JAKARTA - Istilah ’KW’ sudah begitu popular di masyarakat Indonesia. Istilah untuk menyebutkan kualitas sebuah produk bermerk tetapi sebenarnya produk tiruan. Misalnya tas, merk louis vuitton, gucci, chanel, hingga hermes tentu akan ’menaikkan’ derajat perempuan yang memakainya. Karena harga aslinya mahal, produk KW menjadi solusi termudah.
Bagi Anda yang suka membeli produk KW supaya bisa lebih waspada. Sebab, ada peraturan yang bisa menjebloskan kolektor produk KW ke penjara dengan tuduhan penadahan.
Menurut pengacara yang kerap menangani kasus Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI), Ari Juliano, dalam UU No. 15 tahun 2010 pasal 90 disebutkan, "Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan Merek yang sama pada keseluruhannya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar."
Saat ini, aturan hukum di atas sangat rawan untuk menjerat para pembuat atau produsen tas palsu yang saat ini sangat marak di sejumlah mal dan pusat perbelanjaan di Jakarta.
Selain pembuat, pembeli produk KW juga dapat dikenai pasal 481 KUHP karena dianggap sengaja membeli barang yang diperoleh dari kejahatan. Menurut pasal 481 KUHP barangsiapa menjadikan sebagai kebiasaan untuk sengaja membeli barang yang diperoleh dari kejahatan diancam dengan pidana penjara.
"Perbuatan disebut sebagai kebiasaan jika ada pengulangan, karena itu jika membeli lebih dari 2 tas yang bermerek palsu mungkin baru bisa disebut kebiasaan,” katanya.
Diakui Ari, sampai saat ini memang belum ada pengguna tas palsu yang dipidana. Menurutnya, penjualan dan pembelian barang-barang palsu ini terkesan dibiarkan oleh pemerintah sehingga penjual dan pembeli bisa bertransaksi secara bebas.
Upaya pencegahan yang dilakukan oleh polisi dan Dirjen HAKI sejauh ini juga hanya sebatas shock therapy saja. Biasanya hanya pada momen-momen tertentu pihak yang berwenang melakukan razia. "Penegak hukum tidak konsisten," tukas Ari.
Sementara itu, menurut Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Neta S.Pane, kebanyakan warga Indonesia yang membeli tas-tas palsu branded terkenal tahu kalau tas-tas yang dibelinya palsu.
”Artinya, mereka sadar saat membeli tas bermerek dengan harga antara Rp 200 ribu sampai Rp 500 ribu adalah barang palsu. Misalnya, tas louis vuitton asli yang paling murah harganya USD 250, kalau mereka membeli seharga Rp 300 ribu yah mereka sadar itu barang palsu. Artinya tidak ada yang dirugikan dalam hal ini,” terang Neta, kepada INDOPOS (JPNN Group) Kamis (26/4).
Diungkap Neta, di pusat-pusat perbelanjaan di kawasan Mangga Dua, Kota atau Proyek Senen bahkan pedagangnya berterus terang kalau tas yang dijualnya palsu. ”Mereka (penjual) membungkusnya dengan kata-kata KW yang artinya kwalitas. Entah KW Super, KW 1 atau KW 2. Maksudnya KW itu palsu,” tegasnya.
Para pemegang hak cipta merek pun tidak memiliki perwakilan resmi di Indonesia sehingga agak menyulitkan untuk membuat laporan resmi ke polisi selain karena memang tidak tahu merek-mereknya dipalsukan.
Diuraikan Neta, ada 3 hal utama yang membuat maraknya pemalsuan merek di negara ini. Pertama, tabiat orang Indonesia yang memang gandrung dengan merek-merek ternama sehingga membuat daya tarik para pemalsu semakin giat melakukan aksinya. ”Lihat saja, tas merek Gucci walau sadar itu palsu tetap saja dibeli. Coba dikasih merek Badak atau nama Indonesia lain, engak bakalan laku Mas,” ujar Neta.
Hal yang kedua, sudah sejak era Presiden Soekarno yang mengeluarkan kebijakan untuk meniru berbagai produksi negara maju dengan tujuan dipelajari cara pembuatannya maupun cara mendesainnya. ”Nah yang ketiga, masih berhubungan dengan yang kedua, supaya ekonomi rakyat terbantu dan berputar. Khususnya para pengrajin kerajinan tangan seperti pengrajin dompet, tas atau gesper. Jadi dalam hal ini IPW setuju, silakan dipalsukan merek-merek itu selama membantu ekonomi rakyat dan tidak ada rakyat kita yang dirugikan,” paparnya.
Neta juga meminta polisi agar tidak perlu repot-repot mengusut pemalsuan merek ini, selama belum ada pihak resmi yang merasa dirugikan. ”Lebih baik polisi membongkar mafia produsen film porno yang jelas-jelas merusak mental bangsa kita ini,” pungkasnya.
Sedangkan Direktur Reserse Kriminal Khusus Kombes Pol Sofyan Sarif, kepada INDOPOS mengatakan kalau pihaknya selama ini belum mendapat laporan dari korban yang merasa dirugikan, baik itu dari pemegang sah merek maupun warga yang merasa tertipu karena sudah membeli tas merek palsu.
”Tanpa laporan dari pihak yang dirugikan, misalnya pemegang hak paten merek tersebut, kami sulit melakukan penindakan, karena engak dasar penindakannya Mas,” pungkasnya. (ind/wok)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Subsidi Energi Bisa Capai 19 Persen Total Belanja
Redaktur : Tim Redaksi