jpnn.com, SINGAPURA - Peristiwa penyiraman air keras yang dialami Novel Baswedan diyakini sebagai bagian dari skenario pelemahan KPK. Kini, ancaman pelemahan itu juga bergulir di DPR melalui Pansus Hak Angket KPK.
Kepada wartawan Jawa Pos Agus Dwi Prasetyo dan Imam Husein, Novel bersuara menyikapi hal itu. Berikut wawancaranya.
BACA JUGA: Menurut Novel Baswedan, Ini Kekonyolan yang Perlu Dipublikasikan
Teror ke KPK sejak dulu sudah sering dilakukan, tapi yang sekarang terkesan lebih matang dan terstruktur. Apa sebenarnya motifnya?
Saya gak mau komentar soal motif dulu. Kenapa ? Karena nanti teman (merujuk ke polisi) yang mau nangkap (pelaku teror) jadi bingung. Menangkap pelaku yang sudah jelas saja, yang menurut saya tidak terlalu sulit, itu saja tidak bisa. Ketika nanti kalau saya bicara motif, mereka jadi tambah bingung. Kasihan kan. Jadi jangan membebani.
BACA JUGA: Kapolda Berganti, Pengungkapan Kasus Novel Jangan Berhenti
Yang jelas kalau pelemahan KPK yang berjalan itu, ya kita prihatin lah. Mestinya, kita paham bahwa di negara kita korupsinya parah. Kok masih ada saja aparatur atau penyelenggara negara yang beranggapan seolah-olah itu biasa-biasa saja. Seolah nggak ada apa-apa. Ini bohong banget.
Menurut Anda, kenapa pelemahan KPK kian masif, terutama dari DPR, ketika posisi Anda saat ini berada di Singapura. Apakah ini bukan bagian dari skenario pelemahan lembaga Anda?
BACA JUGA: Novel Baswedan Ingin Segera Kembali ke KPK, Duh...Mata Kirinya
Saya juga prihatin belakangan ini kok masalah angket dan masalah lain-lain terjadi. Bagi saya mestinya rakyat berkepentingan dengan masalah pemberantasan korupsi yang benar. Jadi kalau kemudian wakil rakyat justru melakukan hal-hal yang bertolak belakang, sebenarnya mewakili siapa sih ?
Wakil rakyat di DPR terus mencari kesalahan KPK, salah satunya terkait prosedur penyidikan dan penyelidikan yang mereka klaim banyak terjadi penyimpangan. Bagaimana menurut Anda?
Begini, kalau bicaranya di awang-awang seperti itu gampang. Sekarang ngomong saja si A itu begini. Itu kan bicara di awang-awang. Kalau memang ada, ya dilaporin, ditangkap. Ayo sama-sama kita tangkap. Di KPK itu kalau ada yang berbuat jahat, tidak akan disukai. Dan pasti semuanya akan mau nangkap. Saya pun dengan senang hati kalau ada orang-orang KPK yang nakal, yang menerima suap, ayo tangkap. Kalau perlu saya temenin.
Terus kalau sekarang dibilang begini begitu, ini cerita yang mana lagi? Kalau bicara soal prosedur, rasanya penyidik yang paling sering diuji di pengadilan itu KPK. Prosedurnya banyak diuji di praperadilan. Jadi kalau di bilang prosedur itu (menyimpang) di mana lagi? Jadi jangan kemudian bicara di awang-awang. Kalau bicara di awang-awang itu susah. Iktikadnya bukan iktikad baik. Kalau iktikad baik bicaranya sesuatu yang jelas dan objektif.
DPR, khususnya Pansus Hak Angket KPK, berkunjung ke Lapas Sukamiskin untuk mengorek keterangan napi kasus korupsi. Para napi merasa jadi target penyidik KPK. Bagaimana Anda menjelaskan soal tuduhan itu ?
Saya bisa jelaskan dengan logika yang sederhana. Di KPK itu bidang kerjanya pisah-pisah lo. Penyidik itu sendiri, penyelidik itu sendiri, pengaduan masyarakat itu sendiri. Masing-masing di direktorat yang terpisah dan nggak nyambung (antara direktorat satu dengan yang lain).
Lalu seperti apa mekanisme penanganan sebuah perkara di KPK?
Kalau ada pengaduan masyarakat, itu masuknya di (bagian) pengaduan masyarakat yang menerima. Kemudian dikaji, baru ke penyelidikan, kemudian ke penyidikan. Kalau penyidik punya motif seperti tadi (menarget pejabat), caranya bagaimana? Karena tidak pernah ada perkara tiba-tiba penyidik jalan sendiri. Nggak pernah. Nah, mekanisme itu jelas ada.
Ketika dibilang isu atau persepsi dan asumsi bahwa penyidik menarget, habis ini pejabat si A ditarget, dia (penyidik) bagaimana caranya? Orang bidang kerjanya lain. Itu bukan penyelidik, itu bidang direktorat lain. Dari situ saja (tuduhan DPR) sudah nggak masuk akal.
Apakah menurut Anda tudingan itu merupakan perlawanan gaya baru terhadap KPK?
Sebetulnya yang paling penting itu begini. Kejahatannya ada nggak sih? Sama seperti halnya orang melanggar lalu lintas. Dia melanggar lalu lintas kemudian saat ditangkap polisi dia (pelanggar) bilang ; Pak jangan nangkap saya dong, itu lo Pak di sana di kota seberang atau di kecamatan seberang banyak yang melanggar lalu lintas. Itu (alasan pelanggar) kan konyol namanya. Pertanyaan polisi akan sederhana, kamu melanggar atau tidak? Melanggar. Ya sudah apa masalahnya ?
Baru-baru ini, KPK menetapkan Setya Novanto (Ketua DPR) dan Markus Nari (Anggota DPR) sebagai tersangka baru e-KTP, bagaimana nasib politisi lain yang diduga terlibat ?
Saya nggak bisa komentar perkara yang sedang berjalan. Perkara-perkara kan nanti ada mekanisme pengujiannya. Yang jelas kalau sudah ada proses di KPK, di pasal 44 (UU KPK) ditentukan bahwa ada alat bukti yang dimiliki. Di prosesnya nanti ada mekanisme untuk menguji. Dan mestinya atau kelazimannya selalu memang demikian kalau ada pihak-pihak yang terkait ya cepat atau lambat akan di proses.
Banyak politisi yang namanya disebut terlibat e-KTP protes kenapa nama mereka tidak diinisial saja kalau belum terbukti ?
Begini, perspektif hukum itu harus dibuat dengan seterang-terangnya. Jadi nggak boleh pakai inisial. Harus jelas. Ketika pengadilan sudah menyatakan itu terbuka untuk umum, ya pihak penegak hukum dalam hal ini penuntut umum yang beracara apa boleh buat, harus dibacakan semuanya. Kalau peradilan memang harus begitu. Pihak yang terkait harus disebut dengan jelas, karena memang ada syarat-syaratnya. Kalau nggak disebut dengan jelas justru membuat dakwaan menjadi kabur.
Fahri Hamzah (Wakil Ketua DPR) sempat menyatakan kasus e-KTP ini hanya khayalan saja, bagaimana menurut Anda?
Saya sih berkeyakinan sebetulnya yang berkompeten (DPR) itu tahu. Cuma kok ngomongnya begitu ? Saya berkeyakinan dia (Fahri) tahu, jadi kalau dia (Fahri) ngomong begini begitu saya juga hanya mau bilang, ah sebenarnya dia (Fahri) mestinya tahu. Karena dia cukup berpendidikan ya.***
BACA ARTIKEL LAINNYA... Jangan Sampai KPK Tersandera Gara-gara Fahri Hamzah
Redaktur : Tim Redaksi