BACA JUGA: DKI Loloskan Dua Siswa ke Paskibraka
Tak heran, simpulan pendapat mereka terkait Hari Kemerdekaan RI ke-65, bisa dijabarkan dengan kalimat: jika masih ada kemiskinan dan pengangguran, kita belum merdeka.Laporan ADIYANSYAH LUBIS, Padangpariaman
KARENA di rantau susah mendapat pekerjaan, Buyung pulang kampung
BACA JUGA: Sejumlah Kada Terima Tanda Kehormatan
Pasalnya, ia hanya tamat sekolah dasar (SD)Setiap hari, Buyung harus mengayak pasir di tepi sungai yang tidak jauh dari rumahnya
BACA JUGA: Achmad Sodiki, Lebaran Jaga Kantor
Kendati bukan kerja ringan, Buyung harus melakoni hidup sebagai pengayak pasirKarena, dari situlah ia bisa mendapatkan uang untuk anak dan bininyaMenurut Buyung, untuk mendapatkan satu truk roda enam, ia menghabiskan waktu seharianUang yang bakal didapat adalah Rp 180-200 ribuanUang itu harus dikeluarkan Rp 10 ribu untuk pemilik tanah per satu trukSisanya, dari harga satu truk itulah nanti yang akan menjadi upah bagi BuyungItu jika ia mendapatkan satu truk sehariJika tidak? Tentulah lain peruntungannya.Dari ceritanya, seharian Buyung yang adalah ayah dua anak ini, paling banyak hanya bisa mengisi satu truk sajaDirasakan Buyung, pekerjaan ini cukup menguras tenagaJangan ditanya seberapa lelahnyaBayangkan, pertama pasir dikumpulkan, dari aliran sungai dibawanya ke tempat pengayakan, setelah terkumpul baru pemilik truk mengambil.
Menggantungkan hidup pada pasir di aliran sungai tersebut, bukanlah Buyung seorangDi sana juga ada ratusan KK lainnyaMereka banyak juga tersebar di Korong Ganting dan beberapa korong lainnya, termasuk di seberang sungai, yakni Korong Balah Hilir.
Senasib sealiran rezeki dengan Buyung, Mak Ramli-lah orangnyaDi bulan puasa seperti sekarang ini, penambangan pasir tetap dilakukannyaTentu, dibanding hari biasa, jelaslah berbedaDi bulan Ramadan ini, kata Mak Ramli, perlu kesabaranTenaga orang ketika berpuasa jelas berbeda dengan ketika tidak berpuasaMeski begitu, puasa bukan hambatan bagi penambang pasir di siniYang jadi masalah katanya, yaitu ketika air sungai besarOtomatis, untuk menambang sirtukil terkendalaUang tak masuk ke sakuMaka, beberapa di antaranya pun mencari kerja di luar sungaiSalah satunya dengan menjadi kuli di ladang orang.
Tentu, baik Buyung maupun Ramli serta ratusan laki-laki di dekat sungai ini menambang, tahu persis dampak dari pekerjaan merekaMenurut warga setempat, yang diakui Buyung dan Mak Ramli, lokasi tersebut telah lama dimanfaatkan para pencari pasir, mungkin sudah ada sejak 20 tahun laluWalaupun tak diketahui secara pasti, aktivitas penggalian pasir di aliran Sungai Batang Anai Kecamatan Lubuk Alung di lokasi tersebut sudah cukup lama dimulaiSetiap hari, hampir ratusan truk keluar-masuk secara bergantian membawa muatan sirtukil.
Masyarakat sekitar adalah para pengumpul atau penyaring sirtukilnyaSementara truk tersebut hanya pemesan sajaAktivitas itu kini sepertinya telah menjadi pilihan masyarakat sekitar dalam memenuhi kebutuhannyaSelain bertani, pekerjaan itu juga dilakoni warga sebagai pekerjaan utamaBeberapa orang menjadikannya sebagai pekerjaan sampingan, sembari bertani atau berladang.
Akibat aktivitas tersebut, walau rezeki didapat, telah terjadi pengikisan tebing-tebing sungaiSungai semakin lebar, akibat terus digerus di beberapa bagiannyaKata Mak Ramli, warga seberang dari daerah Korong Balah Hilir ini, dulunya lebar sungai tempat pengambilan sirtukil tak seperti sekarangKarena terus dilakukan aktivitas penambangan di sana, akibatnya sungai bertambah luas dan lebarAkibatnya pula, dulu pernah terjadi banjir bandang di lokasi tersebut.
Walau menyadari akan menimbulkan akibat buruk jangka panjangnya, Mak Ramli yang juga berprofesi sebagai penggali pasir, seperti tak punya jalan keluar untuk mengatasi kebutuhan keluarganyaDiakui Mak Ramli, semua terpaksa dilakukannya, lantaran tak ada kerja lain yang bisa menampung dirinya, termasuk orang seperti Buyung yang cuma tamatan SD"Kalau dipikir-pikir, memang ada ruginya juga untuk kitaTapi, kalau tak menambang di sungai itu, kita mau makan apa?" kilah Mak RamliApalagi ingat biaya dapur, yang minimal saat ini perlu Rp 50 ribu.
Di sungai ada rezeki, tentulah di pasar demikian pulaNurman Jambak, seorang kuli angkat barang di Pasar Lubuk Alung, Nagari Lubuk Alung, Kecamatan Lubuk Alung, Kabupaten Padangpariaman, berharap murah rezeki di pasarSebagai "tukang angkat", tentulah Nurman menerima upahIa tuturkan, rata-rata untuk satu kali angkat, ia menerima imbalan Rp 5 ribu hingga Rp 10 ribu.
"Kadang kalau pengguna jasanya orang baik, untuk satu kali angkat itu bisa mendapatkan uang sebesar Rp 20 ribu," tukas Nurman, sembari menjelaskan, untuk mendapatkan uang kebutuhan keluarga, baginya perlu berkeringat duluTentu Nurman tidak perlu menyesali pekerjaan yang dilakoninyaDengan pendidikan hanya sebatas tamat SD, tak punya keterampilan khusus, membuatnya harus ikhlas menerima pekerjaan seberat dan sekasar apa pun.
Nurman menceritakan, pekerjaan itu telah dilakukannya sejak tiga tahun laluSebelumnya ia memiliki usaha dagang kainKarena bangkrut, modal pun habis, menjadi tukang angkat merupakan pilihan pahit yang harus dimanis-maniskannyaSetidaknya, ia bisa menghibur dengan perkataan, "Apa pun pekerjaannya baikYang penting halal!" Apalagi mengingat istri dan empat anaknya, seberat apa pun pekerjaan itu, memang harus disanggupinya.
Hidup, kadang oleh sebagian orang bisa terasa getirJika mendengar kisah Anton, tukang ojek di Simpang Duku Fly Over Kecamatan Batang Anai, Kabupaten Padangpariaman, lain pula rasa hatiUntuk mendapatkan uang lebih, apalagi mengingat lebaran akan datang, ia harus menambang (mengojek) hingga larut malamItu pun kadang dapatnya tak sesuai harapanSebab, tukang ojek sudah terlalu banyak pula di sanaIa harus mengantre, hingga tiba gilirannya membawa penumpangManusiawi, kalau ia tunggang langgang mencari uang, apalagi saat teringat baju lebaran anak juga harus dibelikan.
Realita hidup di atas menjadi berat, lantaran peristiwa gempa 30 September 2009 lalu justru menambah beban hidup merekaKetika mereka mendengar akan ada bantuan gempa, ketika itu sempat ada harapan merasa teringankanPemerintah diharapkan mereka segera merealisasi bantuan gempa untuk rakyat ituSebab, bantuan gempa tersebut penting untuk rehabilitasi dan rekonstruksi rumah pendudukNamun hingga kini, yang terngiang di telinga mereka hanya janji pemerintah yang dulunya mengatakan akan membantu.
Apapun yang terjadi, menurut mereka, ketika hidup adalah pilihan, maka pilihan pentingnya adalah memerdekakan harapanTidak mungkin mengungkung diri dengan berharap bantuan pemerintahHal itu dirasakan betul oleh Buyung, Mak ramli, Anton, dan ratusan warga lainnya yang berjuang untuk kehidupan keluarga tercinta dengan bekerja keras.
Sehingga, ketika ditanya apa makna kemerdekaan RI ke-65 kepada mereka, jawabnya sederhana saja: kemerdekaan di negeri ini, hanya milik mereka yang berduit dan berkuasaArtinya, secara tersirat mereka sampaikan dalam bahasa mereka pula, bahwa kemerdekaan hakiki itu adalah di kala makin sedikit orang miskin, dan makin banyak peluang kerja yang layak bagi masyarakat kecilJika masih banyak juga yang menganggur, miskin, melakukan tindakan kejahatan, itu artinya negeri ini belum merdeka secara hakiki(b)
BACA ARTIKEL LAINNYA... 271 Napi Banten Langsung Bebas
Redaktur : Tim Redaksi