Bekerja di bidang arsitektur masih jadi impian Adrianto Susilo, warga Indonesia yang tinggal di Melbourne.

Lulusan teknik Arsitektur di Bandung ini awalnya datang ke Australia di tahun 1999 untuk belajar 'urban planning'. Saat itu ia berencana pulang ke Indonesia setelah selesai belajar, tapi istrinya memilih tinggal di Australia.

BACA JUGA: Ratu Elizabeth II, Warisan yang Tak Ada Duanya

Adrianto sempat bekerja di bidang arsitektur di siang hari, lalu bekerja sebagai 'cleaner' atau tenaga pembersih di malam hari.

Tapi kemudian ia lebih memilih menjadi 'cleaner' full-time atau penuh waktu sampai sekarang.

BACA JUGA: Dunia Hari Ini: Topan Nanmadol Terjang Jepang, Dua Tewas

"Kami saat itu baru mulai memiliki anak dan pendapatan sebagai tenaga pembersih sangat bagus karena teratur," katanya kepada wartawan ABC Indonesia, Sastra Wijaya.

"Pendapatan saya sebagai cleaner dua kali lipat dibandingkan ketika bekerja sebagai arsitek."

BACA JUGA: Apakah Bergosip Baik Untuk Kita? Ini Temuan dari Sejumlah Pakar Psikologi

Tapi bukan berarti ia tidak mau bekerja lagi sebagai arsitek di Australia.

"Saya menyebut periode sekarang ini sebagai penundaan. Saya masih berambisi bekerja sebagai arsitek dengan berbagai alasan," katanya.

"Dilema bagi diaspora seperti saya adalah kadang kita harus meninggalkan karier untuk pekerjaan lain yang memberikan penghasilan lebih teratur."

Melihat anak-anaknya yang beranjak dewasa dan pekerjaannya sebagai 'cleaner' sudah mapan, Adrian berpikir untuk memulai lagi menjadi arsitek, meski tahu tantangannya adalah bersaing dengan arsitek muda.

"Ya memang ada tantangannya juga. Namun menurut saya arsitek generasi mana pun harus tetap mengetahui hal-hal yang baru, termasuk di bidang teknologi," katanya.

"Misalnya 20 tahun lalu, ketika merancang rumah tidak ada persyaratan mengenai peringkat energi."

Saat menjadi tenaga pembersih, dia mengaku sangat menikmatinya, karena bisa mengunjungi gedung-gedung dan mengamati arsitekturnya.

"Sering ada yang tertawa mengatakan mengapa tempat yang saya kerjakan bersih sekali. Ya, karena saya menikmati pekerjaan saya," katanya.

Adrianto adalah satu dari banyak warga Indonesia di Australia yang berani bekerja di bidang yang belum pernah mereka lakukan, bahkan tidak ada pengalaman sebelumnya demi masa depan baru di negeri orang.Mantan pegawai bank merawat lansia

Sudah hampir 11 tahun Elis Binara Holley asal Makassar tinggal di Melbourne. 

Saat masih di Indonesia ia bekerja di sebuah bank, meski pun ia adalah lulusan Teknik Elektro dan Komunikasi.

Kini pekerjaannya di Australia adalah bekerja di pusat perawatan lanjut usia atau 'aged care facility'.

"Di Indonesia saja saya sudah bekerja di bank yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan saya," katanya kepada ABC Indonesia.

"Jadi saya sudah biasa karena setelah pindah ke sini, saya harus belajar lagi kalau mau bekerja di bidang sesuai dengan pendidikan saya."

Elis melihat peluang bekerja di bidang perawatan lansia, yang bisa dilakukannya lewat kursus cepat selama empat bulan.

"Saya mau cari duit saja yang cepat. Dan setelah bekerja saya juga senang membantu para lansia," ujarnya, yang sudah bekerja selama 8 tahun.

"Kita anggap saja mereka seperti orang tua kita sendiri, mereka sudah seperti keluarga."

Elis tidak merasa pekerjaannya kurang bergengsi, malah ia merasa bangga sebagai lulusan universitas di saat perawat lansia lainnya hanya bisa menamatkan SMA. 

Menteri Dalam Negeri Australia, Clare O'Neill, mengumumkan kuota migran terampil di tahun 2022 telah ditambah 35 ribu orang, sehingga jumlah totalnya akan mencapai 195 ribu orang.

Dengan penambahan kuota ini, orang-orang seperti Elis yang bekerja sebagai perawat, bisa memenuhi kebutuhan Australia yang saat ini sedang kekurangan pekerja dengan keahlian khusus.

"Berdasarkan proyeksi, ini bisa berarti ribuan perawat tambahan akan masuk ke sini, juga ribuan insinyur baru," kata Clare di akun Twitternya.Membuka bisnis properti

Fabrianne Wibawa mengantongi gelar sarjana di bidang 'Public Relations' (PR) dan pernah bekerja di bidang tersebut di Indonesia selama empat tahun.

Di tahun 2008 ia pindah ke Perth, Australia Barat, untuk tinggal bersama pasangannya.

Selama setahun, Fabrianne berusaha untuk mendapatkan pekerjaan di bidang 'public relations', tapi kesulitan meyakinkan perusahaan-perusahaan untuk memperkerjakannya.

"Karena dianggap tidak memiliki pengalaman lokal dan juga Perth tidak membutuhkan banyak pekerja di bidang ini, saya tidak dapat kerja sama sekali," ujarnya kepada ABC Indonesia.

Ia kemudian beralih untuk bekerja di sektor properti.

"Saya mulai dari tenaga administrasi dengan tugas memasukkan data dan akhirnya saya belajar untuk menjadi conveyancer," katanya lagi.

Untuk menjadi 'conveyancer' di Australia membutuhkan lisensi, dengan salah satu tugasnya adalah menjadi pihak penengah dalam transaksi properti.  Mengecek kelengkapan dokumen dan berkomunikasi dengan pihak-pihak terkait juga adalah bagian dari pekerjaannya.

Di tahun 2018 ia mengikuti suaminya pindah ke Melbourne dan membuka bisnis sendiri, masih di bidang properti, untuk pengelolaan serta penyewaan dan penjualan.

"Kami memiliki sekitar seribu kamar di Melbourne di berbagai properti yang kami urus," katanya.

Menurutnya apa yang ia pelajari selama kuliah dan kerja di Indonesia masih tetap bisa diterapkan saat bekerja di Australia.

"Saya tidak merasa sia-sia dengan apa yang saya pelajari. PR bisa diterapkan di mana saja, tidak harus sekedar menjual barang," katanya.

"Bisa juga diterapkan di manajemen properti karena pada dasarnya kita melayani pelanggan," ujarnya.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Dunia Hari Ini: Gempa di Taiwan, Peringatan Tsunami Sempat Dikeluarkan

Berita Terkait