MPR RI Tekankan Pentingnya Pokok Haluan Negara Demi Kesinambungan Pembangunan

Senin, 09 November 2020 – 14:34 WIB
Wakil Ketua MPR RI Bambang Soesatyo. Foto: Humas MPR RI.

jpnn.com, JAKARTA - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menekankan kembali pentingnya kehadiran pokok-pokok haluan negara atau PPHN di Indonesia.

Pria yang karib disapa Bamsoet itu menganalogikan pentingnya kehadiran PPHN dengan mengibaratkan Indonesia adalah sebuah bahtera besar yang sedang berlayar mengarungi samudera luas.

BACA JUGA: Catatan Ketua MPR RI: Lebih Heroik Mengawal Stimulus di Tengah Pandemi dan Resesi

Nah, lanjut Bamsoet, apakah memerlukan haluan ke mana kapal ini akan menuju, atau percayakan saja kepada nakhoda ke mana kapal atau bahtera ini akan diarahkan sehingga boleh ke kiri, kanan, zig-zag, atau putar haluan.

"Kita ingin terus maju melangkah ke depan, bukan ke kiri kanan atau mundur ke belakang," kata Bamsoet saat Focus Group Discussion 'Restorasi Haluan Negara dalam Paradigma Pancasila', Senin (9/11).

BACA JUGA: MPR RI: Pemahaman Masyarakat yang Keliru Tentang Vaksin Covid-19 Harus Diluruskan

Jadi, Bamsoet menegaskan, tentu memerlukan haluan untuk menuju tujuan yang dicita-citakan bersama.

Cita-cita itu tertuang dalam alinea kedua pembukaan UUD NRI 1945, yaitu terwujudnya negara merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur berdasar Pancasila dalam bingkai NKRI yang berbineka tunggal ika.

BACA JUGA: Bamsoet Dukung Sikap Presiden Erdogan dan Kecaman Keras Jokowi ke Emmanuel Macron

Serta tujuan dibentuknya pemerintahan negara RI sebagaimana alinea ke empat konstitusi untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Menurut dia, yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah sudah cukupkah arahan yang tertuang dalam pembukaan UUD NRI 1945 tersebut menjadi panduan atau pedoman bagi seorang nakhoda untuk mengarahkan bahtera yang bernama Indonesia.

"Itu pertanyaan besar yang harus kita jawab hari ini," tegas politikus Partai Golkar itu.

Menurutnya, kedudukan hukum dasar yang terkandung dalam konstitusi adalah prinsip bersifat normatif, bukan direktif. Karena itu, katanya, di sinilah pentingnya kedudukan haluan negara. Haluan itu akan menjabarkan prinsip normatif dalam konstitusi menjadi kebijakan dasar politik negara sebagai panduan atau pedoman dalam penyelenggaraan pembangunan naisonal. 

Bamsoet menjelaskan setelah perubahan UUD NRI 1945, MPR tidak lagi memiliki kewenangan menetapkan GBHN. Fungsi GBHN diganti UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, dan UU Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025.

Selanjutnya, ujar dia, rencana penyusunan rencana pembangunan jangka menengah atau RPJMN disusun berdasar visi misi capres dan calon wakil presiden terpilih.

Namun, kata Bamsoet, dalam implementasinya, berbagai peraturan perundang-undangan yang menjadi rujukan penyelenggaraan pembangunan nasional ternyata menyisakan beragam persoalan, selain kecenderungan model eksekutif sentris.

"Dengan perencanaan pembangunan nasional yang demikian, memungkinkan rencana pembangunan panjang nasional dilaksanakan tidak konsisten dalam setiap periode pemerintahan," ujar Bamsoet.

Dia menambahkan bahwa setiap pergantian presiden, terjadi perubahan arah kebijakan prioritas. "Itulah yang menyebabkan kita seperti menari poco-poco," ungkap mantan ketua DPR itu.

Menurutnya, karena implementasi RPJMN didasarkan visi misi presiden dan wapres terpilih dalam pemilu, maka tidak ada jaminan bahwa satu periode pemerintahan akan mengusung visi misi yang sejalan dengan visi misi pemerintahan periode sebelumnya.

"Walaupun presiden terpilih berikutnya adalah dalam satu partai, tetapi saya yakin visi misinya akan berbeda karena memiliki skala prioritas masing-masing," kata dia.

Bamsoet mengatakan, keleluasaan diberikan kepada calon menentukan visi misi dan program saat kampanye berpotensi menimbulkan ketidaksinambungan pembangunan dari masa jabatan satu presiden ke berikutnya.

Menurutnya pula, penerapan RPJMN masih terkesan setengah hati, karena tidak disertai ketentuan sanksi apabila RPJMN yang disusun tidak selarasas dengan RPJPN itu sendiri.

Demikian pula dengan sistem perencanaan pembangunan nasional dan daerah memungkinkan potensi terjadinya ketidakselarasan.

Rencana pembangunan jangka panjang daerah tidak terikat untuk mengacu RPJMN mengingat visi dan misi gubernur, bupati, wali kota sangat berbeda dengan presiden karena berbeda partai. Demikian juga dengan visi misi gubernur, bupati, dan wali kota di daerah-daerah lainnya. 

Selain itu, lanjut Bamsoet, desentralisasi dan penguatan otonomi daerah berpotensi mengakibatkan tidak sinerginya rencana pembangunan antardaerah serta antara pusat dan daerah. Inkonsistensi arah dan kebijakan pembangunan nasional antara jenjang nasional dan daerah berpotensi menghasilkan program pembangunan yang bukan saja tidak saling mendukung, tetapi menegasikan satu sama lainnya.

"Masih banyak hal lain perlu dipikirkan bersama agar ada keselarasan dalam kebijakan ke depan," ujarnya.

Menurut Bamsoet, ketidakpastian kesinambungan kebijakan dan program pembangunan tersebut pada akhirnya mendorong lahirnya wacana publik yang membawa arus balik kendaraan untuk menghidupkan kembali model GBHN.

Dari serangkaian diskusi oleh MPR dan kalangan tokoh masyarakat, pakar, akademisi, pada umumnya sependapat bahwa memerlukan pokok haluan negara untuk menjaga pembangunan berkelanjutan.

"Serta integrasi sistem perencanaan pembanfunan pusat dan daerah," jelasnya.

Menurut Bamsoet, dorongan sangat kuat agar MPR kembali memiliki kewenangan menetapkan haluan negara  dan merekomendasikan revitalisasi atau dihidupkannya kembali GBHN atau model lain haluan negara juga datang dari LIPI, Forum Rektor Indonesia, PBNU, PP Muhammadiyah, Majelis Tinggi Agama Konghucu dan lainnya.

Ia juga memaparkan berdasar survei MPR 2014-2019, sebanyak 81,5 persen responden menyatakan perlu reformulasi sistem perencaan pembangunan nasional model GBHN.

"Hanya 18,5 persen menyatakan tidak perlu," tegasnya.

Menurutnya, alasan paling kuat yang dirasakan responden karena saat ini pembangunan nasional dianggap tidak berkesinambunhan.  Selain itu, perencanaan  pembangunan yang ada dirasa tidak cukup memberikan peta arah dan haluan yang berkelanjutan bagi pembangunan nasional.

Alasan lain yang muncul adalah karena saat ini tidak diatur dengan jelas mekanisme pertanggungjawaban presiden  dalam melaksanakan wewenang dan tugasnya terkait kebijakan perencanaan pembangunan  yang didalamnya termuat visi misi program termasuk janji politik yang disampaikan saat pemilu.

Gagasan untuk mereformulasikan sistem perencanaan pembangunan nasional, merupakan rekomendasi MPR 2009-2014. Rekom ini ditindaklanjuti MPR 2014-2019 dengan memunculkan gagasan melakukan perubahan terbatas terhadap UUD NRI 1945. "Yaitu untuk mengembalikan kewenangan MPR menetapkan GBHN," katanya.

Selain Bamsoet sebagai keynote speaker, FGD itu dihadiri secara virtual antara lain Wakil Ketua MPR Ahmad Muzani, Hidayat Nur Wahid, Arsul Sani.

Pengantar disampaikan oleh Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo, Wakil Forum Rektor Indonesia (FRI) Nasrullah Yusuf, dengan narasumber Ravik Karsidi (FRI), pakar Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia Soffian Effendi, dari Aliansi Kebangsaan Yudi Latif, dan Sekjen Aliansi Kebangsaan Ahmad Zacky Siradj. (boy/jpnn)

Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler