Bentuk KKR, Baru Dialog Jakarta-Papua

Untuk Memutus Rantai Konflik dan Kekerasan

Sabtu, 16 Juni 2012 – 07:02 WIB
SELAMATKAN PAPUA : Belasan Demonstran yang tergabung dalam Sekretariat Bersama (Sekber) Buruh Jabodetabek menggelar aksi di Bundaran HI, Jakarta, Jumat (15/6). Mereka menuntut pemerintah agar menyelesaikan berbagai kasus kekerasan yang terjadi di Papua. FOTO : M IQBAL ICHSAN/RM

JAKARTA  - Lingkaran konflik dan kekerasan di tanah Papua harus secepatnya diputus. Pembentukan Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) saja tidak cukup. Harus ada solusi yang menyentuh akar permasalahan.

"Pengadilan HAM berat untuk kasus Papua perlu dilakukan. Selain itu, fungsi Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi atau KKR sangat penting dan bermanfaat untuk menyelesaikan persoalan masa lalu Papua," kata sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Marwan Adam dalam diskusi Papua Semakin Membara di gedung parlemen kemarin (15/6).

Melalui KKR, lanjut Asvi, akan terjadi pengungkapan kebenaran dan kekerasan yang pernah terjadi di Papua. Terutama dalam periode pelaksanaan operasi militer di masa Orde Baru. Tidak hanya itu, KKR sekaligus memfasilitasi pemberian kompensasi bagi korban atau keluarga korban. "Pemberian kompensasi itu juga bagian dari tradisi di Papua. Orang yang melakukan pelanggaran harus membayar denda," katanya.

Masalah terbesar yang pertama harus diselesaikan di Papua, menurut Asvi, adalah soal kepercayaan terhadap Jakarta. Dengan menyelesaikan persoalan pelanggaran HAM masa lalu dan membentuk KKR, Asvi percaya ini akan menumbuhkan kembali rasa percaya orang Papua.

"Kalau rasa percaya sudah muncul, baru bisa dilakukan dialog sejarah, dialog ekonomi, atau dialog lain yang akan bermuara pada kesejahteraan rakyat Papua," tegas Asvi.

Dia menyebut, pemberian otonomi khusus sebelum dikembalikannya kepercayaan itu tidak akan membawa dampak signifikan. Bahkan, otonomi khusus hanya menguntungkan elite Papua.

Asvi menyampaikan, UU No. 27 tahun 2004 tentang KKR memang sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Tetapi, KKR untuk Papua masih dapat dibentuk dengan menjadikan UU No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua sebagai payung hukumnya. "Jadi, KKR Papua bisa dilakukan tanpa membentuk KKR nasional," katanya.

Dia menambahkan, berbagai penembakan misterius yang marak dalam beberapa bulan terakhir di Papua dapat disandingkan dengan orang yang dianggap "petrus" (penembak misterius). Petrus yang terjadi pada 1980-an itu, ujar Asvi,  merupakan pelanggaran berat HAM yang dilakukan rezim Soeharto. "Dan itu terulang lagi di Papua. Apa yang terjadi sekarang hanya pengulangan apa yang terjadi pada 1980-an itu," tandasnya. (pri/bay/c1/ari)
    

BACA ARTIKEL LAINNYA... KPK Beri Masukan ke Mendagri soal Bansos


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler