jpnn.com, JAKARTA - Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan bahwa beberapa indikasi terjadinya perbaikan ekonomi di Indonesia, khususnya di Semester II-2020 mulai terlihat.
Menurut Perry, beberapa indikator itu antara lain mobilitas manusia di sejumlah daerah dan penjualan eceran, indeks keyakinan konsumen, purchasing managers index atau PMI, ekspektasi investasi dan ekspor juga terindikasi mulai mengalami perbaikan.
BACA JUGA: Simak Penjelasan Sri Mulyani soal Momentum yang Masih Dini dan Rapuh
"Ini akan mewarnai proyeksi ekonomi untuk 2021," kata Perry saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Rabu (1/9).
Perry menyatakan BI memperkirakan ekonomi Indonesia 2021 akan makin membaik, karena didukung perbaikan perekonomian global.
Selain itu juga didukung stimulus fiskal yang diberikan pemerintah, kebijakan BI yang akan terus diarahkan untuk tetap akomodatif. "Serta pemulihan sejumlah produksi dan investasi antara lain yang berkaitan dengan implementasi UU Cipta Kerja," ungkapnya.
Perry menilai asumsi pertumbuhan ekonomi 2021 yang disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam penyusunan RAPBN sekitar 4,5 persen sampai 5,5 persen cukup realistis dan sejalan dengan perkiraan BI.
BACA JUGA: Tren Positif Belanja Online Jadi Sinyal Baik untuk Pemulihan Ekonomi
"Untuk 2021 kami perkirakan 4,8 persen sampai 5,8 persen. Itu mengenai pertumbuhan ekonomi," kata Perry.
Sementara untuk nilai tukar, BI melihat stabilitas eksternal mulai membaik. Ia menjelaskan neraca pembayaran Indonesia pada Triwulan II-2020 surplus, defisit transaksi berjalan yang turun juga jadi 1,2 pwrsen dari product domestic bruto (PDB). Sementara, tegas Perry, neraca modal juga mengalami surplus. "Sehingga secara keseluruhan neraca pembayaran Indonesia mengalami surplus," ungkap Perry.
Dia memandang defisit transaksi berjalan akan tetap rendah, karena mendukung ketahanan eksternal dan stabilitas nilai tukar ke depan.
Perry menambahkan cadangan devisa akhir Juli 2020 lalu tercatat sebesar USD 135,1 miliar. Menurutnya, hal ini juga mewarnai penguatan nilai tukar dari posisi terlemah akhir Maret 2020 lalu.
"Itu akan mengalami penguatan meskipun Agustus 2020 ini ada tekanan berkaitan ketidakpastian global dan dalam negeri," katanya.
BI berpandangan bahwa nilai tukar rupiah ke depan berpotensi akan menguat. Hal itu seiring levelnya yang sekarang ini secara fundamental masih under value, didukung inflasi rendah dan terkendali, defisit transaksi berjalan rendah, daya tarik aset keuangan domestik yang tinggi, dan premi risiko Indonesia yang akan menurun.
Karena itu, Perry menyatakan bahwa asumsi pemerintah terkait rata-rata nilai tukar rupiah dalam RAPBN 2021 Rp 14.600 per dolar sejalan dengan perkiraan BI.
"Kami memperkirakan bahwa rata-rata nilai tukar 2021 berkisar Rp 13.900 sampai Rp 14.700 er dolar Amerika Serikat," ungkap Perry.
Dari sisi inflasi, Perry mengonfirmasi akan tetap rendah. Hal itu disebabkan antara lain karena permintaan meski sudah meningkat, tetapi bisa dipenuhi oleh kapasitas produksi, adanya panen raya, serta koordinasi yang erat antara BI dan pemerintah untuk pengendalian di pusat dan daerah.
"Karena itu, untuk 2021 kami memperkirakan inflasi akan tetap terkendali dalam sasarannya tiga persen plus minus satu persen pada 2021 yang tadi sama seperti dikatakan Bu Menteri Keuangan," ungkap Perry.
Lebih jauh Perry menegaskan dari sisi kebijakan BI berkoordinasi erat dengan pemerintah untuk sama-sama memulihkan ekonomi. BI juga sudah menurunkan suku bunga basis poin 100 tahun ini menjadi suku bunga acuan terakhir 4 persen.
"Ini level terendah sejak 2016," katanya.
BI, tegas Perry, mendukung pemulihan ekonomi terutama dengan memastikan likuiditas baik perbankan maupun pendanaan APBN sebagaimana yang telah disepakati dengan Kemenkeu.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan dengan bacaan dan analisis yang dilihat terutama aktivitas perekonomian di Kuartal II-2020, Kemenkeu memproyeksikan pertumbuhan ekonomi 2020 -1,1 persen hingga 0,2 persen.
Dia menjelaskan lower end prediksi Kemenkeu yakni -1,1 persen itu menunjukkan Kuartal III-2020 masih mengalami negative gross.
Bahkan, lanjut dia, di Kuartal IV-2020 juga masih dalam zona sedikit di bawah netral. Sementara, kata dia, posisi pertumbuhan ekonomi 0,2 persen mengasumsikan Kuartal III dan IV recovery bisa terjadi, dan lebih untuk mengompensasi kontraksi yang sangat dalam pada Kuartal II-2020 lalu.
Mantan petinggi Bank Dunia yang karib disapa Ani itu juga mengungkap Kemenkeu memperkirakan pertumbuhan ekonomi pada 2021 adalah antara 4,5 persen hingga 5,5 persen.
"Ini didasarkan pada momentum pemulihan ekonomi terjaga meskipun ketidakpastian Covid-19 masih akan terjadi, semua prediksi mengenai vaksin baru akan bisa dilakukan secara luas, atau ditemukan dan dilakukan vaksinasi meluas pada Semester II-2021," kata Ani dalam rapat itu.
Karena itu, kata Ani, pada Semester I-2021 nanti tidak bisa mengasumsikan pemulihan yang full power, karena Covid-19 pasti akan menjadi salah satu faktor yang menahan pemulihan. "Baik di konsumsi dan investasi maupun pemulihan ekonomi global," tegas Ani.
Jadi, Ani menegaskan, pihaknya sangat tergantung pada pemulihan di Semester II-2021. "Dan ini tentu memberikan pengaruh terhadap seberapa tinggi pemulihan di 2021," kata Ani.
Lebih lanjut Ani menjelaskan asumsi dasar ekonomi makro pada 2021 selain pertumbuhan ekonomi antara 4,5 hingga 5,5 persen, inflasi juga diperkirakan di 3 persen. Sementara, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS berada pada posisi Rp 14.600. Tingkat suku bunga diasumsikan 10 persen.
"Kami mengganti (tingkat suku bunga) dari yang tiga bulan karena suku bunga 10 tahun adalah lebih merefleksikan belanja bunga kita di dalam APBN yakni di kisaran 7, 29 persen," pungkas Ani. (boy/jpnn)
Redaktur & Reporter : Boy