegaskan, tiga dari sembilan orang itu berasal dari Minangkabau, yakni Agus Salim, M Yamin dan Bung Hatta.

“Kalau dari sembilan orang, ada tiga orang dari Minangkabau, maka sesungguhnya Minangkabau mewarnai setiap gerak langkah pemikiran orang Indonesia,” katanya.

Jadi, kata UAS, semua ini tentu ada hikmah, dan pelajaran berharga.

Dia mengatakan, siapa yang berbicara sesungguhnya dia sedang merepresentasikan isi kepalanya kepada orang banyak.  

Karena itu, kata UAS, kalau tidak terlalu terlatih biasa untuk bicara, maka lebih baik pakai teks lebih selamat.

“Karena kita pun memang sudah terbiasa bicara pakai teks dari dulu sampai sekarang. Saya pun sebelum bicara saya latih dulu, mudah-mudahan tidak terpeleset karena manusia boleh jadi terlupa, tersilap dan tersalah,” pungkas UAS. (boy/jpnn)

Simak! Video Pilihan Redaksi:


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler