Begini Strategi Subsektor Hortikultura Mengatasi Dampak Perubahan Iklim Global, Mantap!

Rabu, 05 Juli 2023 – 16:57 WIB
Acara bedah buku bertajuk 'Upaya Menghadapi Perubahan Iklim' yang dilaksanakan Kementerian Pertanian bekerja sama dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional. Foto: Dokumentasi Humas Kementan

jpnn.com, JAKARTA - Kementerian Pertanian (Kementan) telah menyiapkan berbagai strategi menghadapi dampak perubahan iklim, berupa pengkajian terhadap upaya minimalisasi dampak negatif yang mengganggu budidaya pertanian termasuk hortikultura.

“Saya sangat mendukung kegiatan edukasi dan mendorong literasi yang bermanfaat bagi masyarakat khususnya para petani dan POPT," kata Direktur Jenderal Hortikultura Prihasto Setyanto pada acara bedah buku bertajuk 'Upaya Menghadapi Perubahan Iklim' yang bekerja sama dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

BACA JUGA: Dirjen Hortikultura Ungkap Faktor Utama Peningkatan Produksi Bawang Merah di Sumbawa

Menurut Dirjen Prihasto, strategi ini tentunya perlu didukung kombinasi antara sains, teknologi dan kearifan lokal.

Kepala Pusat Literasi dan Perpustakaan Pertanian Kementan Muchlis mengatakan perubahan iklim sudah sangat sulit diprediksi, karena adanya perubahan pada lapisan atmosfer.

BACA JUGA: Kementan Berkomitmen Jaga Pasokan Hortikultura untuk Hadapi El-Nino

Ketersebarannya juga sudah menjadi hal yang harus diamati terus.

Dia mengatakan proses literasi harus tetap dilakukan untuk suplemen penghantar wawasan perubahan iklim.

BACA JUGA: Kampung Buah di Bulungan Kaltara Bersiap Ekspor Nanas & Pisang ke Malaysia dan Brunei

"Perubahan ini harus disampaikan kepada masyarakat, karena harus dilakukan secara sinergitas. Seperti apa itu emisi gas rumah kaca (GRK), misalnya memudahkan proses edukasi sehingga ada efek berkelanjutannya dan tantangan perubahan ini dapat dilakukan bersama untuk mengedukasi semua komponen pertanian di Indonesia,” papar Muchlis.

Direktor Repositori, Mulitimedia dan Penerbitan ILmiah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Ayom Widipaminto menambahkan kolaborasi antara Kementan dan BRIN berkomitmen untuk mendokumentasikan isu-isu perubahan iklim bersama.

“Khususnya terkait isu-isu strategis terkait pertanian. Kami mengawal sebagai para penulis dan periset untuk dapat menerbitkan dengan buku-buku bertema pertanian. Ini adalah kesempatan agar semakin intens utuk melakukan penerbitan buku di sektor pertanian, karena terkait keberlangsungan hidup manusia,” terang Ayom.

Peneliti dari Departemen Geofisika dan Meteorologi FMIPA IPB Perdinan menyebut perubahan iklim menyentuh perbagai aspek.

Sejauh ini diskusi dan rumusan terkait teknis dan kebijakan secara intensif dilakukan bersama 17 kementerian terkait.

Menurut Perdinan, dinamika ekonomi dan lingkungan memiliki keterkaitan yang berdampak pada PDB.

Untuk itu, menurut dia, perlu rumusan bersama mengenai langkah pengendalian dari sisi kebijakan dan teknis di lapangan.

"Target utama hingga 2050 adalah kita ingin mencapai resiliensi iklim pada ekonomi, sosial dan lingkungan dengan catatan tidak ada sektor yang tertinggal," terangnya.

Selain itu, lanjut dia, pihaknya menginginkan adapatsi perilaku dan teknologi, integritas data dan informasi, dan melindungi sumber daya alam di darat dan laut.

Lebih lanjut Perdinan mengatakan, pangan menjadi salah satu prioritas dan diharapkan mendukung resiliensi sekurang-kurangya 1,72 persen GDP melalui transformasi ekonomi rendah karbon.

“Sekaligus juga resiliensi dalam sistem pangan, air dan energi. Selain itu juga mewujudkan resiliensi sosial dan sumber penghidupan sebesar 0,32 persen PDB melalui peningkatan kapasitas dalam berbagai sistem kehidupan,” terangnya.

Editor sekaligus tim IPCC, Edvin Aldrian mengatakan bahwa proses dan hasil perhitungan emisi GRK sub sektor peternakan dengan metode TIER 2 juga menjadi focus IPCC.

IPCC adalah suatu organisasi antarpemerintah ilmiah yang terdiri dari para ilmuwan dari seluruh dunia untuk memajukan pengetahuan tentang perubahan iklim akibat aktivitas manusia.

“Ternak seperti sapi potong, sapi perah, kerbau, kambing, domba, kuda, babi dan unggas tercatat sebagai penyumbang emisi GRK. Hal ini menjadi perhatian bersama sehingga ke depan Indonesia harus merujuk pada IPCC,” ujar Edvin.

Sementara itu, Koordinator Dampak Perubahan Iklim Agung Sunusi mengatakan bahwa subsektor pertanian menyumbang emisi GRK 6 persen terhadap emisi GRK nasional dari bersumber utama CO2 dari penggunaan lahan, kebakaran gambut, kotoran hewan, penggunaan pupuk dan sendawa kotoran hewan.

Kenaikan konsentrasi CO2 di atmosfer hingga 417 ppm menyebabkan kenaikan suhu global mencapai 0,74 Celcius. Perubahan DPI ini berdampak pada cabai dan bawang merah.

"Tantangannya terutama pada tanaman hortikultura yang sensitif pada ketersediaan pangan, perubahan pada respon tanamannya termasuk serangan OPT,” kata Agung.

Intinya, lanjut Agung, solusi penanggulangan dan antisipasi perubahan iklim adalah pembangunan budidaya ramah lingkungan.

Grand strategi masa depan antara lain melakukan transisi energi ke sumber enegeri terbarukan hingga 23 persen pada 2030, dan 30 persen pada 2045.

“Kementerian Pertanian fokus terhadap penanganan dampak perubahan iklim ini," tegas Agung.

Langkah antisipasi antara lain penggunaan mulsa, diversifikasi pangan lokal, pengelolaan tanah berupa bahan organik konservasi tanah, pemupukan berimbang, pemanfaatan teknologi informasi iklim, teknologi pengelolaan air berupa penyiraman sprinkle dan irigasi tetes, pengelolaan air intermitten dan pemanfaatan embung.

"Poin terpenting adalah pengembangan hortikultura berbasis lingkungan," tandasnya.

Agung mengatakan langkah terdepan yang terus menerus dilakukan adalah pengukuran stok karbon, pengukuran emisi GRK ke depan tentunya mengedukasi penanaman ramah lingkungan bersama 3902 POPT yang tersebar di Indonesia. (mrk/jpnn)


Redaktur : Sutresno Wahyudi
Reporter : Sutresno Wahyudi, Sutresno Wahyudi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler