jpnn.com, JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan pemerintah memperkirakan defisit Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2020 adalah 5,07 persen dari product domestic bruto (PDB), dengan asumsi dasar pertumbuhan ekonomi 2,3 persen.
“Inilah yang dituangkan dalam Perpres 54 Tahun 2020," ungkap Ani saat rapat kerja virtual dengan Komisi XI DPR, Kamis (30/4).
Ia menyatakan pemerintah melakukan ini dalam situasi yang pada Maret 2020 lalu kondisi Covid-19 berjalan secara luar biasa cepat perkembangannya.
Menurut dia, Presiden Jokowi, kabinet, berada dalam tekanan untuk melakukan respons cepat atas apa yang terjadi.
"Kami tidak mengklaim ini design perfect, tetapi kami mencoba untuk meng-cover kebutuhan pemerintah," ujar Ani.
Dalam rapat yang dipimpin Ketua Komisi XI DPR Dito Ganinduto, itu Ani menegaskan tidak boleh ada alasan tak memiliki dana untuk melakukan langkah penyelamatan kesehatan masyarakat. "Satu hal yang ingin kami tekankan, tidak ada dan tidak boleh ada alasan kita tidak bisa melakukan langkah pengamanan kesehatan karena tidak ada uang," kata Ani.
Karena itu, Sri Mulyani menegaskan pemerintah membuat keputusan bahwa anggaran kesehatan langsung dinaikkan menjadi Rp 75 triliun untuk penanganan Covid-19.
"(Soal) angka itu dari mana kami letakkan, tetapi itu tetap kami jaga dan monitor penggunaannya," katanya.
Sri Mulyani menjelaskan selain kesehatan, pemerintah juga mengambil kebijakan dengan menaikkan angka social safety net atau jaring pengaman sosial. Hal ini karena melihat kondisi banyak masyarakat tidak bisa berjualan, work from home, social distancing, dan lainnya.
BACA JUGA: Anggaran DKI Defisit, Ketua DPRD Ungkit Pembangunan Era Ahok
“Maka kami langsung meletakkan anggaran untuk social safety net meningkat drastis. Kemudian, dukungan dunia usaha dalam bentuk insentif," papar Mulyani.
Dalam kesempatan itu, Mulyani juga menjelaskan mengenai outlook pemerintah atas postur APBN 2020.
BACA JUGA: Misbakhun: Pemerintah Harus Cekatan Atasi Defisit Anggaran BPJS Kesehatan
Sri Mulyani menjelaskan dalam APBN 2020, pendapatan negara awalnya diasumsikan Rp 2.233,2 triliun. Outlook pemerintah Rp 1,760,9 triliun. "Pendapatan negara kami prediksi akan mengalami selisih 472,3 triliun dari yang tadi kami perkirakan dalam APBN 2020. Untuk pendapatan akhir tahun hanya akan tercapai 1.760,9 triliun, atau tumbuh negatif 10 persen dari tahun sebelumnya," ujar Mulyani.
Penerimaan perpajakan dalam asumsi APBN 2020 ialah Rp 1,865,7 triliun, sedangkan outlook pemerintah Rp 1.462,6 triliun. Ada selisih Rp 403,1 triliun. Tumbuh negatif 5,4 persen atau 78,3 persen APBN. "Tax ratio 9,14 persen dalam arti luas," tegas Mulyani.
Penerimaan pajak oleh Direktorat Jenderal Pajak diasumsikan dalam APBN 2020 Rp 1.642,6 triliun. Sementara outlook pemerintah Rp 1.254,1 triliun alias ada selisih minus Rp 388,5 triliun.
“Shortfail Rp 388,5 triliun itu telah memperhitungkan beberapa hal. Antara lain Antara lain dampak penurunan ekonomi dan perang harga minyak, fasilitas pajak insentif tahap dua, (PMK 23/2020) Rp 13,86 triliun, relaksasi stimulus tambahan Rp 70,3 T, pengurangan tarif PPh menjadi 22 persen yang menurunkan penerimaan Rp 20 triliun, antisipasi penundaan dividen karena menunggu omnibus law Rp 9,1 triliun," paparnya.
Penerimaan pajak dari Direktorat Jenderal Bea Cukai diasumsikan dalam APBN 2020 adalah Rp 223,1 triliun, outlook pemerintah Rp 208,5 triliun, dan selisihnya adalah Rp 14,6 triliun. Artinya, tumbuh negatif 2,2 persen. "Shortfail Rp 14,6 triliun itu telah memperhitungkan dampak stimulus pembebasan bea masuk untuk 19 industri," jelasnya.
Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) asumsi APBN 2020 adalah Rp 367,0 triliun, outlook pemerintah Rp 297,8 triliun. Ada selisih Rp 69,2 triliun. Artinya, tumbuh negatif 26,9 persen atau hanya 81,1 persen target APBN.
Untuk belanja negara, asumsi APBN 2020 adalah Rp 2.540,5, outlook pemerintah Rp 2.613,8 triliun. Ada selisih Rp 73,4 triliun.
"Untuk belanja negara yang akan mencapai Rp 2.613,8 triliun ini memang kemudian dimunculkan salah satu bekas menteri oh belanja negara hanya akan tambah 74, oh pemerintah bilangnya 400, ini karena kebingungan membaca APBN," sindir Mulyani.
Dia menjelaskan kalau bicara stimulus itu tidak hanya diukur belanja saja. Menurutnya, stimulus itu bisa berasal dari penerimaan atau tidak meng-collect pajak. Stimulus bisa berasal dari belanja, tambahan belanja. Stimulus bisa berasal dari pembiayaan yaitu dengan melakukan pencetakan surat berharga yang kemudian bisa ditempatkan di sektor usaha.
BACA JUGA: Hergun Tawarkan 4 Solusi Menutup Defisit BPJS Kesehatan
Kemusian Ani juga menjelaskan untuk belanja negara asumsi di APBN Rp 2540,4 triliun. Namun, outlook pemerintah menunjukkan angka Rp2613,8 triliun alias ada penambahan Rp 73,4 triliun.
Perincian belanja negara adalah untuk kementerian/lembaga (K/L) menurun menjadi Rp 836,5 triliun. Di dalamnya sudah termasuk pemotongan belanja barang dan perjalanan dinas, hingga kenaikan bantuan sosial (bansos).
Belanja non-K/L turun dari Rp773 triliun menjadi Rp 759,5 triliun. Sudah termasuk di dalamnya penghematan pembayaran gaji atau tunjangan pegawai negeri. Uniknya, di bagian ini, pembayaran bunga utang negara meningkat dari Rp 295,2 triliun menjadi Rp 335,2 triliun alias selisih Rp 40 triliun. "Ini dari peningkatan kebutuhan utang. Yield naik dan juga untuk nilai tukar," jelas Ani.
Ia menambahkan subsidi energi turun dari Rp 125,3 triliun menjadi Rp97,4 triliun, dan subsidi nonenergi dari Rp 62,3 triliun menjadi Rp 59,9 triliun.
Peningkatan belanja besar adalah belanja penanganan covid-19 dari nol rupiah menjadi Rp 255,1 triliun. Sehingga total tambahan belanja dan pebmbiayaan penanganan Covid-19 adala Rp 405,1 triliun.
Lalu belanja besar lainnya adalah Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) yang sebelumnya Rp 856,9 triliun, di outlook menjadi Rp 762,7 triliun.
Secara total, defisit di APBN 2020 yang awalnya Rp307,2 triliun, menjadi Rp852,9 triliun di outlook-nya. "Dalam hal ini 5,07 persen dari GDP (PDB, red)," imbuh Sri.
Sri mengaku pemerintah menyiapkan langkah-langkah mencari pembiayaan. Yang pertama adalah dari dana seperti Saldo Anggaran Lebih (SAL), pos dana abadi, dan dana BLU.
Yang berikutnya adalah dari utang. Termasuk pinjaman melalui perjanjian bilateral maupun multilateral. Lalu mencari utang lewat mekanisme surat berharga negara (SBN) domestik dan valas. Bank Indonesia juga siap menjadi pembeli di pasar perdana bila pasar tak mau menyerapnya. "Kami tetap mengutamakan mekanisme market," kata Sri.(boy/jpnn)
Redaktur & Reporter : Boy