Berakhirnya Politik 'Wani Piro'

Sabtu, 22 September 2012 – 20:51 WIB
JAKARTA - Banyak hal yang bisa dipetik dari pilgub DKI Jakarta. Pakar psikologi politik dari Universitas Indonesia (UI), Prof Dr Hamdi Muluk MSi, menyebut beberapa hal yang bisa dijadikan pelajaran bagi partai politik dan para elit-elitnya, terutama para kandidat yang akan maju di pemilihan kepala daerah.

Pertama, kejadian di pilgub DKI yang menurut hasil hitung cepat (quick count) dimenangkan pasangan Jokowi-Ahok, merupakan koreksi rakyat terhadap praktek-praktek berpolitik kotor yang selama ini mendominasi.

"Intrik-intrik, kekerasan, isu SARA, black campaign, semua tidak laku," ujar Hamdi Muluk dalam sebuah diskusi interaktif di Jakarta, Sabtu (22/9).

Seperti diketahui, pasangan Jokowi-Ahok sempat digempur isu SARA, baik melalui statatemen para anggota timsesnya seperti Roma Irama, spanduk, maupun selebaran. Namun terbukti serangan isu SARA tidak menggoyahkan pilihan warga DKI Jakarta.

Pelajaran kedua, kata Hamdi Muluk, bahwa rakyat lebih menyukai sosok yang apa adanya, tidak berlagak sok pejabat. "Bahwa berpolitik harus berawal dari otentisitas, tidak pura-pura, tidak dibuat-buat, tidak dibungkus pencitraan," kata pria kelahiran Sumbar itu.

Ketiga, bahwa untuk memenangkan pertarungan di pilkada, tidak harus mengandalkan uang. Kemenangan Jokowi-Ahok, kata Hamdi, membuktikan bahwa uang dan kekuasaan bukan penentu kemenangan. Pilgub DKI merupakan tanda berakhirnya politik wani piro (berani bayar berapa).

"Wani piro sudah tidak terbukti. Berpolitik tidak harus dimulai dengan wani piro. Agenda kerja yang justru sangat menentukan, khususnya untuk pilgub," beber Hamdi. Pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli (Foke-Nara), yang di putaran kedua mendapat dukungan koalisi sejumlah partai besar, tetap saja tidak mampu menggerogoti suara Jokowi-Ahok yang juga meraih suara terbesar di putaran pertama.

Bau politik uang dari kubu Foke-Nara, juga tidak berpengaruh. Seorang warga DKI kepada koran ini cerita, dirinya menerima surat undangan memilih yang juga diselipi uang Rp100 ribu. "Katanya sudah dijatah. Disuruh milik Foke. Tapi saya tetap akan milih Jokowi," ujar perempuan tukang cuci itu, sehari sebelum pencoblosan.

Kepala Balitbang DPP Partai Demokrat, Indra J Piliang, juga setuju dengan pernyataan Hamdi Muluk. Menurut Indra, politisi bergaya apa adanya yang justru disukai rakyat. Masyarakat, lanjutnya, sudah muak dengan elit yang bergaya sok pejabat.

"Foke itu terlambat menyatakan diri sebagai orang biasa. Warga DKI tetap melihatnya sebagai pejabat. Kalau Jokowi, sudah biasa bicara sambil garuk-garuk kepala. Itu yang menarik karena manusiawi, tidak dibuat-buat," kata Indra. (sam/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Bawaslu Lantik 72 Anggota Bawaslu Provinsi

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler