Seminggu yang lalu, Australia Selatan terasa seperti kota yang aman tanpa kasus COVID-19, saat kota-kota besar di sebelah timur Australia, yakni Sydney dan Melbourne, melihat peningkatan penularan COVID-19.
Namun beberapa hari kemudian, situasinya berubah.
BACA JUGA: Penderita COVID Masih Menunggu Jawaban Misteri Kondisi Mereka
Kota Adelaide yang lebih sepi dibandingkan kota besar lainnya di Australia, terlihat semakin kosong.
'Lockdown' diberlakukan di kota Adelaide mulai Selasa kemarin (20/07), setelah saat itu tercatat ada lima kasus baru COVID-19.
BACA JUGA: Lebih Banyak Pengacara Perempuan di Australia, tetapi Sedikit yang Menempati Posisi Senior
Ini menjadi 'lockdown' kedua yang dialami oleh warga di negara bagian Australia Selatan.
'Lockdown' pertama terjadi pada bulan November tahun lalu, yang berakhir tiga hari lebih cepat dari yang direncanakan Pemerintah Australia Selatan.
BACA JUGA: Komnas HAM Australia Ungkap Tingginya Diskriminasi Terhadap Minoritas Muslim
Dian Winata, salah satu warga Indonesia yang tinggal di pusat kota Adelaide mengaku terkejut ketika mendengar 'lockdown' diberlakukan di Adelaide.
"Sedih sih pasti, kaget juga karena awalnya Pemerintah yakin jika kita tidak perlu lockdown," kata Dian.
"Tapi dibandingkan lockdown yang pertama, kali ini restoran masih buka untuk takeaway," ujar Dian yang berasal dari Jakarta.
Dian juga menceritakan beberapa warga Indonesia yang tinggal di 'suburb' mengatakan mereka masih bisa membeli dan mendapatkan kebutuhan pokok.
Bekerja di Hotel Hilton, Dian mengatakan 'lockdown' kali ini membuatnya kehilangan jadwal kerjanya.
Hotel termasuk yang ditutup karena tidak termasuk dalam sektor esensial.
"Puji Tuhan, suami masih kerja, working from home, tapi aku benar-benar tidak ada income," ujarnya kepada Erwin Renaldi dari ABC Indonesia.
"Tapi saya dengar dari pemerintah akan ada bantuan ... yang bisa diakses di hari kedelapan."
Warga Indonesia lain yang juga mengaku terkejut dengan pemberlakuan 'lockdown' di Adelaide adalah Barry Luqman.
'Lockdown' diberlakukan di Adelaide tepat di saat komunitas Muslim, termasuk asal Indonesia hendak merayakan hari raya Idul Adha.
"Semua kaget karena kita harus membatalkan sejumlah acara yang sudah disiapkan oleh komunitas Indonesia," ujar Barry.
"Semua harus di-cancel, termasuk Idul Adha dan tadinya mau ada acara fun walk akhir minggu ini."
Bagi Barry, 'lockdown' kali ini terasa lebih berat dibandingkan di bulan November tahun lalu, karena di luar dugaan.
"Kita sudah bersenang-senang sebelumnya, tapi tiba-tiba saat kita sudah mulai optimis lagi, harus 'lockdown' lagi."
Barry yang bekerja di sebuah perusahaan pemrosesan makanan terbesar di Australia Selatan saat ini masih bisa bekerja di rumah.
"Tapi yang paling kasihan itu adalah pekerja casual dan [pemegang] working holiday visa. Mereka banyak yang harus dirumahkan dan kehilangan pendapatannya," kata Barry yang tinggal di kawasan Woodside, Adelaide Hills, sekitar 25 kilometer dari pusat kota.
Peserta WHV termasuk yang paling terkena dampak dari 'lockdown', terutama di kawasan pedalaman di New South Wales dan Victoria.
Tapi beruntung bagi Isak Siagian, peserta Working Holiday Visa (WHV) asal Bandung, karena ia bekerja di sektor yang termasuk esensial.
"Dari tahun lalu saya masuknya essential worker, bekerja di perusahaan pembuat paper bag, jadi Puji Tuhan sekali masih bisa kerja," ujar Isak yang sudah berada di Australia selama tiga tahun.
Di luar pekerjaannya, Isak sering menerima pemesanan jasa pemotretan, tapi karena 'lockdown' sekarang ia tidak bisa melakukannya.
Yang menjadi tantangannya selama 'lockdown' ini adalah tidak bisa bertemu teman-temannya.
Bagi kebanyakan warga pendatang di Australia, keberadaan teman menjadi sistem pendukung saat tidak memiliki keluarga.
"Kadang kita terus bekerja dan butuh waktu juga untuk bersosialiasi," ujar Isak.
"Karena tidak bisa melakukannya saat lockdown, kadang jadi merasa bete, merasa sendiri, enggak bisa bertemu teman, jadi stress juga."
Isak juga mengatakan beberapa teman WHV asal Indonesia telah menarik dana 'superannuation', yang kebijakannya telah diubah oleh Pemerintah Australia untuk membantu peserta WHV, terutama di saat pandemi.
Salah satu kemudahan lainnya bagi peserta WHV yang terkena dampak pandemi COVID-19 adalah keberadaan visa COVID, yang membuat mereka bisa bekerja dan tinggal di Australia lebih lama. Tetap bersyukur di tengah 'lockdown'
Mengalami 'lockdown' di Australia di saat melihat kondisi pandemi di Indonesia yang belum menunjukkan perbaikan membuat sebagian diaspora Indonesia khawatir terhadap keluarga mereka.
Terlebih banyak diantaranya sudah lama tidak pulang ke Indonesia dan kini tidak bisa melakukannya karena perbatasan Australia yang masih ditutup.
Tapi banyak warga Indonesia di Australia merasa tetap bersyukur, meski mereka harus menjalani 'lockdown'.
"Setelah ngobrol dengan teman-teman di Indonesia, saya tetap bersyukur, walau pun pendapatan saya menurun drastis, karena Pemerintah Australia itu penanganannya cepat," ujar Dian.
"Karena kalau tidak, penularan semakin banyak, lockdown semakin lama, toko-toko semakin sepi dan kondisinya bisa memburuk."
Begitu juga dengan Barry yang mengatakan ia merasakan sekali jika Pemerintah Australia memberikan dukungan bagi warga yang berada di Australia.
"Mereka sangat peduli terhadap kesehatan warga dan juga memberikan dukungan kepada bisnis yang terdampak lockdown, terutama bisnis-bisnis kecil."
Barry mengatakan angka penularan COVID-19 di Australia Selatan mungkin terdengar "sedikit", sehingga banyak yang mempertanyakan mengapa perlu 'lockdown'.
Tapi ia merasa ini adalah sebagai bentuk dari tindakan penanganan yang cepat dari Pemerintah Australia.
"Saya pikir ini karena varian Delta ini memang cepat menyebar." Sydney masih jadi episentrum
Kasus penularan baru di Australia berasal dari seorang pria yang pulang dari luar negeri, masuk ke Australia lewat Sydney dan sempat dikarantina.
Anak perempuan dan cucunya tersebut kemudian diketahui positif dan sudah menular ke warga lainnya.
Hingga hari Kamis (22/07), total kasus COVID-19 di Adelaide sudah mencapai enam orang dengan lokasi yang masuk dalam kategori 'exposure sites', terutama Elizabeth City Centre.
Sementara itu Sydney mencatat angka penularan harian tertinggi saat ini dengan 124 kasus baru yang tercatat hari Kamis.
Premier Gladys Berejiklian, pemimpin negara bagian New South Wales, sudah memperingatkan jika angka diperkirakan akan terus bertambah dan kondisi bisa jadi "memburuk."
Saat ini kasus aktif di NSW sudah mencapai 1.440 dari penularan lokal dan 42 kasus yang berasal dari luar negeri.
Di negara bagian Victoria dengan ibu kota Melbourne, 'lockdown' telah diperpanjang hingga pekan depan.
Victoria mencatat 26 kasus terbaru, menjadi angka harian tertinggi di tahun ini, dengan 380 lokasi yang termasuk kategori 'exposure site'.
Hari Kamis ini, lembaga Therapeutic Goods Administration (TGA) di Australia melaporkan dua kematian akibat pengentalan darah atau 'blood clotting' terkait vaksin AstraZeneca.
Keduanya adalah seorang pria asal Tasmania berusia 44 tahun dan perempuan asal Victoria berusia di Victoria yang menunjukkan gejala 'thrombocytopenia syndrome'.
Ini sekaligus menjadi kasus kematian kelima dan keenam di Australia setelah mendapatkan dosis vaksin AstraZeneca dan 6,1 juta dosis yang sudah disuntikkan di Australia, menurut TGA.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pembuat Peti Mati di Indonesia Kewalahan Memenuhi Permintaan di Tengah Pandemi COVID-19