Petir menyambar dalam sekejap. Mereka yang selamat mengalami dampak seumur hidup, mulai dari cacat kognitif, kehancuran hubungan keluarga, dan gangguan kesehatan mental.

Saat jutaan volt listrik mengaliri tubuh Paul Smith, dia merasakan waktu melambat bahkan terasa seperti terhenti.

BACA JUGA: Meta Luncurkan Threads, Aplikasi Baru Pembunuh Twitter?

"Ketika mengira kematian sudah datang, tidak ada bayangan lagi tentang hari-hari yang telah berlalu," katanya.

"Tidak ada lagi ingatan pada kesibukan, kebisingan atau gangguan apa pun. Tak ada lagi kerinduan untuk hal-hal yang belum dilakukan."

BACA JUGA: Waduh, Calon Investor Masih Meragukan Proyek IKN

"Semata-mata tinggal momen di mana kematian itu hadir dan nyata."

"Ini mungkin satu-satunya saat dalam hidupku di mana aku berada dalam momen itu."

BACA JUGA: KOI Akui Bali Batal Jadi Tuan Rumah World Beach Games karena Pendanaan

Paul masih berusia awal 20-an saat dia tersambar petir.

Seperti kebanyakan pria muda seusia itu, Paul merasa tak terkalahkan.

Kematian hanyalah sebuah konsep yang samar-samar dan jauh.

Suatu sore, dia sedang bermain di halaman belakang sebuah kolam renang di Sydney bersama teman-temannya di tengah hujan lebat.

"Salah satu temanku bilang, hei kenapa kita tidak keluar dan bermain,'" kenangnya.

Ide bagus, pikir mereka semua, tanpa menyadari langit gelap yang mendung.

Paul pun lekas-lekas membuka gerbang kolam renang.

Diselimuti cahaya

Tiba-tiba, seberkas cahaya putih muncul di bagian kanan atas penglihatannya.

"Saya ingat saya berpikir 'Apa ini?'" katanya, mengingat kembali peristiwa itu.

"Kemudian saya langsung dikelilingi oleh cahaya putih yang terang, cemerlang, berseri-seri. Itu adalah cahaya paling putih yang pernah saya lihat."

"Saya merasa tertutup di dalam cahaya itu Saya tak bisa melihat gerbang, pohon, pagar, rumah. Tidak ada apa-apa selain cahaya putih."

Paul tetap saja berdiri di sana, tertegun.

Seperti dihentikan waktu.

Hingga tiba-tiba terdengar ledakan yang memekakkan telinga.

"Rasanya seperti sebuah bom meledak di dalam dadaku," ujarnya.

"Seperti kekuatan besar momentum dari dalam ke luar."

"Sambarannya mengguncang saya dan terasa sangat menyakitkan, seperti sentakan dahsyat."

"Aku berpikir, waktuku telah tiba.'"

Paul melihat ke bawah, mengira dia akan menemukan jantungnya yang berlumuran darah tercabik dari dadanya. Tapi ternyata semuanya masih utuh.

Dia tersandung beberapa langkah sebelum akhirnya jatuh telungkup di rumput.

"Aku tidak tahu bagaimana saya bisa bertahan. Saya tidak tahu bagaimana atau mengapa hal itu terjadi, atau bagaimana aku masih ada di sini sekarang," katanya.

"Sambaran petir itu bisa membuatku hancur berkeping-keping. Sampai sekarang saya merasa itu masih ada dalam diriku."

Sudah 30 tahun sejak Paul disambar petir.

Suami dan ayah tiga anak yang kini berusia 58 tahun ini yakin peristiwa yang berlangsung sepersekian detik telah mengubah dirinya selamanya.

Dia menderita sakit kronis, gangguan sakit kepala, stres pasca-trauma yang melumpuhkan, dan serangan depresi.

Beberapa fungsi kognitif, misalnya menerima informasi baru, menjadi lebih sulit baginya dari waktu ke waktu.

Tapi sejauh mana luka Paul yang sebenarnya tetap menjadi misteri, kemungkinan besar hanya akan terungkap seiring berjalannya waktu.

Para ahli mengatakan bagi mereka yang selama dari sambaran petir, cacat kognitif adalah hal biasa, putusnya pernikahan seringkali terjadi akibat libido yang menurun tajam dan orang yang paling ekstrovert pun dapat menjadi semakin tertutup.

Saat matahari terbenam di cakrawala, Paul menyelam lebih dulu ke perairan dingin di Newcastle.

Suhu memberikan kejutan yang menyengat ke sistem tubuhnya.

Dia datang ke sini setiap beberapa hari untuk mencari terapinya sendiri.

Sebagai psikolog yang berspesialisasi dalam trauma kompleks, Paul bekerja sama dengan responden pertama, membantu mereka mengatasi kengerian yang mereka saksikan di tempat kerja.

"Banyak hal yang bisa sangat meresahkan, jadi aku menggunakan berenang di laut untuk mengatasinya," katanya.

"Aku membiarkan air membasuhi tubuhku. Aku membiarkan semuanya mencair ke dalam air."

Air pasang membawanya saat ia meluncur di sepanjang sisian kolam air asin.

Di sampingnya berenang ikan-ikan yang penasaran dan menari-nari di bawah sinar matahari pagi.

"Suhu air dan bagaimana tubuhku merasakannya," katanya.

"Ini seperti obat, selalu menyembuhkan. Suatu perasaan terbaik."

Dia muncul kembali dan tampak sangat hidup.

Terlepas dari tahun-tahun ini, Paul masih belum bertemu orang lain yang selamat dari sambaran petir.

Dia agak selektif berbagi pengalamannya, karena takut momen terburuk dalam hidupnya dapat diartikan menjadi "cerita yang keren."

"Aku merasa sendirian dalam banyak hal ... pengalaman kesepian terburuk karena tidak banyak orang lain yang pernah mengalaminya dan selamat," katanya.

Menurut Biro Statistik Australia, petir menyebabkan 21 kematian di seluruh Australia dalam 10 tahun .

Data yang dikumpulkan Institut Kesehatan dan Kesejahteraan Australia menunjukkan 210 orang dibawa ke rumah sakit karena cedera akibat petir dari 2012 hingga 2022.

Hanya dengan satu sentakan, petir bisa menghantarkan ratusan juta volt.

Diperkirakan sentakan petir memanaskan udara di sekitarnya hingga empat kali lebih panas dari sinar matahari.

'Konstelasi gejala'

Di ruang kantor sederhana di pusat perbelanjaan pinggiran kota Brisbane, Chris Andrews duduk di mejanya, memeriksa makalah penelitian.

Memahami fenomena cuaca dan dampaknya terhadap manusia telah menjadi pekerjaan sehari-hari profesor kedokteran Universitas Queensland ini.

Dokter dan teknisi listrik ini adalah salah satu dari sedikit pakar yang berdedikasi untuk memahami sejauh mana cedera petir pada otak dan tubuh, serta cara menghindarinya.

"Tingkatan kami adalah menebak-nebak, hanya sedikit penelitian formal," ujarnya.

Penelitian menunjukkan para penyintas sering mengalami gangguan secara fisik, psikologis dan emosional setelah disambar petir.

"Efeknya sangat menghancurkan," kata Profesor Andrews.

"Ini adalah konstelasi gejala yang sangat sulit untuk dijelaskan tapi membutuhkan penjelasan."

Profesor Andrews mengatakan fungsi organ orang yang selamat cenderung memburuk hingga 12 bulan setelah tersambar petir, sebelum membaik secara bertahap selama dua atau tiga tahun. Tapi tidak pernah mencapai kapasitas seperti semula.

"Mereka mengalami depresi, PTSD, gangguan kognitif, dan hal-hal itulah yang kemudian membuat mereka berperilaku berbeda," kata Profesor Andrews. 'Merah berarti lari'

Paul sebelumnya menganggap badai petir memiliki menjadi daya tarik tersendiri. Tapi setelah mengalaminya, petir kini menjadi sumber ketakutan dan kesepian.

Dia tahu PTSD memiliki dampak panjang yang bisa menyerang kapan saja.

Dia memeriksa ramalan cuaca hampir setiap hari dan mengetahui polanya dengan baik.

Dia tahu badai mana yang akan datang dan mana yang akan berputar arah.

Saat dia melihat radar dipenuhi dengan warna merah dan kuning, kecemasan mulai muncul dalam dirinya.

"Badai petir sudah ada di dalam benak saya sebelum muncul di radar ... dan kemudian saya memasang mode siaga," katanya.

"Indra saya naik volumenya. Saya dapat mendengarnya bermil-mil jauhnya, lalu langsung melakukan persiapan."

"Merah berarti lari. Itu peringatan: kamu tidak bisa main-main dengan petir. Dia bukan musuh yang setara."

Paul menceritakan kenangan menyakitkan saat PTSD-nya paling terasa.

Suatu sore saat badai mereda, Paul mencari perlindungan di supermarket dalam perjalanan pulang ke tempat yang aman.

Di antara deretan barang-barang, Paul bergidik dan tersentak pada setiap kilatan petir di langit.

Hatinya terasa memar dan perih. Dia seperti merasa sambaran listrik akan melenyapkannya. 

"Energi hilang begitu saja dari tubuhku. Seperti kelumpuhan, kelelahan kronis atau kelesuan," katanya.

"Aku merasa seperti boneka tanpa pegangan, rasanya akan jatuh tersungkur ke tanah."

"Aku mau menangis. Mau pingsan. Ingin rasanya menghentikan ini semua."

Profesor Andrews mengatakan mereka yang terkena sambaran petir, sebagian besar akan terpengaruh secara psikologis.

"Mereka mengalami defisit kognitif – yaitu kecepatan pemrosesan dan kemampuan mereka dalam masalah kognitif," katanya.

"Kesulitan kognitif itu sangat berdampak pada kemampuan kerja mereka."

Tugas seperti menjumlahkan angka, mengingat nama dan nomor telepon menjadi sangat sulit.

Banyak yang tidak dapat melakukannya sama sekali.

Profesor Andrews mengatakan hal itu juga dapat menyebabkan putusnya hubungan keluarga karena banyak yang menarik diri dari kehidupan sosial.

"Orang yang biasanya sangat aktif berolahraga, aktif di klub dan kehidupan keluarga, lantas menjadi sangat tertutup," katanya.

Ditanya apa dampak cedera petir pada susunan syaraf otak, Profesor Andrews hanya menghela napas.

"Itu pertanyaan besar ... dan kita tidak tahu jawabannya," katanya.

Kurangnya penelitian membuat para ilmuwan memiliki beberapa teori, tapi tidak ada suatu teori yang dapat mereka setujui.

Profesor Andrews menyebut salah satu teori menunjukkan bahwa serangan pada tubuh melepaskan hormon kuat yang beredar ke seluruh tubuh, memiliki efek merusak pada jaringan otak.

Dia yakin jumlah sebenarnya dari cedera petir dan kematian mungkin jauh lebih tinggi dari yang tercatat.

Profesor Andrews berharap Australia membuat database korban petir yang memerlukan pelaporan dari responden pertama, dokter umum, dan staf rumah sakit, meskipun akan sulit diterapkan.

Semakin kita memahami cederanya, katanya, semakin baik peluang merawat mereka dan pada akhirnya menurunkan tingkat kematian. Saat guntur mengaum

Di kota Chicago, Illinois, Mary Ann Cooper duduk dalam cahaya redup ruang kerjanya.

Dokter dan pensiunan profesor kedokteran ini adalah ahli terkemuka dunia untuk cedera petir.

Frustrasi oleh kekosongan informasi, Dr Cooper mulai menyelidiki cedera petir pada tahun 1970-an dalam apa yang menjadi studi klinis pertama di dunia tentang konsekuensi medisnya.

"Saya pikir, apa yang harus saya katakan kepada keluarga jika anak mereka tersambar petir?" katanya.

"Kita telah menempuh perjalanan jauh... tapi masih belum tahu semua perubahan biokimia atau neurofisiologis apa yang sebenarnya terjadi."

Dr Cooper membantu menurunkan angka kematian di Amerika Serikat melalui kampanye publik yang menanamkan pesan sederhana: "Saat guntur mengaum, masuklah ke dalam ruangan."

Seperti Profesor Andrews di Australia, Dr Cooper juga berharap pemerintah berbuat lebih banyak untuk meningkatkan kesadaran akan risiko petir. Menemukan jalan ke tanah

Bersama istri dan ketiga putranya, Paul menyeruput kopi di beranda belakang rumahnya di Newcastle dan memalingkan wajahnya ke arah matahari.

Kesehatannya berubah menjadi lebih baik setelah perawatan leher dan kulit kepala baru-baru ini.

Puluhan tahun setelah badai petir mengubah hidupnya, Paul kini lebih kuat dan jadi lebih rendah hati terhadap kekuatan alam daripada sebelumnya.

"Petir seperti bangsat yang sederhana, salah satu tujuannya adalah untuk menemukan jalan ke tanah," katanya.

"Jika bisa membuat pilihan untuk tidak menjadi jalan itu, tentunya itu merupakan keputusan terbaik."

BACA ARTIKEL LAINNYA... Batas Waktu Telah Berlalu, TPNPB Ungkap Nasib Pilot Susi air

Berita Terkait