jpnn.com, PADANG - Fakultas Hukum Universitas Andalas menggelar diskusi akademik menyoal kasus mantan Ketua DPD RI Irman Gusman dengan melibatkan sejumlah guru besar hukum dan masyarakat dari berbagai perguruan tinggi, Rabu (12/12).
Diskusi akademik tersebut membedah buku ‘Menyibak Kebenaran Eksaminasi Terhadap Putusan perkara Irman Gusman’ yang diterbitkan di Jakarta, baru-baru ini.
BACA JUGA: Tinggal Jaksa Agung dan Presiden yang Belum Disikat KPK
Para pembicara dalam diskusi ilmiah tersebut termasuk guru besar hukum dan masyarakat Universitas Diponegoro Prof. Suteki, guru besar hukum Universitas Padjadjaran dan Unikom Bandung yang juga mantan Ketua Komisi Yudisial, Prof. Eman Suparman, advokat Maqdir Ismail, budayawan Radar Panca Dahana, dan dua guru besar hukum
pidana Unand Prof. Elwi Danil dan Prof. Ismansyah.
Diketahui, buku ‘Menyibak Kebenaran’ itu berisi anotasi atau pendapat hukum terhadap putusan Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat yang telah menjatuhkan pidana pokok selama 4,5 tahun dan hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik selama 3 tahun kepada Irman Gusman, terhitung sejak berakhirnya pidana pokok tersebut.
BACA JUGA: Setelah Ketua DPD, Sekarang Ketua DPR...Hancur!
Anotasi dimaksud diberikan oleh belasan guru besar hukum yang juga melakukan eksaminasi terhadap amar putusan pengadilan dan menyimpulkan bahwa Irman Gusman semestinya dibebaskan dari semua dakwaan, karena berbagai kesalahan dan kerancuan yang terjadi dalam penanganan kasusnya, mulai sejak dia ditangkap KPK pada 16 September 2016 sampai dijatuhi hukuman.
BACA JUGA: Irman Gusman Ogah Banding, KPK Siapkan Eksekusi
Buku itu mengutip pendapat pakar hukum pidana Universitas Gadjah Mada Prof. Eddy Hieriej yang menyimpulkan bahwa terdapat kekeliruan yang nyata dari hakim” yang menangani perkara ini, karena pasal dakwaannya tidak tepat.
Prof Eddy juga berpendapat, Irman tak bisa dihukum dengan tuduhan telah memengaruhi kepala Bulog untuk menyalurkan gula ke Sumatera Barat, karena sebagai Ketua DPD RI saat itu, Irman tidak memiliki kewenangan dalam jabatannya untuk menentukan distribusi impor gula dan tindakannya pun tak bisa dikatakan berlawanan dengan kewajiibannya, karena DPD tidak memiliki kewenangan ataupun kewajiban tentang kebijakan pergulaan.
"Selain itu, tindakan memperdagangkan pengaruh, sebagaimana diatur dalam United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) belum bisa dipidana, karena belum ada pasal-pasal sanksinya dalam hukum positif negara, baik dalam UU Tipikor maupun dalam KUHP, meskipun sudah diratifikasi dengan UU No.7 tahun 2006," katanya.
Pakar hukum pidana lainnya yang berbicara dalam buku tersebut adalah Prof. Andi Hamzah yang juga anggota Panitia Seleksi Pembentukan KPK dan perumus UU Tipikor. Dia berpendapat bahwa Irman Gusman tidak layak dihukum karena Negara tidak memberikan kewenangan kepada DPD RI untuk mengurus impor dan distribusi gula.
"Seharusnya KPK mengedepankan upaya- upaya pencegahan, bukan mengedepankan operasi tangkap tangan. Dalam kasus Irman, ahli hukum pidana ini katakan, tugas mulia penegak hukum adalah mencegah kejahatan, bukan menciptakan kejahatan," tulis Andi Hamzah.
Sementara, Prof. Eman Suparman mengatakan dalam buku tersebut bahwa uang Negara yang dihabiskan mulai dari proses penyadapan terhadap Irman Gusman hingga penangkapan sampai dijatuhkannya putusan pengadilan ternyata jauh lebih besar ketimbang uang Rp100 juta yang diangggap sebagai suap terhadap mantan Ketua DPD itu.
Intinya, para guru besar hukum itu berpendapat bahwa Irman semestinya tidak dihukum dan karena sudah dihukum, maka dia harus dibebaskan, karena proses hukumnya cacat hukum. (jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... KPK Puji Vonis Pengadilan Tipikor untuk Irman Gusman
Redaktur & Reporter : Djainab Natalia Saroh