jpnn.com - Saat mengumpulkan para kepala daerah pada tanggal 30 Oktober 2023, Presiden Jokowi memberikan arahan kepada segenap kepala daerah.
Salah satu arahan beliau kepada para kepala daerah untuk memberikan dukungan kesuksesan pelaksanaan Pemilu 2024, tidak melakukan intervensi, dan menjaga netralitas.
BACA JUGA: Ketua Banggar DPR Sebut Tak Ada Swasembada Beras di Masa Presiden Jokowi, Nih Datanya
Pernyataan ini tepat seminggu setelah Prabowo Subianto secara resmi mengumumkan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakilnya pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
Pada tanggal 1 November 2023, Presiden Jokowi saat meninjau Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di Kalimantan Timur, kembali menegaskan perlunya netralitas seluruh jajaran.
BACA JUGA: Ganjar Awali Kampanye Akbar di Jawa Timur, Said Abdullah PDIP: Untuk Membangkitkan Silent Majority
Saya kutipkan pernyataan beliau, “Perlu saya sampaikan bahwa pemerintah daerah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten pemerintah kota, pemerintah pusat semua harus netral. ASN semua harus netral. TNI semua harus netral. Polri semua harus netral.”
Saat itu kita semua tentu bernapas lega, tumbuh harapan Presiden Jokowi menjaga tumbuhnya demokrasi.
BACA JUGA: Quo Vadis Investasi 2024
Sekalipun putera sulung beliau masuk dalam kandidasi pemilihan presiden dan wakil presiden. Namun, pernyataan itu menegaskan Presiden Jokowi menghargai gelangang kompetisi Pilpres sebagai arena yang fair dan adil.
Namun makna penting atas pernyataan presiden itu perlahan-lahan seperti tumpukan pasir pantai tersiram laju ombak.
Perlahan-lahan beliau bertindak seperti tim sukses pasangan Prabowo-Gibran. Dimulai dengan membuntuti rute kampanye Ganjar Pranowo.
Seluruh lokasi yang didatangi Ganjar Pranowo, tiba-tiba di kunjungi Presiden Jokowi sambil bagi-bagi sembako, sertifikat tanah, dan bantuan lainnya.
Alur kejadian makin menegasikan ucapan Presiden Jokowi, bukan isapan jempol, berbagai kejadian mencuat tidak netralnya aparat negara.
Banyak kepala desa hingga kepala daerah dicari jejak kasusnya oleh aparat penegak hukum, dengan imbal hasil memenangkan paslon putra Presiden Jokowi.
Alih-alih berbuah teguran atas unjuk terbuka berbagai pelanggaran netralitas itu.
Dalam seminggu ini, Presiden Jokowi malah berkunjung ke Jawa Tengah, sebagai salah satu provinsi dimana Ganjar Mahfud masih unggul telak. Beliau malah berperilaku sebagai tim pemenangan anaknya.
Presiden Jokowi rajin membagi bagi program bansos yang sesungguhnya hak rakyat, yang dibayar pakai pajak rakyat. Sebagian menterinya menarasikan itu budi baik Presiden Jokowi. Setali tiga uang, program sembako oleh lembaga lembaga pemerintahan dengan terbuka diberi label pasangan Prabowo Gibran, dan dibagikan luas.
Kisah miris situ belum terhenti, didamping Prabowo Subianto, Panglima TNI dan kepala staf angkatan di Halim Perdanakusuma, Presiden Jokowi menegaskan bahwa presiden dan menteri menteri boleh berkampanye, asal tidak menggunakan fasilitas negara.
Ungkapan ini benar secara normatif, namun bisa membelakangi ungkapan presiden sebelumnya.
Krisis Etik
Sekalipun Presiden Jokowi berpisah jalan politik dengan PDI Perjuangan, karena memilih anaknya maju kandidat cawapres dan berkontestasi elektoral dengan Ganjar Mahfud yang didukung PDI Perjuangan, namun saya berpandangan, institusi kepresidenan harus kita jaga muruahnya.
Sejak pencalonan Gibran Rakabumi sebagai calon wakil presiden melalui “pembegalan” pasal di Mahkamah Konstitusi (MK), kejadian ini menuai krisis terhadap kedudukan kita sebagai negara hukum.
Kepercayaan terhadap MK melorot. Syahdan, kejadian ini tidak bisa dipungkiri berkait dengan konflik kepentingan keluarga presiden. Ketua MK yang notabene saudara ipar presiden dan paman, dari pihak yang diuntungkan atas perkara tersebut. Kejadian ini menuai krisis etis terhadap Presiden Jokowi
Gemuruh suara publik menyoal peristiwa di atas dianggap angin lalu. Lanjut cerita, atas pernyataan Presiden Jokowi di Lanud Halim Perdanakusuma, saya lebih menaruh respek dan hormat terhadap beliau, bila dinyatakan saja oleh beliau, bila ingin mengoreksi kehendaknya untuk netral, demi putra sulung, beliau dapat cuti selama Pilpres, menyerahkan tampuk kepemimpinan pemerintahan sementara kepada wakil presiden, sebagaimana di atur dalam Pasal 281 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu.
Ketimbang beliau menyatakan netral, tetapi secara subtansial menggunakan fasilitas negara dan perangkat kekuasaan pemerintahan berpihak kepada sang putra.
Saya kira hal ini akan nenambah akumulasi krisis etik terhadap lembaga kepresidenan.
Pertunjukan terbuka atas konflik kepentingan ini kian merusak tatanan sistem pemerintahan dan negara hukum.
Bila Presiden Jokowi tidak cuti, maka beliau berpotensi menabrak :asal 282 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017.
Saya kutipkan pengaturannya, “pejabat negara, pejabat struktural, dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri, serta kepala desa dilarang membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu selama masa Kampanye”.
Tersurat jelas dalam pasal di atas, Presiden Jokowi bukan peserta pemilu. Hendaknya Presiden Jokowi memberikan teladan etik.
Sehingga hal itu akan menjadi tuntunan nyata bagi aparat di bawahnya. Kita ingin presiden adalah presiden kita semua, bukan presiden yang menjadi milik satu kelompok politik tertentu.
Presiden yang memberikan teladan baik di akhir masa pemerintahannya, meninggalkan warisan suksesi kepemimpinan nasional secara demokratis.
Tonggak ini penting, sebab bila kemenangan pemilu dihasilkan melalui proses membabi buta, taruhannya adalah legitimasi etik dan kepercayaan rakyat atas presiden dan wakil presiden terpilih.
Krisis etik itu akan melahirkan krisis-krisis baru pasca-pemilu, meskipun belum tentu menjelma menjadi krisis politik.
Setidaknya wibawa kepemimpinan nasional akan turun dan kita mendapati kepatuhan semu di tengah-tengah rakyat. Semoga tidak terjadi.(***)
Jangan Lewatkan Video Terbaru:
Redaktur & Reporter : Friederich Batari