jpnn.com, JAKARTA - Hingga Kamis (28/12), tiga provinsi belum juga menyepakati Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) 2018.
Yakni, Maluku Utara, Papua Barat, dan Aceh. Jika terus berlarut-larut, bukan tidak mungkin pemerintah pusat akan menjatuhkan sanksi.
BACA JUGA: Angka Kasus Penganiayaan Berat Meningkat 12 Persen
Direktur Jenderal Keuangan Daerah (Dirjen Keuda) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Syarifuddin mengatakan, keterlambatan umumnya disebabkan tarik-ulur antara pemerintah provinsi dan DPRD provinsi. Akibatnya, pembahasan yang dilakukan tidak menemukan kesepakatan.
Terkait sanksi bagi daerah yang terlambat menyelesaikan RAPBD, hal itu sudah diatur dalam UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda).
BACA JUGA: Jokowi: BBM Satu Harga Bentuk Keadilan untuk Rakyat
Hanya, selama ini UU tersebut belum bisa diimplementasikan karena belum ada turunan teknis yang mengatur detailnya.
”Tapi, sekarang sudah ada PP (peraturan pemerintah)-nya, jadi bisa dilaksanakan,” ujarnya, seperti diberitakan Jawa Pos.
BACA JUGA: Angka Kejahatan Siber Meningkat jadi 5.061 Kasus
Seperti diketahui, pada pertengahan tahun lalu, pemerintah mengesahkan PP No 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemda.
Dalam pasal 36 ayat 2 huruf N disebutkan, keterlambatan penyampaian RAPBD menjadi salah satu item yang memiliki konsekuensi sanksi.
Namun, Syarifuddin memilih untuk menunggu hingga 31 Desember 2017. Jika dalam tempo tersebut belum juga selesai, penjatuhan sanksi bisa diproses.
Jika merujuk pasal 311 UU Pemda, jenis sanksi administrasi akibat keterlambatan pengesahan RAPBD adalah pemotongan hak keuangan selama enam bulan.
Hanya, sebelum sampai ke vonis, pemerintah sebagaimana diatur PP tersebut perlu melakukan upaya klarifikasi.
Dengan begitu, pemerintah bisa mengetahui persoalan di balik berlarutnya pembahasan. ”Bergantung hasil pemeriksaan, siapa yang salah. DPRD, kepala daerah, atau keduanya,” imbuhnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng berharap pemerintah bisa benar-benar merealisasikan ketentuan tersebut. Sebab, sudah tidak ada lagi faktor yang menjadi halangan.
’’Jangan sampai UU 23 (UU Pemda) dan PP (12/2017) itu hanya tumpukan kertas. Ya harus mulai diterapkan,” ujarnya saat dihubungi.
Berdasar pengalamannya memantau daerah, tarik-ulur APBD di daerah didominasi oleh ego sektoral. Pemda dan DPRD terkesan mengesampingkan kepentingan masyarakatnya. Kasus-kasus seperti itulah yang harus ditindak tegas oleh pemerintah pusat.
Namun, jika keterlambatan disebabkan kapasitas sumber daya manusia atau peristiwa darurat, Kemendagri perlu melihat lebih dalam. ’’Harus dilihat lebih jauh dan diberi waktu khusus,” tandasnya. (far/c7/fat)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Disadap KPK, Menteri Amran Setop Main dengan yang Muda-muda
Redaktur & Reporter : Soetomo