jpnn.com, JAKARTA - Peningkatan utang pemerintah diklaim dibutuhkan untuk mempercepat pembangunan infrastruktur.
Nantinya, pertumbuhan perekonomian hasil infrastruktur diharapkan mampu menutup utang.
BACA JUGA: Asyik, Pak Tjahjo Sampaikan Kabar Terbaru untuk Warga di Perbatasan
Direktur Strategi dan Portofolio Pembiayaan Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kemenkeu Scenaider C.H. Siahaan menjelaskan, infrastruktur yang mumpuni nanti berdampak positif pada penerimaan negara.
Dengan demikian, pemerintah akan mampu membayar utang yang jatuh tempo secara bertahap.
BACA JUGA: Muhaimin Serahkan Bantuan untuk Bedah Rumah dan Infrastruktur
Untuk penyediaan layanan infrastruktur baru selama lima tahun, sejak 2015 sampai 2019, diperlukan anggaran Rp 4.796,2 triliun.
’’Dari jumlah itu, hanya sekitar 41,25 persen yang bisa dicukupi dari APBN/APBD,’’ ungkap Scenaider dalam seminar Forum Ekonom Kementerian Keuangan 2017 di Hotel Shangri-La Surabaya kemarin (15/8).
BACA JUGA: Zulkifli Sarankan Pemerintah Minta Masukan Ormas Islam
Penarikan utang selama lima tahun periode pemerintahan Jokowi-JK dilakukan secara ekspansif sejalan dengan program prioritas, yakni infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan.
’’Pemanfaatan utang untuk pemenuhan anggaran pendidikan dan kesehatan tetap dijaga masing-masing 20 persen dan lima persen terhadap APBN,’’ jelas Scenaider.
Selain itu, peningkatan utang memungkinkan pemerintah menambah belanja dana alokasi khusus fisik, dana desa, dan jaminan perlindungan sosial.
Hingga Juni lalu, posisi utang pemerintah mencapai Rp 3.706,52 triliun.
Jumlah utang tersebut bertambah Rp 1.097,74 triliun jika dibandingkan dengan posisi pada akhir Mei 2014 sebesar Rp 2.608,78 triliun.
Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal Parjiono menyebutkan, dalam postur APBN 2017, jumlah pendapatan negara diproyeksi mencapai Rp 1.750,3 triliun.
Sumbernya adalah penerimaan pajak Rp 1.489,9 triliun, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp 250 triliun, dan hibah Rp 1,4 triliun.
Belanja negara diprediksi mencapai Rp 2.080 triliun.
Anggaran itu dibagi untuk belanja pemerintah pusat, transfer ke daerah, dan dana desa.
Artinya, defisit anggaran ditetapkan Rp 330,2 triliun atau 2,41 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). (car/c14/noe)
BACA ARTIKEL LAINNYA... MUI Tegaskan Dana Haji Bisa Diinvestasikan ke Infrastruktur
Redaktur & Reporter : Ragil