Ber-(Usaha)-Hijrah ke Syariah

Oleh Indah P. Nataprawira*

Rabu, 14 April 2021 – 18:08 WIB
Indah P. Nataprawira. Foto: dokumentasi pribadi for JPNN.com

jpnn.com - Melewati kepemimpinan enam presiden, dari zaman koran diberedel, masa reformasi hingga eforia demokrasi, bahkan masuk ke zaman di mana setiap yang punya HP bisa membuat 'stasiun TV sendiri, ekonomi syariah seolah jalan di tempat.

Ekonomi syariah berkutat pada urusan riba bank. Label syariah sendiri dalam industri terkesan berurusan hanya perkara make up dan sampo untuk hijaber yang berkibar di seantero negeri.

BACA JUGA: Indonesia Usulkan Strategi Pemulihan Ekonomi Berbasis Industri Halal dan Keuangan Syariah

Bila sketsa karikatural ekonomi syariah di atas benar, maka hijrah dalam bidang ekonomi terasa tanggung sekali. Dengan potensi umat Islam yang melimpah, sepantasnya Indonesia mampu menjadi juara dalam pengembangan ekonomi syariah.

Pertanyaannya, dengan kondisi saat ini yang jauh dari ideal, kapan kita kafah berhijrah secara ekonomi? Dalam arti, kapan ekonomi eyariah akan membawa faedah hingga ke kelompok paling bawah?

BACA JUGA: Tanpa Riba

Pastinya, tidak ada yang mendadak dalam bersyariah, termasuk di bidang ekonomi. Yang terpenting ialah komitmen bersama untuk membangun dan memajukan ekonomi syariah sebagai alternatif penopang ekonomi bangsa.

Ngilu rasanya, 30 tahun lebih berdiri di tempat seperti 'disetrap'. Untuk bisa memapankan ekonomi syariah, jelas butuh persiapan.

BACA JUGA: Dunia Akhirat

Sungguh, ini bukan hanya masalah peraturan atau kebijakan. Ini masalah kebudayaan dalam konteks mental dasar ber-syariah, yakni berbagi berkah dan maslahat.

Kalau ada yang menganggap ekonomi syariah di negeri tercinta ini sesuatu yang baru mengemuka, anggapan itu jelas salah besar. Sejarah mencatat kearifan lokal yang begitu berlimpah telah mendarah daging dalam napas kehidupan masyarakat dalam praktik ekonomi syariah.

Misalnya, konsep bagi hasil yang dalam Islam dikenal dengan istilah mudarabah. Sesungguhnya konsep mudarabah telah dipraktikan oleh masyarakat, khususnya di Jawa, yang secara turun-temurun menerapkan konsep paroan atau paruhan yang maknanya berbagi keuntungan antara pemodal dan pekerja.

Hal itu lazim dipraktikan dalam penggarapan lahan pertanian di desa-desa. Petani penggarap menggarap sawah milik si empunya lahan. Ketika panen, hasilnya dibagi dua atau paruhan.

Selalu ada prinsip yang menjadi ciri mengikat, yakni keadilan dan pemerataan, berkah dan maslahat. Semua itu merupakan manifestasi dari konsep syariah.

Dalam konteks kekinian, jika anak kantoran yang gajinya habis buat ke mal demi pergaulan ataupun mahasiswa yang tinggal di indekos kehabisan uang jatah bulanan karena menyeruput kopi di gerai kopi waralaba tetapi menganggap kopi starling (akronim dari starb**ck keliling, red) sebagai minuman kuli, berarti di situ kita sedang menghadapi anomali.

Salah satu spirit syariah dalam ekonomi ialah berbagi berkah pada yang di bawah. Oleh karena itu, untuk memapankan ekonomi syariah meniscayakan perubahan mindset anak bangsa di perkotaan maupun pedesaan. Ini jelas pekerjaan rumah level negara.

Dengan demikian, totalitas dalam bersyariah secara ekonomi tidak hanya soal menabung di bank, bukan pula sekadar beli sampo biar pakai hijab serasa dilengkapi pendingin udara (AC), ataupun biar 'berpupur tetapi imannya gak luntur.

Bersyariah yang total itu meliputi pasar keuangan di luar perbankan, ada asuransi dan investasi. Produk halal dari sampo sampai terasi perlu diberi hati karena kategori syar’i tak boleh didominasi oleh pelaku industri skala besar saja.

Manfaat 'halal' itu harus dapat dirasakan bersama. Industri anak negeri perlu difasilitasi supaya mampu berdiri sama tinggi dengan kelompok berkapital besar.

Dalam konteks industri, wajar jika kita punya visi agar produk syar’i dalam negeri bisa memiliki pelabuhan sendiri yang menjadi tempatnya bertolak menuju pasar luar negeri.

Dana sosial seperti zakat, infak, sedekah, wakaf dan lain-lain, jika didukung cetak biru blue print yang jelas, manfaatnya tidak hanya bisa jadi bangunan fisik, tetapi jauh lebih mulia, yakni membangun peradaban. Darinya akan lahir cerdik cendekia yang menjadikan Indonesia bangsa produktif, sehingga kita bukan bangsa yang cuma bisa konsumtif.

Saat wabah pandemi Covid 19 melanda negeri, kita sebagai makhluk ekonomi mendadak kembali jadi makhluk sosial lagi. Akibat "kepepet", jatah hang-out di mal dibagi untuk jatah menongkrong di warung.

Jatah beli steik di restoran mewah dibagi untuk jatah beli gorengan. Jatah yang kita keluarkan untuk bikin tambah kaya orang di atas, kita bagi untuk menyejahterakan orang di bawah.

Bila hal tersebut dilakukan, maka tanpa sadar kita bersyariah, karena ada keadilan dan pemerataan di dalamnya. Hal ini setarikan napas dengan bergeraknya ekonomi kerakyatan, setujuan dengan meratanya kemajuan dan tegaknya keadilan dalam kesejahteraan.

Semua elemen masyarakat, mulai aktivis TikTok sampai pegiat demokrasi, dari selebgram sampai selebritas politik bahkan negara, dipaksa belajar untuk mempraktikkan kebajikan luhur dalam keseharian.

Sesungguhnya Ramadan kedua dalam masa pandemi ini bisa menjadi momentum kebersamaan. Berjemaah mempersiapkan habitat kebudayaan dan mental untuk mengakselerasi kemapanan ekonomi syariah.

Gerak total setiap anak negeri dalam ekonomi syariah harus memberi faedah bagi masyarakat bawah, mulai dari hal-hal serderhana seperti berbagi kesejahteraan dengan tetangga terdekat, hingga jauh melesat membawa kejayaan potensi umat Islam Indonesia dalam pergaulan ekonomi dunia.

Saat ini, setelah 30 tahun ekonomi syariah berdiri di tempat, sudah sepatutnya kita memperkuat dan melesatkannya. Ikhtiar itu dilakukan dengan menebar manfaat untuk umat, membantu meningkatkan partisipasi pelaku ekonomi Syariah di level bawah untuk bertahan dan bangkit.

Selain itu, hal yang lebih subtansial ialah mengupayakan perluasan wawasan dan mindset kita agar mampu mengembangkan ekonomi syariah secara progresif karena dalam kesempitan wawasan, makna dan manfaat ekonomi syariah dimiskinkan. Iqra’ bismi rabbika.(***)

 

*Penulis adalah Tenaga Ahli Bidang Komunikasi Keuangan Syariah Kementerian Keuangan

 

 

Simak! Video Pilihan Redaksi:


Redaktur & Reporter : Antoni

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler