jpnn.com, ANYER - Wakil Ketua MPR RI Dr Hidayat Nur Wahid, MA mengungkap bahwa Undang-Undang Dasar hasil amendemen dalam empat tahap pada tahun 1999 hingga 2002 menutup ruang bagi mereka yang memiliki agenda lain pada saat terjadinya amendemen UUD.
“UUD setelah amendemen tidak sama dengan UUD sebelum amendemen,” ujar HNW sapaan Hidayat melalui virtual saat Diskusi pada acara Press Gathering Pimpinan MPR RI bersama Koordinatoriat Wartawan Parlemen di Hotel Mambruk, Anyer, Banten, Sabtu sore (27/3/2021).
BACA JUGA: Ahmad Basarah: Pers Penyambung Lidah Parlemen
Selain HNW, narasumber lainnya dalam diskusi bertajuk “Urgendi Dibuatnya Pokok Pokok Haluan Negara itu adalah Wakil Ketua MPR Dr. Jazilul Fawaid; Ketua Fraksi Partai Nasdem MPR Taufik Basari, SH., M.Hum.; dan Ketua Fraksi Partai Demokrat MPR Dr. Benny K. Harman, SH., MH.
Menurut HNW, kalau UUD sebelum amendemen memang terbuka peluang untuk menyisip agenda lain, selain agenda yang sudah dipersiapkan. Sedangkan UUD setelah amendemen yang kini disebut Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun), kemungkinan untuk bermain dengan agenda lain sangat sulit, karena persyaratannya sangat rigid dan rinci.
BACA JUGA: MPR RI Tekankan Pentingnya Pokok Haluan Negara Demi Kesinambungan Pembangunan
Wakil Ketua MPR dari Fraksi PKS ini mengemukan hal itu terkait dengan isu yang menyebutkan MPR periode sekarang ini memiliki agenda untuk mengubah Pasal 7 UUD NRI Tahun 1945 tentang masa jabatan Presiden dari dua periode menjadi tiga periode.
Menurut HNW, MPR memang sedang mewacanakan untuk merealisasikan rekomendasi terkait dengan menghadirkan kembali haluan negara, yang di dalam rekomendasi disebut Pokok Pokok Haluan Negara (PPHN). Untuk menghadirkan PPHN ini, salah satu alternatifnya adalah melakukan amendemen terbatas UUD.
BACA JUGA: HNW Sebut Payung Hukum PPHN Masih Jadi Perdebatan
Ketua MPR RI periode 2004-2009 itu menjelaskan tentang perbedaan antara UUD sebelum amendemen dan UUD setelah amendemen
Menurut HNW, ada dua kondisi yang sama sekali berbeda. Dulu, pada UUD sebelum perubahan, di Pasal 37 ayat 1 dan ayat 2 tidak disebutkan secara rigid atau secara tegas syarat-syarat untuk melakukan perubahan UUD.
HNW menunjuk contoh kasus ketika reformasi untuk mengubah UUD terkait pembatasan masa jabatan presiden.
Jadi, waktu itu, karena tidak ada persyaratan secara rigid dan tegas untuk perubahan UUD, sehingga menjadi pintu masuk bagi ide lain. Karena tak bisa dicegah maka terjadilah perubahan besar-besaran terhadap UUD.
Dari 16 Bab menjadi 21 Bab, dari 37 Pasal menjadi 73 Pasal, dari 49 ayat menjadi 170 ayat. Ini bisa terjadi karena tidak aturan secara rigit dan tegas, katanya.
Beda dengan UUD NRI Tahun 1945 atau UUD setelah amandemen. Pada Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945, ayat 1 dan ayat 2, sangat jelas mengatur tentang usulan untuk melakukan amendemen. Jumlah minimal pengusulnya, sekurang-kurangnya sepertiga dari jumlah anggota MPR RI.
“Dan, di pasal itu juga jelas disebutkan bahwa setiap usulan perubahan harus diajukan secara tertulis, pasal mana yang mau diubah, alasan perubahan, dan bagaimana bunyi usulan baru. Jadi, setiap usulan perubahan tidak bisa tiba-tiba muncul di tengah jalan,” tegas HNW.
Politikus PKS ini menceritakan pengalamannya ketika menjadi Ketua MPR RI periode 2004-2009. Saat itu ada usulan untuk perubahan UUD terkait dengan penguatan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Semula sudah didukung oleh seluruh anggota DPD ditambah dari anggota Partai Demokrat, dan beberapa anggota MPR lainnya. Sehingga melampaui dari persyaratan minimal yang ditentukan UUD, sepertiga jumlah anggota MPR. Tapi, dalam perjalannya, menurut HNW, anggota MPR dari Partai Demokrat dan anggota MPR lainnya menarik diri. Karena sudah tidak memenuhi persyaratan lagi maka perubahan UUD terkait penguatan DPD tidak bisa dilanjutkan.
Jadi, kalau nanti terjadi perubahan UUD terkait agenda menghadirkan kembali PPHN, menurut HNW, kecil kemungkinan bisa didompleng dengan agenda perubahan Pasal 7 UUD untuk memperpanjang masa jabatan presiden dari dua periode menjadi tiga periode.
Apalagi, Wakil Ketua MPR Dr. Ahmad Basarah menegaskan kembali apa yang disampaikan oleh Ibu Megawati, untuk masa jabatan presiden bahwa PDI Perjuangan tegas dan tidak abu-abu. PDI Perjuangan dengan tegas menyatakan, masa jabaan presiden cukup dua periode, dan tidak ada agenda pembahasan atau pemikiran untuk memperpanjang masa jabatan presiden hingga tiga kali.
“Kalau PDI Perjuangan berpendapat demikian, saya rasa masalahnya sudah selesai,” ujar HNW.
Untuk itu, HNW mengingatkan, mereka yang mewacanakan pembahasan untuk amendemen UUD terkait PPHN hanya merupakan akal-akalan sebagai pintu masuk untuk bisa memberikan kesempatan atau peluang untuk terjadinya perubahan terhadap Pasal 7, itu pemikiran zaman sebelum UUD diamendemen.
“Setelah UUD diamandemen, akal-akalan seperti tidak memungkinkan terjadi kembali. Tidak bisa lagi, karena UUD-nya sudah berubah,” tegas HNW.(jpnn)
Simak! Video Pilihan Redaksi:
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi